22. Dibawah Satu Atap Yang Sama

9.3K 354 3
                                    

Ansara tidak mampu berfokus, sebab percakapan Bumi dan Bi Mai sejak tadi, memakan waktu yang cukup lama. Gadis itu bahkan tak bisa berhenti menyeka titik airmata yang terus bermunculan di sisi matanya, sebagai bentuk reaksi dari perasaan di hatinya yang campur aduk.

Niatan memasak, jadi tidak bisa dilakukan dengan cepat seperti biasanya. Ansara sulit sekali berkonsentrasi, sibuk memikirkan perkara kesalahannya yang sampai sekarang masih membuat kepalanya pening. Serba salah, semua yang Ansara lakukan seakan salah di mata Bumi.

Lantas apa yang seharusnya ia lakukan?

"Lain kali tolong jangan diulang, Bi". Ucap Bumi saat menyudahi bicaranya pada Bi Mai di ruang tamu. Bi Mai hanya sempat mengangguk sejenak, sebelum memilih kembali ke dapur, berniat membantu kerja Ansara untuk menyiapkan sarapan yang jatuhnya sekarang adalah makan siang.

Melihat Ansara yang menyeka matanya berulang kali, Bi Mai langsung berlari mendekat, khawatir sesuatu terjadi pada sang gadis. "Non? Atuh, Non nangis? Ada apa? Luka lagi, Non?".

"Bi Mai, An minta maaf ya". Cicit Ansara, menatap kearah Bi Mai dengan hidungnya yang sudah kemerahan karena menangis. Ansara menunduk, berupaya menyudahi tangisnya yang makin jadi. "Gara-gara An, jadi Bi Mai ikut dimarahin. Maaf. Lain kali, An janji akan tahu waktu. Gak akan sembarangan lagi".

Bi Mai menautkan alisnya bingung, lantas menggeleng kuat. "Enggak, Non. Sama sekali bukan salah Non Ansara. Itu tadi Bibi dipanggil Den Bumi juga bukan dimarahin, cuma ditanya-tanya aja kok, beneran".

"Bener, Bi? Gak dimarahin?". Sahut Ansara menatap polos, sang gadis masih saja terseguk, berupaya mengatur nafasnya.

Sedang Bumi yang baru berjalan kembali dari ruang tamu keheranan sendiri saat menemukan wajah Ansara yang kini sembab, khas habis menangis. Tentu saja, tak kuasa ia menahan diri untuk tak bertanya. "Kenapa kamu?".

Ansara yang baru menyadari kehadiran Bumi, langsung berbalik badan, menyembunyikan tangisnya dengan menghapus sisa-sisa airmata yang masih membasahi pipi, sebelum melanjutkan kegiatan memotong-motong sayuran. "Gak apa-apa, Mas, ini tadi habis potong bawang, makanya pedih matanya".

"Gak perlu dilanjutin masaknya, saya mau keluar habis ini". Ucap Bumi setelahnya.

Ansara lantas menoleh. "Mau kemana, Mas? Bukannya hari ini libur?".

"Memang kalo libur saya gak bisa keluar rumah? Saya ada urusan". Balas Bumi ketus, tanpa menanti respon Ansara lagi, lelaki itu melenggang ke lantai atas, kembali ke kamar untuk bersiap-siap.

Ansara sontak melepas pisau dan sayuran di tangannya. Gadis itu menghela nafasnya panjang. Sapuan halus di punggung dan pundak Ansara dari Bi Mai langsung menyapa, seakan mengerti kesedihan yang Ansara alami kali itu. Bi Mai sontak menenangkan. "Sudah, Non, istirahat aja. Biarin Den Bumi pergi.. Dari pada dia makin marah. Sini, sayurannya Bibi yang potong. Masaknya biar Bibi yang lanjutin. Walau Den Bumi gak makan dirumah, kan Non An masih harus makan".

Ansara ingin sekali memerangi, ingin juga turut membantu mengerjakan agenda di dapur, namun ternyata, tenaganya seakan tersedot habis. Perasaan tak nyaman di hatinya terus saja menjalar di setiap harinya. Jadilah, Ansara mengangguk, menyetujui. "An titip ya, Bi. Makasih banyak".

Selanjutnya, sang gadis ikut melangkah keatas, menuju ke kamar mereka untuk beristirahat. Sesampainya di kamar luas mereka, Ansara menemukan baju yang akan Bumi kenakan tergeletak di atas kasur, setelan santai polo shirt yang dipadukan dengan jeans, lengkap dengan aksesorinya sudah tersedia disana.

Kira-kira, Mas Bumi mau kemana, ya? Pakai pakaian santai begitu, pasti.. Ganteng banget kan?

Ansara refleks menepuk pipinya, menyadarkan lamunannya yang entah berpikir kemana. Ansara baru mulai merasakan sekarang betapa sulit rasanya hidup bersama seseorang yang bahkan tidak menginginkan untuk tinggal dibawah atap yang sama. Sebab banyak sekali batasan yang Ansara tak ketahui, banyak sekali hal yang ingin gadis itu lakukan namun tak bisa.

Contohnya hari ini. Dimana satu-satunya hal yang Ansara mampu lakukan ialah memeluk baju Bumi sebentar, menghirup aroma khas miliknya saat sang lelaki masih sibuk di kamar mandi. Sebab mustahil baginya bisa berlaku lebih, bahkan disaat hatinya tengah tak tenang begini, berharap setidaknya bisa memeluk Bumi sebentar, untuk sekedar menenangkan diri dari perasaan yang Ansara tak sukai.

———

"Kamu kenapa gak mau saya jemput, Di? Kan padahal searah juga". Ucap Bumi setelah mendapati Diandra di hadapannya, duduk bersebrangan di salah restoran yang mereka jadikan destinasi janjian di waktu weekend ini.

Diandra hanya menunjukkan senyum setengah. "Aku tadi ada urusan dulu di kantor. Lagian, kamu mau jemput aku pakai mobilmu? Gak mungkin lah, Bumi. Mobilmu itu gampang banget dikenalin. Apa lagi di area kantorku".

Meski tak mau, Bumi pada akhirnya perlu mengakui. Bahwa saat ini, setelah ia resmi menikah dengan Ansara, ruang geraknya memang sudah tak seluas dulu. "You're right. Maaf, saya gak kepikiran sampai situ".

"Mau makan apa? Kayak biasa?". Ucap Diandra, memilih tidak melanjutkan pembahasan tadi dan langsung membolak-balik buku menu.

Bumi mengangguk. "Kamu pilihin aja".

Diandra lantas memanggil pelayan, kemudian memesan fillet mignon untuk Bumi dan pasta untuknya. Setelahnya, Diandra menutup buku menu dan langsung menatap Bumi serius saat pelayan meninggalkan meja keduanya. "So? How's the dinner with your family?".

"Kamu serius mau bahas soal itu di saat kita lagi quality time berdua begini?". Balas Bumi, meragu.

Diandra mengangguk pasti. "Iya. Kenapa memangnya? Sekarang, obrolan yang menyangkut Ansara jadi hal yang sensitif buat kamu?".

Bumi menghela nafasnya berat. Jelas sebenarnya tidak menyukai obrolan ini. "Semalam, yah, baik-baik aja. Lancar, gak ada drama lagi".

"Gak mungkin gak ada obrolan apa-apa kan, Bumi? It's a family dinner. Bukan cuma makan sore biasa".
Sahut Diandra tak jera mencari tahu.

Bumi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya memilih menggeleng. "Di, kalo pun saya cerita soal apa yang kemarin diomongin waktu makan malam, nantinya akan menyakiti kamu. Menurut saya, gak perlu kita obrolin itu".

"Menyakiti aku? How? Aku gak ngerti". Balas Diandra tak mau kalah, bahkan kini menunjukkan gestur penuh tuntutan dengan melipat tangannya di dada. "Bumigantara, ngomongmu ini jadi aneh. Kenapa sekarang aku ngerasa jadi orang lain, ya? Bukannya hubungan yang kamu pilih itu hubungan kita? Kenapa sekarang kebalik dan kamu jadi nyembunyiin dari aku?".

Bumi memejamkan matanya. "Sayang, saya hari ini temuin kamu bukan untuk debat. Saya justru butuh kamu untuk benahin isi kepala saya yang lagi kusut. Jadi tolong jangan punya prasangka aneh-aneh dan tambahin pikiran saya".

"Gak ada juga yang mau debat sama kamu. I asked a simpe question, and you supposed to answer. That's it. Kamu yang dari tadi hindarin pertanyaan aku". Balas Diandra, tidak mau mengalah.

Bumi lantas menatap dalam kearah Diandra, memikirkan cara paling aman menyampaikan hasil percakapan semalam tanpa menyakiti hati kekasihnya itu. Lelaki itu memijat pelipisnya yang kini kembali berdenyut. "Gepa mau saya mikirin keturunan".

Ucapan Bumi benar berhasil membuat Diandra membeku seketika di tempatnya, netra gadis itu bergetar seakan terkejut akan hal yang didengar. "Maksudmu.. Punya anak?".

"Iya. Gepa mau saya mulai mikirin untuk punya anak, dan itu berarti dari Ansara". Sahut Bumi lagi, menutup pembicaraan setelahnya dan menggantinya dengan diam.

Keduanya sama-sama terdiam, sebab tidak lagi tahu apa yang harus dibicarakan lagi. Peringatan yang Bumi lemparkan pada Diandra tadi memang ada benarnya. Sebab rasa sakit itu menjalar dengan cepat di dada sang gadis, membuatnya tak lagi memiliki keinginan untuk makan barang sedikitpun.

ANSARAWhere stories live. Discover now