18. Merajuk

9.5K 378 8
                                    


Ansara berjalan pelan sekali, mencoba mengintip kearah kamar mereka, tempat dimana Bumi saat ini berada. Diluar dugaannya, lelaki itu ternyata tengah merebah di kasur, menutup mata seakan tengah terlelap. Sang gadis lantas berjalan masuk saat menyaksikan bagaimana Bumi tertidur dengan kancing kemeja yang terbuka, nampaknya kegerahan karena udara hari ini memang terbilang panas dan pendingin ruangan di kamar itu belum di aktifkan.

Sang gadis berinisiatif menghidupkan pendingin ruangan, pun melirik sekilas kearah pemandangan dada bidang Bumi yang kini hanya tertutup sebagian kain baju. Ansara sontak memalingkan pandang, malu sendiri karena sempat-sempatnya mengintip suami sendiri. Gadis itu hendak pergi setelahnya, membiarkan Bumi beristirahat di kamar. Namun, langkahnya terhenti saat memikirkan kemungkinan Bumi akan masuk angin jika dibiarkan seperti itu.

Jadilah, Ansara berbalik, perlahan kembali berjalan mendekat hingga akhirnya duduk di sisi kasur, perlahan menyentuh pundak Bumi takut-takut. "Mas? Bangun sebentar, Mas.. Bajunya dikancingin supaya gak masuk angin. Aku nyalain ac biar kamu gak gerah".

Tidak ada respon dari Bumi, lelaki itu sepertinya tetap terlelap begitu saja. Ansara mengulangi, memanggil Bumi untuk yang kedua kali, namun hasilnya tetap sama, tubuh sang lelaki tetap tak bergerak. Ansara kebingungan sendiri, menggigit bibirnya karena ragu. Gadis itu pada akhirnya mengikuti intuisinya, yaitu mengancingi satu persatu kemeja Bumi kembali, perlahan agar tidak membangunkan sang empunya.

Baru setengah perjalanan, jemari Ansara terhenti sebab Bumi menahan pergelangan tangannya. Sebelah mata Bumi terbuka, seakan mengintip kearah sang gadis yang kini menatapnya bingung. "Kamu ngapain?".

Ansara buru-buru berniat menarik tangannya kembali, namun kalah tenaga dengan cekalan Bumi. "M—Mas! Maaf, itu.. Aku cuma kancingin bajunya supaya kamu gak masuk angin".

Bumi malah terdiam, memperhatikan air muka Ansara yang kini mungkin berubah panik. Sang gadis terlihat salah tingkah. "Emang sengaja saya buka, siapa suruh kamu kancingin?".

Ansara bisa meledak di sana saat itu juga rasanya, sebab menahan malu yang begitu teramat. "Itu.. Ac kamarnya aku nyalain barusan. Kalo kamu gak kancingin bajunya, nanti bisa masuk angin pas bangun, Mas".

"Kamu ngapain peduliin saya?". Balas Bumi ketus, sejak tadi masih juga menggenggam pergelangan tangan sang gadis.

Kening Ansara mengkerut seketika. "Maksudnya, Mas? Kan memang udah seharusnya aku peduli sama kamu. Kamu kan suamiku".

"Suami ya?". Balas Bumi masih dengan nada sinis. Lelaki itu membuang mukanya. "Kalo merasa punya suami, ngapain kamu kenalan sama laki-laki lain?".

Ansara terbengong seketika, tidak menyangka akan mendengar nada bicara Bumi yang barusan. Nada bicara lelaki tadi barusan, bukannya terdengar menyeramkan, malah lebih terdengar seperti.. Rajukan. Apakah benar saat ini Bumi tengah merajuk padanya?

Ansara tak kuasa bertanya. "Kamu masih marah, Mas, aku kenalan sama Mas Galaksi?".

"Segala panggil dia Mas juga ternyata?". Sahut Bumi, masih dengan nada merajuknya.

Jantung Ansara berdegup kencang seketika, gemas sendiri menyaksikan perilaku kucing hitam galaknya yang kini makin jelas menunjukkan sisi cemburu. Tapi, Ansara tidak mau senang dulu, gadis itu perlu memastikan. "Mas.. Kamu tuh, kayak begini.. Karena cemburu?".

Bumi buru-buru bangkit, melepas cekalan tangannya di pergelangan tangan Ansara dan menkoreksi bicara sang gadis. "Cemburu apaan?! Ya, nggak lah. Jangan kegeeran kamu. Buat apa saya cemburu sama kamu?".

Binar di mata Ansara langsung meredup. Kecewa sendiri karena Bumi mentah-mentah mengatakan tidak meski sikapnya berkata sebaliknya. "Habisnya kamu jadi marah setelah aku cerita tadi. Maaf, kirain kamu cemburu. Atau mungkin, kamu marah karena aku gak izin dulu tadi perginya ya, Mas?".

Bumi mendelik, memutar matanya sejenak dalam upaya berpikir. "Hmm.. Iya, itu. Memang apa lagi? Yang jelas bukan cemburu. Ingat ya".

Setelahnya, Bumi memilih bangkit, meninggalkan Ansara di tempatnya dengan rungutan akibat rasa kecewa. Sedangkan Bumi sendiri berjalan cepat menuju ke kamar mandi, memegangi dadanya sendiri yang kini berdebar. Lelaki itu buru-buru menutup pintu, tidak mengizinkan Ansara menyadari kegugupannya barusan. Ia bingung sendiri dengan sikapnya barusan. Wajar Ansara kebingungan melihat sikapnya, toh Bumi juga sama herannya.

Memangnya kenapa juga harus marah? Kan gak punya perasaan apa-apa?

Pertanyaan itu dibiarkan menggantung begitu saja, sebab sang lelaki memilih mengguyur kepalanya dengan air dingin, meluruhkan emosinya yang sejak tadi terus menjalar semenjak mendengar nama Galaksi.

Sialan, siapa juga sih Galaksi itu? Dari namanya aja sudah menyebalkan.

———

Malam ini, Bumi diharuskan kembali hadir di acara makan malam keluarga yang sebelumnya sempat tertunda. Lelaki itu menatapi diri di cermin, mengecek penampilannya sekali lagi sebelum bersiap pergi. Kemeja berwarna biru dongker, berpadu dengan celana abu-abu gelap, menambah kesan dewasa darinya yang tentu saja sanggup memikat siapa saja lawan jenis yang menatap.

"Mas, boleh bantu aku?". Suara Ansara serupa cicitan, menatap kearah Bumi yang kini menoleh kearah presensinya. Semula, tidak ada yang aneh dengan penampilan Ansara di gaun senada dengannya, kebiruan. Hingga akhirnya gadis itu berbalik, menunjukkan punggung terbukanya yang belum tertutup resleting. "Ini, Mas, aku susah resletingnya. Boleh bantu?".

Netra Bumi memaku, tak kuasa memandang kulit putih di depan matanya, terlebih, bagian pundak Ansara juga ikut mengintip dibalik gaun yang belum terpakai dengan sempurna. Bagai tersihir, Bumi berjalan mendekati Ansara, kemudian membiarkan intuisinya mengambil alih.

Entah apa yang ada di kepala Bumi sekarang, sebab tanpa diminta, lelaki itu malah menempelkan hidungnya di tengkuk terbuka Ansara, menghirup aroma manis yang membuat Bumi sampai menghela nafas. Ansara sendiri tersentak, terkejut akan kontak fisik yang baru saja terjadi, merasakan serupa sengatan listrik menyapa tengkuknya saat Bumi kini mengganti hidungnya dengan bibir, mengecup kulit Ansara bak terkena magis.

Ansara menggigit bibir, menahan helaan nafas keluar dari bibirnya saat Bumi menarik resletingnya naik. Kemudian menarik dirinya pula ke posisi semula, memberi jarak. "Fuck. Sorry, An".

Bumi lantas mundur selangkah, menggeleng cepat, merutuki dirinya sendiri karena sudah kalah dengan keinginan saat mencium aroma manis berikut pemandangan kulit Ansara yang begitu menggoda. Sempat terdiam sejenak, Ansara pada akhirnya membalikkan tubuh, menatap Bumi dengan malu-malu. "Gak apa-apa, Mas. An gak masalah kok. Kamu kan suami An".

Pemandangan Ansara yang malu-malu, dengan pipi memerah dan pandangan sayu, membuat Bumi perlu menampar pipinya agar tetap terjaga rasionalitasnya. Lelaki itu kemudian mengalihkan pandang, takut akan kehilangan kendali jika terlalu lama memandang Ansara setelah insiden tadi.

"Kamu duluan kebawah deh, An. Saya perlu cuci muka sebentar. Tunggu aja dibawah". Ucap Bumi sebelum masuk ke kamar mandi.

Sedangkan Ansara berakhir menutup wajahnya sendiri. Jantungnya berdegup tak karuan selaras dengan hatinya yang ikut berbunga. "Duh, Mas Bumi.. Gimana ini, An deg-degan banget".

ANSARAWhere stories live. Discover now