bagian 28 : list yang dibenci

8 3 0
                                    

Setelah kejadian kemarin, Adis tidak bisa tidur. Ia merasa bersalah telah marah marah tanpa alasan yang jelas kepada Alaska. Padahal, laki-laki itu hanya ingin tau kenapa Adis pulang tengah malam bersama laki-laki. Ya sebagai manusia yang menganut sistem serba disiplin, Alaska mana tau ruwetnya kehidupan Adis.

Tapi Adis memang tidak ingin Alaska tau mengenai kerja malamnya di warung perempatan, Adis takut Alaska bahkan orang-orang kantor merasa kasian padanya. Hey, ayolah. Hidup Adis sudah menderita dan ia tidak perlu orang-orang mendekat hanya karena hidupnya yang perlu di kasihani. Adis seperti perempuan yang tak bisa berdiri sendiri saja sepertinya. Ia paling benci jika orang-orang tau mengenai beban hidupnya.

Pagi ini, Adis sudah selesai dengan pakaian kantornya. Perempuan itu turun ke bawah. Keadaan ruangan di depan televisi sangat bersih. Semua barang-barang mulai dari bunga, remote, cemilan, semuanya tersusun rapi. Bahkan karpet yang tadinya penuh dengan bekas camilan Adis pun sudah bersih dan wangi. Adis beranjak ke dapur, ia membuka tudung saji. Mendapati mi goreng dengan telur mata sapi yang bentuknya sudah urakan. Ketika Adis mengambilnya, ia menemukan kertas di bawah piring tersebut.

Maaf udah bikin kamu marah, seharusnya aku tau mood kamu lagi gak bagus kalau lagi haid. Tadi pagi aku bangun jam lima buat bikinin kamu sarapan. Aku liat resepnya di belakang kemasannya, maaf ya kalau telurnya jelek, aku udah liat tutorial masak telur mata sapi di youtube padahal. Dimakan ya? Jangan marah lagi, nanti tambah jelek hehe.

Dari Alaska ganteng.

Adis tertawa kecil setelah membaca tulisan Alaska. Laki-laki itu memang suka memancing emosi, tapi pintar membujuk hati. Adis menarik kursinya untuk duduk, lalu mulai menikmati mi goreng buatan Alaska.

Walaupun minyaknya kebanyakan, tapi tak apalah. Adis mempercepat sarapannya, kemudian ia pergi kerja seperti biasanya. Pasti Alaska sudah sampai kantor sejak tadi.

Sesampainya di kantor, Adis mencari-cari keberadaan Alaska. Ia tidak ada di posisinya seperti biasa. Adis bertanya pada Jinora, "Eh, Norak, liat Alaska gak?"

"Tuh, di ruang kopi. Lagi buatin Pak Ramos kopi, katanya mau bujuk Pak Ramos soal proposalnya. Akhir-akhir ini tumben lo lama datengnya. Malahan si anak baru itu kantor belum buka dia udah siap siap nunggu di bawah."

"Masa sih?"

"Iya, dari jam enam nunggu katanya."

"Oke, makasih." Adis meletakkan tasnya di samping komputer. Ia berjalan menuju ruang kopi, Alaska sedang mengaduk-aduk kopi di sana. Perempuan itu mengetuk pintu.

"Eh, Adis. Udah datang ya?"

"Belum, ini arwahnya," ucap Adis menatap Alaska datar.

"Gak mungkin, kaki kamu aja napak."

Adis membuang napas panjang, "Astaga, saya baru aja loh mau minta baikan tapi kamu udah bikin aku naik darah lagiiii—"

"Ee ... iya iya, maaf. Saya bercanda, kamu mah emosian. Mi goreng buatan saya enak gak?"

Adis mengedarkan pandangannya ke belakang, harap-harap tak ada yang mendengar percakapan mereka. Alaska kembali menyeletuk, "Gak akan ada yang dengar."

"Itu ... saya mau bilang soal kemarin, saya gak enak abis marah-marah sama kamu. Maaf, dan makasih mi gorengnya."

Alaska tersenyum, "Iya gak papa, saya tau kok mood kamu lagi gak bagus. Tapi saya cuma mau tau aja kamu habis dari mana, itu aja, Adis. Kalau kamu belum siap cerita ya gak papa."

"It's privacy, right?"

Alaska mengangguk mendengar penuturan Adis, "Iya iya, jadi kita baikan nih?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Bengkel Perut 88 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang