60. Menuai Kembali Rasa

12.4K 464 38
                                    

Bumi menanti hasil pemeriksaan dokter dengan penuh cemas. Seperti ucapannya, ia terus berada di sisi Ansara sepanjang perawatan intensif. Tidak sekalipun meninggalkan rumah sakit, pun tidak juga memberi tahu siapapun perkara masuknya Ansara ke rumah sakit karena tak mau ada orang lain yang menjenguk dan merebut posisi pentingnya sekarang. Bahkan, untuk sekedar mandi dan berganti pakaian pun Bumi harus meminta Bi Mai mengantar ke rumah sakit, agar ia tidak perlu meninggalkan ruang rawat.

"Semua hasil testnya bagus. Tidak ada pendarahan dalam atau luka di bagian-bagian vital. Berdasarkan pantauan kami, besok pasien sudah kami izinkan untuk pulang dan melakukan rawat jalan untuk robekan ligamen di kaki kanan yang masih dalam recovery". Jelas sang Dokter yang disaksikan oleh Bumi dan Ansara langsung.

Bumi bernafas lega, lelaki itu menyunggingkan senyum. "Terimakasih banyak, Dok".

Sang Dokter mengangguk. "Baik, setelah ini silahkan makan siang dan konsumsi obat, ya. Kami sudah beri beberapa obat painkiller dan antibiotik yang harus dihabiskan".

Ansara tidak menjawab, hanya Bumi yang merespon. "Baik, Dok. Akan saya pastikan makanannya habis".

Sang Dokter mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Pak. Nanti saya akan visit lagi di jam lima sore".

Sepeninggalan dokter, Bumi lantas menoleh kearah Ansara, yang tentunya membuat sang gadis menyeru. "Apa lihatin begitu?".

Bumi tersenyum jenaka. "Denger gak tadi kata Dokter? Kamu boleh pulang katanya".

"Ya, terus?". Sahut Ansara tak mengerti.

Bumi menopangkan kepalanya di sebelah tangan, menatap Ansara jenaka. "Artinya, kita bisa cepet berduaan lagi dirumah".

Tentu saja sang gadis bersungut. "Ngaco aja. Siapa juga yang mau pulang sama kamu?".

"Ya, kamu lah. Emang istri saya siapa? Kan kamu doang". Balas Bumi lagi.

Secepat kilat, Ansara menyambar. "Gak tahu deh, kan kamu punya pacar juga".

Mendengar sindiran dari Ansara, Bumi terkesiap. Lelaki itu tahu, Ansara memang benar-benar menyindirmya. Tapi entah mengapa, nada bicara sang gadis terdengar tak seperti biasanya. Sebab gadis itu terdengar lebih seperti tengah merajuk.

"Sayang.. Kan sudah saya bilang. Sekarang cuma ada kamu di hidup saya. Saya maunya kamu, bukan orang lain. Sama si kecil di perutmu juga". Ucap Bumi menenangkan, menatap penuh perhatian pada sang puan.

Ansara mendelik. "Ini ya jurus kamu deketin perempuan? Aneh, dari awal aku gak pernah tahu kamu bisa semanis ini sama perempuan".

"Iya, iya, saya salah, An. Waktu itu saya masih denial, makanya cuekin kamu habis-habisan. Padahal dari awal juga udah terpesona, kamunya cantik begini. Apalagi, waktu di altar, lihat kamu pake gaun yang pas banget di badan, pusing saya sebenernya". Jelas Bumi, mencoba mempersuasi istrinya yang terdengar makin merajuk dengan terus mencetuskan pertanyaan konyolnya.

Tak ada lagi jawaban yang terdengar dari Ansara, gadis itu hanya sibuk menatap kearah lain, seakan menyembunyikan wajahnya. Disana, Bumi berupaya mendekat, lelaki itu bahkan memberanikan diri untuk mencolek pipi sang puan, yang mana langsung di hadiahi pelototan oleh Ansara. Melihatnya, Bumi terkekeh. "Maafin saya, ya? Saya nih udah pol-polan begini ngejar kamu biar balikan sama saya. Masa masih ditolak aja?".

"Kamu aja tolak aku terus". Sahut Ansara lagi, seakan
masih belum puas menghujam Bumi dengan fakta akan betapa menyebalkan sikapnya dulu pada Ansara.

Bumi tersenyum. Kali ini, terdengar jelas nada rajukan dari Ansara yang bertambah manja untuknya. "Jadi ceritanya kamu balas dendam, ya? Ini saya lagi dihukum berarti ya sama kamu? Kalo gitu, gak apa-apa deh, saya ikhlas. Asal ujungnya, kita balikan".

"Kayak pernah ada hubungan aja". Sungut Ansara tak mau kalah, terus menapik bicara sang lelaki.

Bumi lantas menaikkan sebelah alisnya. "Memang ada. Itu buktinya anak di perutmu, hasil perbuatan siapa kalo bukan kita berdua? Apa perlu saya ingetin nih, waktu pembuatannya? Mau saya ingetin waktu yang dimana? Di kamar, bathup, at..".

"Bumi! Kamu apaan, sih?!". Buru-buru, Ansara menutup mulut Bumi, mencegah hal memalukan lain tersebut dari bibirnya.

Lelaki itu terkekeh, kemudian mengecup telapak tangan Ansara yang menutupi mulutnya, sebelum tangannya menggenggam erat tangan mungil milik sang puan. "Kamu inget gak? Saya pernah bilang waktu itu.. Saya gak akan pernah sembarangan tidur sama orang. Saya tidurin kamu, itu bukan karena nafsu doang. Tapi karena perasaan saya ke kamu. Terutama perasaan ingin memiliki kamu sepenuhnya".

Ansara terdiam memperhatikan saat Bumi menatapnya lembut, netra mereka sempat terkoneksi. Lelaki itu tak kuasa kembali berceloteh. "Saya udah secinta ini sama kamu, masa kamu masih gak percaya, sih? Memang gak kerasa ya?".

Ansara kembali mengalihkan pandang, namun ia membiarkan tangannya tetap digenggam. Gadis itu terus membisu untuk waktu yang cukup lama, membiarkan hening yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang Bumi lontarkan.

Bumi lantas menghela nafas panjang, seakan mengerti bahwa usahanya belum membuahkan hasil yang maksimal. "Iya, deh. Ngerti saya, masih susah percaya, ya? Gak apa-apa. Saya tungguin sampai kamu yakin lagi".

Setelahnya, Bumi melepas genggaman tangan mereka. Lelaki itu bangkit untuk meraih sesuatu, membuat Ansara menoleh sebab merasa kehilangan saat Bumi melepaskan tangannya. Hanya beberapa detik, lelaki itu kembali dan membawa sebuah piring di tangannya. "Sekarang, kamu makan dulu. Kalo mual, asal telan sedikit aja. Yang penting obatnya diminum".

Dengan perlahan, Bumi menyendokkan makanan dari piring Ansara ke mulut sang gadis. Awalnya, Ansara menatap sinis, namun berkat kesabaran Bumi, gadis itu akhirnya membuka mulutnya. Dengan telaten, Bumi menyuapi Ansara, yang herannya kali ini memilih menurut dan sama sekali tidak memerangi. Lelaki itu tersenyum simpul saat mendapati piring makan Ansara berangsur habis.

"Pinter makannya istri saya". Ucap Bumi memuji, menyisihkan piring makan dan mengambil beberapa botol yang berisikan obat-obatan. "Nah, sekarang minum obatnya. Terus istirahat, biar bisa cepat pulih".

Bumi memberikan beberapa butir obat dari tangannya untuk Ansara minum, semua ia berikan sesuai anjuran Dokter yang merawat sang gadis. Setelah memastikan Ansara meneguk obatnya, lelaki itu lantas kembali duduk dengan tenang disisinya. "Kalo ngantuk, kamu tidur aja, ya. Saya disini terus kok, gak kemana-mana".

Ansara terdiam lama, matanya sibuk bersirobok dengan netra Bumi yang entah mengapa terlihat begitu lembut menatapnya. Pada akhirnya, gadis itu berbicara kembali. "Kamu disini terus, memang gak kerja?".

Bumi menggeleng. "Enggak, saya langsung ambil cuti waktu tahu kamu masuk rumah sakit".

"Memang bisa begitu? Masa langsung cuti gitu aja?". Sahut Ansara tak percaya.

Sang lelaki terkekeh. "Ya, bisa, sayang. Kan sekarang saya bosnya. Siapa yang mau ngelarang kalo bosnya yang putusin?".

Kekehan lain terdengar dari Bumi saat melihat Ansara  menaikkan sebelah alisnya, seakan takjub mendengar jawaban sang lelaki. Dengusan pun terdengar dari mulutnya. "Dasar angkuh".

"Angkuhnya kan sama orang lain, sama kamu enggak". Sahut Bumi tak mau kalah, yang langsung dihadiahi dengan punggung oleh Ansara, sebab gadis itu sontak berbalik dan memunggunginya. Mendapati sikap Ansara yang tengah tarik ulur itu, Bumi tertawa pelan.

Lucu banget ternyata sifat asli istri saya, kayak anak kecil begini.

ANSARAWhere stories live. Discover now