bagian 35 : peluk untuk adis

6 3 1
                                    

Angin malam jam dua belas benar-benar masuk ke dalam tubuh Adis yang sekarang hanya memakai kaus pendek dengan cardigan tipis berwarna coklat. Ia menyusuri jembatan gantung yang sepi. Adis menghapus air matanya sejenak. Ia berhenti menatap jalanan yang super sibuk di bawah. Ia menatap bulan yang bersinar terang malam ini. Mata Adis sudah bengkak, ia cukup lama memandangi jalanan dengan pikiran kosong.

Adis teringat akan kata-kata Aura di dapur tadi, "Lo yang gak pantas, hidup lo udah terlalu berantakan. Lo udahin aja semua, kenapa lo repot-repot harus hidup lagi? Gak ada yang menginginkan lo. Kenapa lo gak mati aja? Lo gak cape hidup pura-pura kuat?"

Kenapa lo gak mati aja? Lo gak cape hidup pura-pura kuat?

Hidup lo udah terlalu berantakan.

Gak ada yang menginginkan lo.

Adis tidak sanggup untuk menangis lagi. Adis itu perempuan kuat, Adis tidak pernah lemah, Adis tidak pernah koar sana sini mengenai hidupnya. Ia tak pernah membebani orang lain. Tapi kalau boleh jujur, untuk yang satu ini ... Adis benar-benar gak sanggup.

Ia membuka ponsel membaca kembali chat nya pada Papanya satu tahun yang lalu.

Adis
Pa, papa sibuk gak?|

(Read)

Dua bulan setelah itu,

Adis
Pa, Adis butuh Papa. Gimana Adis bisa sanggup biayain sekolah adek Pa? Dimana tanggung jawab Papa sebagai tulang punggung keluarga?|

Adis
Pa, tolong. Kasih nafkah setidaknya untuk Sera dan Nomi|

Papa pertama
|Maaf, Dis. Papa lagi sibuk
|Gak ada uang sekarang, pake uang kamu dulu ya kapan-kapan Papa ganti
|Oh ya, jangan hubungi Papa lagi, istri baru Papa gak suka sama kamu

Air mata di pipi Adis membasahi layar ponselnya. Adis menggenggam erat ponsel itu, semua laki-laki memang bajingan. Semua laki-laki memang sama seperti Papanya.

Kenapa sih hidupnya terlalu menyedihkan begini? Adis bahkan gak bisa bercerita tentang kehidupannya seperti apa yang orang-orang lakukan. Curhat sampai menangis? Adis tak pernah melakukan itu. Jinora tau hanya karena ia curhat soal Ayahnya yang meninggal dan Adis berkata orang tuanya ada 4, ya cukup itu saja. Padahal ia tidak tau bagaimana kabar Mama dan Papa kandungnya sekarang. Entah masih hidup atau malah sudah mati.

Kenapa lo gak mati aja? Lo gak cape hidup pura-pura kuat?

Ucapan Aura terus terngiang-ngiang di kepalanya. Adis menatap lemas ke bawahnya, jembatan gantung ini cukup tinggi. Kalau melompat ke bawah mati gak ya?

Adis menghapus air matanya, sambil menaikkan satu kakinya hendak melompat ke bawah, ia teringat akan bayang-bayang Papa dan Mamanya.

Itu takdir, Mas. Kamu ini sarjana tapi malah nyalahin aku, apa salah aku kalau anak kita bisu?

Ya itu salah kamu sebagai Mamanya! Kamu gak jaga dia saat masih di kandungan. Udahlah, aku capek lama lama sama kamu. Kamu udah bikin aku bangkrut tau gak? Tadi waktu aku mau bayar pake kartu atm, semua uang ku udah ludes kamu pake buat belanja belanja gak jelas itu. Satu hari kamu udah habisin uangku 20 juta, Ra! Gila kamu! Aku gak sanggup kalau terus-terusan begini.

Aku udah bilang dari awal kita menikah ya mas kalau aku suka belanja, tapi kamu bilang iya gak papa. Sekarang? Kamu nyesel udah nikahin aku dan punya anak tiga?

Bengkel Perut 88 Where stories live. Discover now