3. Kehidupan Pernikahan

13.8K 525 7
                                    


Hari kedua pernikahannya, Ansara sudah disibukkan dengan kegiatan merapihkan baju-baju dan sedikit peralatan di rumah baru yang akan ia tinggali dengan Bumi. Memang, semua perabotan dan kebutuhan di rumah megah itu terhitung sudah terpenuhi dan rapi semua. Ansara hanya perlu memasukkan dan merapikan pakaian yang ia bawa dari Bandung ke Jakarta dengan menggunakan koper, agar mudah dipakai sehari-hari.

Mulanya, Ansara berniat ingin ikut serta merapikan pakaian Bumi, namun lelaki itu dengan tegas menolak dan kembali meminta Ansara untuk tidak menyentuh barang-barang pribadinya. Jadilah, gadis itu menyibukkan diri dengan membereskan pakaian dan barang-barangnya sendiri di rumah itu, terduduk di ujung kasur dan melipati satu persatu pakaiannya.

Bumi sendiri, tidak terlalu mengidahkan presensi Ansara disana. Di hari kedua nya cuti, lelaki itu masih saja sibuk mengejar beberapa materi pekerjaan yang harus tetap dijaga selama masa cuti, sama sekali tidak beristirahat ataupun berupaya membangun hubungan dengan orang yang baru dinikahinya. Jangan tanya bagaimana suasana hati Bumi saat ini.

Sejak diminta untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan oleh sang Kakek setelah menikah, Bumi sebenarnya sudah menyimpan banyak penolakan. Bagaimana tidak? Bisa-bisanya rumah megah itu hanya memiliki satu kamar saja, seakan didesain sengaja untuk menyengsarakannya karena tidak bisa pisah tidur dari Ansara meski ia sama sekali tidak ingin berbagi ranjang dengan gadis itu.

Segala jenis makian yang awalnya hanya disimpan itu akhirnya terucap saat hari ini, Bumi dan Ansara resmi pindah dan menempati rumah itu untuk seterusnya. Setidaknya sampai mereka bisa bercerai suatu hari nanti. Setidaknya, itu yang ada di pikiran Bumi sekarang. Dia hanya perlu bersabar lebih banyak lagi. Menunggu hari dimana akhirnya bisa berpisah dengan seseorang yang bahkan tak ingin ia nikahi.

"Mas? Masih kerja ya?". Sapaan dari Ansara yang kini berdiri di ambang pintu ruang kerja kediaman mereka, membuat Bumi tersentak dari pikirannya. Bumi memperhatikan bagaimana Ansara tidak menunggu responnya, melainkan langsung berjalan mendekat dengan sebuah mug di tangan kanan, senyum senantiasa tercipta di wajah cantik itu. "Ini mas, aku bawain teh hangat. Tadinya mau buatin kopi, cuma aku belum tahu seleramu.. Jadi aku buatin teh aja. Diminum ya, Mas".

Bumi memperhatikan bagaimana Ansara menaruh mug itu di meja, kemudian berdiri disana dan menunggu sampai Bumi meresponnya. "Saya gak minta dibuatin teh".

Disana, senyum Ansara lantas luntur begitu saja. "Oh, iya, Mas. Aku yang pengen buatin, soalnya lihat kamu dari tadi gak berhenti kerja dan gak juga keluar dari ruang kerja. Makanya aku buatin teh, biar seenggaknya, badanmu hangat dan gak masuk angin. Apa kamu gak suka teh ya, Mas? Mau dibuatin kopi aja? Atau mau dibikinin makanan? Kamu laper ya, Mas?".

"An". Panggil Bumi, membuat ragam pertanyaan dari Ansara terhenti. Bumi lantas menatap tajam kearah Ansara, memberi penekanan pada kalimat yang ia ucapkan. "Bisa gak ya, kamu gak ganggu saya sehari aja? Kamu ini berisik banget. Saya lagi kerja dan saya gak mau diganggu. Sekarang kamu keluar dan bawa tehnya sekalian, saya gak mau minum".

Ansara memandang bingung, seakan mendengar satu hal yang sama sekali tak ia prediksi. Penolakan Bumi barusan membuatnya linglung sesaat, sebab belum pernah mendapat perlakuan seperti itu sebelumnya di dalam hidup. Jadilah, Ansara sempat ragu, hendak ingin kembali menjawab, namun akhirnya urung. Gadis itu kemudian hanya menuruti, membawa kembali teh yang bahkan masih mengebul untuk keluar dari ruangan. "Maaf ya, Mas Bumi..".

"An". Panggil Bumi lagi saat Ansara beranjak keluar dari ruangan, membuat sang gadis menoleh seketika.

"Iya mas?".

Ekspresi Bumi begitu datar, begitu dingin seakan bagai manusia yang tak memiliki perasaan barang sedikitpun. "Tolong tutup pintunya. Dan jangan masuk ruangan ini sembarangan tanpa izin lagi".

Mendengar nada bicara Bumi yang ketus, membuat Ansara refleks menunduk sembari menggigit bibirnya. Gadis itu kembali mengangguk pelan, kemudian menuruti perkataan Bumi. "Iya, Mas. Aku gak akan ganggu lagi. Maaf..".

———

"Iya, Bu.. Ini An sudah di rumah. Lumayan capek tadi beresin sedikit, tapi sudah selesai kok. Ibu sama Ayah gimana di Bandung? Sehat?". Ansara kini tengah duduk di sofa ruang tamu, menerima telepon sang Ibu yang memastikan kondisi anak perempuannya.

Ansara tersenyum sendiri mendengar respon sang Ibu yang mengatakan semua di Bandung baik-baik saja. "Ah, An jadi kangen rumah.. Pengen ke Bandung rasanya. Salam ya, Bu, buat adek-adek sama Ayah".

Ditengah percakapan dengan sang Ibu, Ansara menangkap presensi Bumi yang baru saja keluar dari ruang kerja, berjalan santai kearah kamar tanpa mengidahkannya yang sejak tadi duduk di ruang tamu. Melihat gerak-gerik Bumi yang sepertinya sudah selesai mengerjakan pekerjaannya hari itu, Ansara buru-buru mengakhiri panggilan. "Eh, bu.. Nanti An telfon lagi ya? Ini mas Bumi kayaknya udah selesai kerjanya. An lupa belum siapin baju untuk dia mandi dan sekalian belum masak juga. Jaga diri baik-baik ya Bu, An sayang Ibu".

Setelahnya, Ansara buru-buru berjalan cepat kearah kamar. Gadis itu kemudian menatap kearah Bumi yang sedang sibuk memandangi isi lemari. Berkaca dari sang Ibu yang selalu menyiapkan baju Ayahnya saat hendak mandi, mau tak mau, Ansara berinisiatif. "Mas Bumi, mau mandi? Mau An siapin bajunya?".

"Ini kenapa baju saya pada pindah kemana-mana ya? Baju kamu kenapa ada di sini juga?". Balas Bumi tanpa menoleh, sudah mengetahui lawan bicaranya berada dibelakangnya persis.

Ansara mengerutkan kening, bingung. "Eh? Harusnya memang baju An ditaruh dimana, Mas? Bukannya disini juga? Soalnya lemari nya cuma ada satu, aku udah cek".

Bumi lantas menoleh dengan tatapan sinis. "Terus kamu bebas acak-acak lemari dan baju-baju saya gitu? Ini lemari dibawa dari rumah saya yang di Menteng, isinya selalu rapi karena udah disusun sesuai keinginan saya. Sekarang berantakan begini gara-gara kamu campur pakaianmu".

Ansara buru-buru menggeleng, berupaya menjelaskan. "Enggak kok, Mas. Ini tadi An tetap pisahin kanan dan kiri, yang kanan punya Mas Bumi semua. Aku cuma pakai space kecil diujung sini aja. Bajuku kan sedikit, gak banyak ganti-ganti".

"Besok saya beli lemari lagi, kamu pindahin bajumu semua kesitu". Balas Bumi seraya menarik kasar sebuah baju berikut celana dan berjalan melewati Ansara untuk mengarah ke kamar mandi.

Ansara berupaya kembali menyanggah. "Gak perlu, Mas.. Bajuku beneran sedikit, gak sampai selusin kalo dihitung. Sayang kalo harus beli lemari tapi nanti kosong karena aku gak isi banyak".

"Terserah. Pilih aja, mau pisah lemari atau keluarin baju-bajumu dan taruh di meja, itu aja. Saya gak suka barang kita campur, terutama baju". Balas Bumi sebelum membanting pintu kamar mandi kencang, membuat Ansara terkesiap.

Tak lama kemudian, suara kucuran air terdengar, pertanda Bumi yang sudah mulai mandi. Dengan raut bingung, Ansara mengelus dadanya sendiri, merasakan ada sakit disana karena perkataan sang suami yang entah mengapa begitu menyakitkan didengar. Dengan satu helaan nafas, Ansara mulai mengambil baju-bajunya, satu persatu dan mengeluarkannya dari lemari, memilih untuk membawanya keluar dari kamar dan menyusunnya rapi di ruangan yang ia ketahui sebagai gudang untuk sementara sampai Bumi membeli lemari baru untuknya.

Batin Ansara mulai mencelos, bersuara meski tak terucap. Mas Bumi begitu tuh.. Apa dia jijik ya sama aku?

ANSARAWhere stories live. Discover now