42. Belajar Merelakan

11.7K 382 28
                                    

Suara ketukan di pintu ruang kerja Bumi, membuatnya mengalihkan pandang dari laptop. "Masuk".

Bumi mengira, Bianca lah yang akan masuk. Namun, netranya membulat seketika saat menemukan Gepa berjalan memasuki ruangannya. Sontak, Bumi berdiri. "Gepa?".

"Gepa ganggu gak? Lagi sibuk kamu?". Tanya Gepa, sebelum memutuskan untuk duduk di kursi yang letaknya berhadapan dengan Bumi, menyamankan diri.

Bumi menggeleng. "Enggak, Gepa, cuma lagi check beberapa kerjaan aja".

Gepa mengangguk, kemudian, pandangnya mengedar ke sekeliling ruangan. "So, Bumi, Gimana menurutmu setelah duduk di kursi itu selama berapa lama.. Tiga tahun, ya? Do you enjoy it?".

Bumi mengerutkan kening, mencoba mengerti arah pembicaraan Gepa. "Great. Masih banyak yang Bumi harus pelajarin, but I quite enjoy it".

"Good". Gepa tersenyum mendengarnya. Selanjutnya, lelaki yang usianya cukup senja itu bangkit dan berjalan menuju ke area kaca jendela, memandang keluar. "Kamu tahu apa agenda meeting dadakan yang Gepa set setelah ini?".

Bumi menggeleng, sebab ragu jika tebakannya benar. "That's what I also asked Bianca, you didn't put the detail agenda on the email".

"Kamu akan Gepa tunjuk jadi Direktur Utama, Bumi. Kepemilikan perusahaan ini, akan Gepa berikan seluruhnya untuk kamu. Jadi seluruh saham perusahaan ini, akan jadi milik kamu. Dan, setelah ini, kamu yang akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan seluruh dewan komisaris. Sesuai janji Gepa. Gak cuma itu, pabrik kita yang di Cikarang, yang sempat Gepa janjikan, juga akan Gepa urus kepemilikannya agar berpindah pada kamu". Ucap Gepa lugas, membuat Bumi tercengang di tempatnya.

Bukannya Bumi tak mengharapkan ini, memang ini salah satu tujuan awal sang lelaki menuruti keinginan Gepa menikah dengan Ansara. Namun, bukankah rasanya terlalu cepat?

"Maaf, Gepa. Bukannya, selama Gepa masih hidup, semua masih atas nama Gepa? Bukannya janji Gepa, kepemilikan harusnya pindah ke Bumi setelah Gepa gak ada?". Tanya Bumi heran.

Gepa menoleh, memandang kearah cucu laki-laki terakhir yang kini sudah benar-benar dewasa, bukan lagi anak kecil yang suka berada dalam gendongannya. "Kamu silahkan berterima kasih sama Ansara. Dia yang bikin Gepa yakin untuk serahkan semua sekarang, sebelum Gepa gak ada".

Bumi makin tak mengerti, dahinya mengkerut berupaya memahami. Sebab tak masuk diakal, bagaimana caranya seorang Ansara yang polos dan tak memiliki pengetahuan apapun soal mengatur perusahaan berhasil meluluhkan dan meyakinkan seorang sekelas Patria yang jelas berpengalaman dalam memimpin perusahaan?

"Ngomong-ngomong Ansara, istrimu itu sikap dan sifatnya persis sekali dengan Bapaknya. Gepa gak salah menikahkan kamu dengannya. Baik dan santun sekali anak itu". Ucap Gepa, menyambung bicara, lantas menaruh kedua tangannya di saku celana. "Gepa berharap, anak kalian nanti, sifatnya bisa menurun dari Ansara, dan etos kerja dan gigihnya dalam mengerjakan sesuatu, bisa menurun dari kamu".

Bumi nyaris tersedak, tak menyangka Gepa akan membawa topik anak diantara mereka. Lelaki itu lantas mengalihkan topik. "Jadi, nanti, Gepa mau bikin announcement di meeting soal ini?".

"Kurang lebih begitu". Balas Gepa, mengecek arlojinya sejenak. "Sudah hampir jamnya, ya? Let's just start the meeting right away".

Bumi lantas mengangguk. "Okay, Gepa".

———

Mendapat undangan khusus dari sekertaris Bumi, Diandra tahu jelas apa maksud sang lelaki mengirimkan invitation meeting dengan agenda pitching ke tempat sang gadis bekerja. Pasalnya, usai pertengkaran hebat mereka kemarin, Diandra langsung memutus segala jenis kontak mereka, membuat Diandra bisa menebak pergerakan Bumi selanjutnya.

ANSARAWhere stories live. Discover now