5. Kunjungan Keluarga

9.9K 387 7
                                    

Sempat bingung, Ansara memilih untuk duduk diatas ranjang kamar utamanya dan Bumi, memiliki ketakutan sendiri kalau ia akan dianggap lancang karena tidur di ranjang mereka lebih dulu sebelum Bumi tidur. Jadilah, Ansara duduk diatas ranjang, membiarkan kakinya tetap menapak di lantai marmer, menatap kearah kaca rias.

Ansara mulai menyentuh wajahnya sendiri, bertanya pada dirinya di cermin. Satu pertanyaan mau tak mau bersuara di kepalanya, meski sudah diupayakan untuk tetap membisu.

Aku ini memang gak cantik ya? Makanya mas Bumi.. Gak menyentuh aku sedikit pun. Padahal kita suami istri.

Ansara kini menyusurkan jemari di helaian rambutnya. Memang gak cantik, sih. Harusnya aku bersyukur bisa mendapatkan suami kayak mas Bumi. Dia aja harus menerima aku yang begini.

Ansara menunduk, menatapi ujung jemarinya di lantai, belum-belum, ia sudah merasakan kehampaan di hari pernikahan yang baru terhitung hari itu. Wajar saja, sebab Ansara terbiasa dengan kehangatan keluarganya di Bandung, keluarga yang selalu ada untuknya. Ia terbiasa melakukan segala sesuatu bersama, tidak sendiri seperti sekarang.

Kangen, An kangen rumah. Kangen Bandung.

Pikiran-pikiran itu terus menguar, entah untuk berapa lama. Hingga pada akhirnya, gadis itu terlelap tanpa sadar dalam posisi duduk menyandar di headboad kasur, posisi yang terbilang tidak terlalu nyaman. Tubuhnya, ternyata sudah kelewat lelah seharian ini. Melakukan ini dan itu dalam rangka penyesuaian diri di bahtera pernikahan yang masih belum ia kenali itu.

Bumi masuk kedalam kamar ketika hari sudah menjelang pagi, matanya menangkap kearah presensi seorang Ansara diatas kasur yang sudah terlelap dalam posisi duduk dengan kepala menunduk kebawah. Bumi hanya menatap selama beberapa detik, tidak terlalu memedulikan, kemudian memilih mengambil bantal dan selimutnya keluar, untuk ia bawa ke ruang kerja. Lelaki itu tentu saja lebih memilih tidur di sofa ruang kerjanya dibandingkan harus sekasur dengan Ansara.

Tanpa membangunkan Ansara ataupun membenahi tidur gadis itu, Bumi lantas melangkah kembali ke ruang kerja dan merebahkan diri di sofa. Memang, meski rasanya kurang nyaman, namun lebih baik tentunya dibanding dengan harus tidur di tempat yang sama dengan seseorang yang asing untuk Bumi. Setidaknya itulah pikiran seorang Bumigantara.

Bumi memejamkan matanya, merasakan lelah karena bahkan di harinya cuti, ia memilih menghabiskan waktu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Besok, masa cutinya sudah habis. Lelaki itu bernafas lega. Setidaknya, mulai besok, Bumi tidak harus seharian menghadapi Ansara di rumah. Melainkan, ia bisa menghabiskan waktu seharian di kantor, dengan segala kesibukannya.

Tuhan, kenapa juga saya harus mengalami pernikahan konyol ini, padahal sudah ada Diandra yang sudah saya niatkan akan nikahi suatu hari nanti?

———

Ponsel Bumi tak henti berdering sejak pukul delapan tadi, padahal lelaki itu masih sibuk berdebat dalam
sebuah meeting yang membahas agenda besar dalam
skala tahunan, yang akan dimandatkan untuknya sebagai seorang Direktur Operasional. Lelaki itu melirik sekilas dan menemukan sekitar dua missed calls dari Ansara, beberapa pesan tak terbaca dan tiga missed calls dari Mamanya.

Dalam hati, Bumi mengutuk. Jika sudah sampai Mamanya menelepon, sudah dapat dipastikan, 
ada suatu hal penting yang perlu ia ketahui. Segera setelah menyelesaikan rapat yang cukup alot itu, Bumi mengecek ponselnya. Matanya membulat saat menemui pesan dari sang Mama dan Ansara yang menyebutkan bahwa kini, keluarga Bumi tengah mengunjungi rumah baru yang Ansara dan Bumi tinggali.

Lelaki itu lantas bersiap-siap, mengemasi barang-barangnya dan berjalan tergesa keluar dari ruang kerja kantornya. Bumi bahkan sempat berpesan pada sekertarisnya, Zeta, untuk membatalkan semua jadwal dan reservasi yang sudah ia lakukan di malam itu karena ada acara mendadak. Tentu saja, sebab malam
ini, Bumi harus bersikap bak seorang suami yang sebenarnya.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang