25. Hari Tidak Biasa

8K 335 23
                                    

Hari ini, memang masih hari minggu. Tapi, Bumi sendiri sudah menyibukkan diri sejak pagi tadi dengan  mengejar pekerjaan. Beberapa file report, secara teliti, ia cek satu-persatu. Saking sibuknya, Ansara bahkan perlu mengantar sarapan Bumi ke ruang kerjanya. Buah-buahan, air putih dan secangkir kopi, menu yang Ansara ketahui akhirnya, selalu menjadi sarapan favorit sang lelaki.

"Mas, ini sarapanmu aku taruh disini ya. jangan lupa dimakan ya buahnya, kopinya juga, mumpung masih hangat". Ujar Ansara sembari menaruh piring dan gelas di atas nakas ruang kerja Bumi.

Bumi hanya melirik sekilas dan mengangguk, sebelum kembali memusatkan fokus pada laptopnya. "Thanks, An".

Ansara tersenyum mendengar Bumi mengucap terimakasih untuknya, meski mungkin secara tidak sadar. "Sama-sama, Mas. Aku keluar ya. Pintunya aku tutup biar kamu gak keganggu".

Sepeninggalan Ansara, Bumi kembali berkutat dengan deretan huruf yang sukses membuat kepalanya pening. Berulang kali, lelaki itu memijat pelipisnya, mencoba memecahkan maksud dari satu kalimat ke kalimat lain.

Setelah menghabiskan kurang lebih setengah jam dengan untaian kata di laptop, Bumi memilih beristirahat. Lelaki itu melirik kearah nakas meja kerjanya yang sudah dihinggapi piring dan gelas sarapannya. Kakinya lantas melangkah untuk mengambil benda-benda tersebut.

Lelaki itu lebih dulu menyeruput kopi buatan Ansara yang kini mulai menjadi familiar baginya. "Wah, ini dia bikin pakai apa sih? Lama-lama kok enak banget kopinya".

Lantas, setelahnya, Bumi membawa piring buahnya dan kembali duduk di meja kerja. Matanya kembali berfokus pada layar, namun tangannya kini sibuk menjejalkan potongan buah ke mulut. Lelaki itu mengangguk, merasakan manis menyapa lidahnya. Pilihan buah Ansara pintar juga. Semangka, mangga dan apel. Semua kebetulan adalah buah kesukaan Bumi.

Ditengah menikmati sarapannya, ponsel Bumi tiba-tiba saja berbunyi, membuatnya menoleh seketika dan langsung berjengkit di kursi saat menemukan nama Diandra di layar. Buru-buru, Bumi menyudahi agenda makannya dan mengangkat panggilan. "Di?".

"Maaf..". Ucap Diandra tiba-tiba, membuat Bumi mengerutkan kening. Suara sang gadis terdengar serak, seperti habis menangis.

Bumi lantas panik mendengar nada bicara Diandra. "Di? Kamu kenapa?".

Nafas Diandra terdengar tercekat. "Maafin aku kemarin udah bersikap begitu, Bumi".

Bumi terdiam, akhirnya memahami maksud permintaan maaf Diandra. Lelaki itu menghela nafasnya. "Gak apa-apa, saya juga ngerti kenapa kamu begitu. Saya gak marah kok".

"Tapi, aku kayaknya tetap butuh jarak, Bumi. Aku.. Butuh banyak mikir". Lanjut Diandra, membuat Bumi kembali terkesiap.

Bumi menunduk. "Berapa lama, Di?".

"Gak tahu. Seminggu? Sebulan? Honestly, I don't even know..". Balas Diandra dengan nada frustasi.

Nada bicara Bumi melemah. "Jangan tinggalin saya, Diandra. Saya gak bisa".

Diandra tetap bersikeras. "Aku cuma butuh jarak. Bukan mau putus. Kita butuh jarak, Bumi. Aku mau tenangin pikiran. Supaya bisa berpikir jernih. Sekarang ini, pikiranku isinya cuma cemburu ke kamu. Meragukan kamu. Kerjaanku juga terpengaruh, sebagian jadi terbengkalai. I need space so that I can feel something other than jealousy towards you".

"Fuck". Umpat Bumi refleks, menyesali situasi menyedihkan diantara mereka. Merasa bersalah karena sudah menempatkan hubungan mereka di situasi yang salah. "Alright, sayang. I'll give you space seperti yang kamu mau. Tapi kalo boleh, jangan lama-lama. Saya takut kamu bisa-bisa.. Hilang rasa dan jadi terbiasa gak ada saya".

ANSARAWhere stories live. Discover now