bagian 16 : mengurus bisnis

9 4 0
                                    

Suara plastik permen yang di buka mendominasi tempat kerja Adis. Ternyata Jeje sedang membuka permen dan menikmatinya sambil bekerja di depan komputer. Adis dan Kang Jian beradu pandang, Adis mengangguk, kemudian menggeser tempat duduk nya mendekati perempuan yang rambutnya di kepang satu tersebut.

"Ekhem ... Jeje ..."

"Eh, iya Teh Adis. Ada apa ya? Mau liat proposal yang salah kemarin? Udah saya perbaiki kok, ini lagi ganti font nya. Kayaknya kurang menarik kalau pake yang default dibagian sub judulnya, saya ganti ke yang lain dan ini—"

"Enggak. Saya gak mau bahas proposal itu, Je."

"Oh enggak ya Teh? Terus, mau bahas apa?"

"Saya mau tanya tanya aja, ngobrol gitu ... Hehe, boleh gak? Kamu sibuk ya?"

"Oh enggak, tinggal sedikit lagi juga selesai, Teh. Kerjaan Teteh udah selesai?"

"Hah? Oh i-itu udah, saya minta bantuan Kajian tadi soalnya saya agak sulit di bagian yang itu gitu kan? Hehe, keren ya Kajian itu? Udah baik, mapan, putih, ganteng, pinter lagi ..."

Kalau saja tidak diiming-imingi satu juta, Adis tidak akan mau memuji muji cowo chindo satu itu di depan Jeje. Perempuan yang paling polos di tim pengembang itu mengerutkan dahinya, ia mengeluarkan permen batangnya dari mulut, "Oh? Teh Adis suka ya sama Kang Jian?"

"Heh? Enggak. Bukan, saya gak suka, enak aja."

"Loh? Gimana atuh Teh. Bukannya tadi Teteh yang muji-muji Kang Jian ya? Bilang kalau Kang Jian itu ganteng, pinter, mapan. Kan kan? Bilang aja Teh, saya dukung kok."

"Ihhhhh kamu cemburu ya???"

Mereka bicara dengan suara sepelan mungkin agar Kang Jian tidak mendengar pembicaraan mereka. Jeje menggeleng, "Buat apa cemburu? Memangnya Jeje suka sama Kang Jian gitu?"

"Memangnya kamu gak suka sama dia Je?"

Jeje menggeleng, Adis bertanya lagi, "Kenapa? Kalau dianya suka sama kamu gimana?"

"Memangnya Kang Jian suka sama Jeje?"

"Ya, misalnya kan. Kalau memang iya, kamu mau gimana? Kan jodoh gak ada yang tau Je."

"Sekarang Jeje yang tanya, kalau misalnya Teh Adis berjodoh sama Alaska gimana?"

"Loh? Kok jadi bawa-bawa Alaska?"

"Ya gak papa, seperti apa yang Teh Adis bilang tadi, jodoh kan gak ada yang tauuuu. Lagian Pak Alaska itu kaku dan dingin banget ke kami, tapi kalau sama Teh Adis keliatan happy dan banyak bicara aja gitu."

Adis menatap Alaska yang tengah sibuk meneliti kertas kertas yang berserakan di meja komputer nya. Perempuan itu membatin, "Yaiyalah, gue punya utang sama dia, gak mungkin dia yang menghindar."

"Kamu ini apa Je? Gak mungkin saya suka sama yang bentukannya kaya dia. Nama dia itu cocok, Alaska kutub. Kaku, sok polos, sok cool, susah diajak bercanda, sok kaya, sok segalanya lah. Dia itu bukan tipe ideal saya, tipe ideal saya tuh yang gemes bisa diajak bercanda, baru seru. Masa saya ngobrol sama patung?"

"Iya juga ya?"

"Kok kita jadi bahas Alaska sih Je? Kita bahas Kajian loh tadinya." Adis melanjutkan, "Oh iya, ngomong-ngomong kamu lagi suka sama seseorang gak sih?"

Jeje mengulum senyum, "Ada sih, Teh. Dia putih, pinter, ya gitu deh ... Tapi dianya gak peka!"

"Oh ya? Hmm boleh Teteh tau siapa namanya?"

"Ah, gak boleh. Itu rahasia."

"Inisial deh inisial." Adis mendekatkan telinganya ke Jeje saat perempuan itu berbisik, "Inisialnya K."

Bengkel Perut 88 Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum