17. Sepasang Mata Indah

8.3K 376 9
                                    

Bagian terindah dari Ansara, sepanjang orang menatapnya, ialah kedua matanya. Bisa dibilang, mata cantik itu, adalah sarana Ansara memikat sekitarnya. Begitu tajam, tapi juga teduh. Dan tiap menatap, begitu lekat hingga rasanya ingin berlama-lama terkunci di pandangannya.

Bahkan Bumi, yang nyatanya tidak menyukai presensinya, diam-diam mengakui betapa indahnya mata Ansara. Itu sebabnya lelaki itu sering hilang diri saat menatap sang gadis, sebab terpikat begitu saja. Sedangkan sang pemiliknya, Ansara, sama sekali tak menyadari betapa memikatnya dua netra kecokelatan miliknya itu. Gadis itu seringkali menatap lama ke orang lain, menunjukkan binarnya tanpa memikirkan efek yang ia timbulkan setelahnya.

"Galaksi". Ucap lelaki itu mengenalkan diri. Lantas menyodorkan sebelah tangannya untuk dijabat. "Makasih banyak udah bantuin saya belanja, Mba.. Siapa namanya?".

Ansara menatap tangan di depannya selama beberapa detik, sebelum menyambut jabat tangan itu. "Oh, Ansara, Mas. Sama-sama ya".

"Ah, Mba Ansara. Beneran makasih loh, Mba, soalnya ini saya belanja buat Ibu saya. Dia gak pesan detail gimana tips sama trick cari bahan makanan seger. Untung Mba Ansara bantu. Gak jadi diomelin saya sama Ibu". Ucap Galaksi, menjelaskan perkara ucapan terimakasihnya.

Ansara menggeleng. "Aduh, bukan apa-apa kok itu, Mas. Mudah-mudahan Ibunya cocok dengan pilihan tadi ya. Memangnya lagi mau ada acara ya, Mas? Kok belanjanya banyak banget?".

"Iya, ulangtahun Ibu saya. Mau barbeque gitu, Mba". Balas Galaksi lagi.

Ansara lantas mengangguk. "Ah, selamat ulang tahun untuk Ibunya ya, Mas".

"Makasih, Mba".

Ansara lantas mengundurkan diri. "Kalo gitu, saya duluan ya?".

"Iya, Mba. Hati-hati. Naik apa pulangnya?". Balas Galaksi, menunjukkan raut khawatir.

Ansara mengecek ke depan. "Naik taksi aja paling nanti stop di depan, Mas".

Galaksi mengerutkan keningnya. "Mm—Mau bareng saya aja gak, Mba? Tenang, saya bukan orang jahat kok, beneran, kalo Mba takut, nanti kita di mobil buka kaca aja, biar kalo saya sampai ngapa-ngapain, Mba bisa teriak".

Ansara tak sanggup menahan kekehannya. "Saya gak takut sama Mas kok. Tapi, saya pulang sendiri aja, gak apa. Naik taksi aja. Makasih ya, Mas, tawarannya".

Galaksi memutar otaknya. "Oh, kalo gitu, saya bantu cegat taxinya didepan ya, Mba? Seenggaknya biarin saya bantuin, Mba kan tadi udah bantuin saya".

Kali ini, Ansara tidak bisa menolak lagi, sebab Galaksi sudah lebih dulu berjalan dengan membawa beberapa kantong milik Ansara, membantunya. "Ayo, Mba?".

"Eh? Iya, Mas".

———

Perkara perdebatannya dengan Diandra tadi, Bumi jadi tak memiliki keinginan melanjutkan kerja. Setelah puas menangis, Diandra memilih pergi, meninggalkan Bumi dengan alasan masih ada pekerjaann yang perlu diurus. Sedangkan Bumi, merasakan seluruh hatinya dirundung perasaan tak nyaman. Rasa bersalah, takut, juga bingung, bercampur aduk hingga membuat perutnya mual.

Dari sekian banyaknya tempat yang bisa didatangi, Bumi memilih pulang. Entah kenapa. Mungkin, karena hanya tempat itu yang bisa ia jadikan tempat beristirahat sejenak dari kehidupannya diluar. Tanpa banyak berpikir, Bumi menyetir sendiri pulang, ke rumah yang ia tempati bersama Ansara sekarang. Rumah mereka.

Dan, Bumi menemukan kosong disana. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ansara yang biasanya akan menyambutnya saat ia pulang. Bumi sempat heran, namun tak berapa lama, telinganya menangkap suara mobil dari luar sana.

Langkah kaki itu terdengar terburu-buru, nampaknya menyadari mobil Bumi yang terparkir di garasi dan langsung buru-buru masuk kedalam rumah guna memastikan. Suaranya terdengar, nampak khawatir. "Mas? Kamu jam segini udah dirumah? Kenapa? Sakit? Atau ada yang ketinggalan?".

Bumi lantas berbalik, menemukan Ansara dengan balutan rapi, kaos pas badan dan rok bahan berwarna hitam yang menyentuh tumitnya. Gadis itu memilih mengikat rambutnya kali ini, membuatnya terlihat berbeda. Beberapa kantong belanja dicampakkan di lantai begitu saja, sedangkan sang gadis berjalan mendekat, kemudian berupaya menyentuh dahi Bumi dengan punggung tangannya, namun kesusahan sendiri karena perbedaan tinggi badan mereka. "Mas? Nunduk sedikit boleh? Aku mau cek suhu badanmu".

"Kamu dari mana?". Balas Bumi, mengabaikan permintaan Ansara.

Ansara menarik tangannya balik. "Oh, aku dari supermarket, belanja sedikit tadi, soalnya Bi Mai kan gak masuk".

Bumi memperhatikan beberapa buah kantong belanja yang kini teronggok di lantai. "Kamu bawa semua itu sendirian?".

Pandangan Ansara ikut turun, memeperhatikan lantai. "Ah, enggak. Tadi untung pas mau naik taksi dibantu orang. Terus tadi turunnya sempat dibantu Mas taksinya, terus aku minta sampai pagar aja, kasian soalnya".

"Lain kali ajak Bi Mai. Kalo dia gak masuk, tunggu pas dia masuk aja". Balas Bumi lagi.

Ansara mengangguk. "Iya, Mas. Tadi soalnya bingung beberapa bahan masakan habis. Lain kali aku ajak Bi Mai".

Bumi lantas memunguti satu-persatu kantung belanja dari lantai dan memindahkannya ke meja makan. Ansara otomatis ikut membantu, mengangkat hasil belanjaannya ke atas meja makan dan mulai membuka satu persatu tas tersebut untuk mengeluarkan isinya.

Tanpa diminta, Bumi ikut mengeluarkan isi belanjaan istrinya tersebut, membuat Ansara diam-diam menahan senyuman. Diam menyelimuti kegiatan mereka, membuat Ansara tak kuasa membuka suara. "Tadi pas belanja, aku ketemu sama orang yang lagi belanja buat ibunya, Mas. Lucu deh, bingung gitu dia, soalnya gak pernah belanja sebelumnya. Aku jadi keinget Mas Bumi".

"Kenapa ingat saya?". Sahut Bumi terusik.

Ansara terkekeh. "Gak tahu, mungkin penampilannya kali ya? Akhirnya, tadi An bantu dia pilih-pilih, terus dia bilang makasih berulang kali, bersyukur katanya aku bantu, sampai nawarin buat antar pulang segala, tapi An tolak. Dia kira An takut dia orang jahat, padahal An gak enak aja numpang sama orang yang baru dikenal".

Saking polosnya, Ansara terus bercerita, tidak menyadari perubahan ekspresi Bumi sekaligus kegiatan sang lelaki yang langsung terhenti. "Yang kamu lagi omongin ini laki-laki, An?".

Ansara menoleh. "Eh? Iya. Namanya Mas Galaksi, tadi An sempat kenalan".

Bumi kini bertolak pinggang. "Maksudmu, kamu lagi bilang ke saya, kalau kamu tadi baru aja kenalan sama laki-laki?".

Ansara refleks menggaruk kepalanya. "Eh.. Hmm.. Tadi An gak sengaja sih kenalannya, Mas?".

Entah apa yang membuat Bumi hilang selera membantu kegiatan beberes belanjaan Ansara, yang jelas, selepas mendengar jawaban sang gadis, Bumi lantas memilih pergi ke kamar, meninggalkan Ansara yang masih kebingungan di tempatnya.

Ansara berupaya mengingat-ingat, bagian mana yang membuat Bumi tak suka?

"Padahal An kan cuma berusaha cerita biar gak diem-dieman.. Mas Bumi marah kenapa ya? Apa karena pergi tanpa izin dulu ya? Kata Bapak memang gak boleh sih, pergi tanpa izin suami.. Tapi kan..". Monolog Ansara, lantas memejamkan mata selama beberapa detik, sampai netranya terbuka mendadak. Seakan menyadari sesuatu, Ansara refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Astaga! Masa iya mas Bumi.. Marah gara-gara An ngomongin cowok lain? Masa iya Mas Bumi.. Cemburu?".

Ngomong apa sih, Ansara? Jangan kegeeran, deh. Sahut batin Ansara bersuara, namun rona kemerahan di pipinya, nyatanya tak mampu ditahan.

ANSARAWhere stories live. Discover now