64. Satu Ciuman Manis

12.6K 398 31
                                    

Semenjak kepulangan Ansara ke rumah, Bumi jadi jauh lebih tenang. Selepas kemarin, hubungan mereka pun jauh lebih membaik. Meski Bumi masih harus merelakan diri untuk tidur di sofabed ruang kerja sebab takut tanpa sengaja menyenggol kaki Ansara dalam tidurnya.

Genap seminggu, kondisi kaki Ansara pun mulai membaik. Sang puan sudah mulai bisa berjalan sendiri meski tertatih, dan berulang kali nyaris jatuh ke satu sisi. Diluar dari itu, perkembangan kehamilan Ansara juga terbilang pesat. Ia tak lagi mengalami mual dan bermusuhan dengan makanan seperti sebelumnya. Meski sesekali masih, namun tentunya jauh lebih membaik jika dibandingkan kemarin-kemarin. Perlahan, tubuhnya yang sempat kehilangan bobot, mulai kembali terlihat seperti dulu, berisi di beberapa titik.

Melihat perkembangan kesehatan Ansara, Bumi akhirnya memberanikan diri untuk memutus masa cutinya dan kembali ke kantor. Namun tetap, di sela-sela pekerjaannya, Bumi selalu memastikan keadaan Ansara dirumah. Entah melalui sambungan telepon ataupun pesan singkat. Ia juga selalu bergegas pulang setelah memastikan seluruh pekerjaannya selesai, secepat mungkin. Berbeda jauh dengan dahulu, Bumi yang sekarang benar-benar memprioritaskan rumah, dengan Ansara sebagai ratunya.

Perjalanan pulang ke rumah, selalu menjadi hal yang menyenangkan bagi Bumi sekarang. Entah, rasanya begitu berbeda, semua terasa begitu indah untuknya semenjak kepulangan Ansara kerumah mereka. Senyumnya kian mengembang tatkala menemukan pemandangan yang sudah lama tak matanya lihat, bagaimana sosok cantik Ansara, yang tengah sibuk menata meja makan mereka, balik menatapnya saat menyadari kehadiran Bumi di rumah.

Senyum manis Ansara ikut mengembang, raut teduhnya menyapa. "Kamu udah pulang, Mas".

Bumi memejam tak kuasa, namun senyumnya makin lebar tercipta, di dalam hati mengucap syukur sebanyak-banyaknya kepada tuhan atas baiknya. Selanjutnya, Bumi kembali membuka matanya, memastikan presensi manusia cantik di hadapannya adalah kenyataan. Lelaki itu berjalan mendekat, memastikan kontak mata mereka tetap terjaga. "Iya, sayang. Saya buru-buru pulangnya, gak sabar ketemu istri saya".

Ansara memasang raut jenaka. "Bilang aja kangen".

"Ya, memang kangen". Sahut Bumi enteng, sama sekali tak menyembunyikan perasaannya.

Ansara terkekeh mendengarnya. "Mau makan dulu atau mandi dulu? Kalo mau mandi, bajunya udah aku siapin di atas kasur. Handuknya juga udah An gantung di kamar mandi".

"Udah lama rasanya gak ada yang urusin saya segitunya". Ujar Bumi seraya melirik kearah meja makan. Tidak bisa dibohongi, saat ini, aroma masakan Ansara yang sudah lama tak ia cicipi, jauh lebih menggoda daripada sekedar mandi untuk bebersih. "Kita makan dulu aja, yuk? Kamu pasti belum makan malam karena tungguin saya, kan?".

Ansara mengangguk. "Iya. Tumben kamu ngeh?".

Bumi meraih kedua pundak Ansara, kemudian menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi, pun mengambilkan piring makan untuk sang puan. "Kan udah dibilang, saya yang sekarang, beda sama yang waktu itu".

Setelahnya, Bumi sendiri duduk, menarik kursinya agar tak jauh dari Ansara. Lelaki itu mengisikan piring makan Ansara dengan perlahan, membuat sang gadis menoleh bingung. Saking bersemangatnya, piring tersebut nyaris penuh dengan segala hasil masakan buatan Ansara. Gadis itu menggeleng pelan. "Banyak banget, Mas. Aku makannya gak sebanyak ini".

Bukannya menjawab, Bumi malah menyunggingkan senyum. Lelaki itu malah menambah takaran nasi di piring, seakan membiarkan Ansara terus memprotes dalam hati, sebelum akhirnya menjawab. "Ini buat berdua, sayang. Makannya sama-sama aja. Saya kangen disuapin kamu. Inget gak, waktu itu kamu pernah suapin saya?".

Pipi Ansara bersemu seketika saat mendengar jawaban Bumi, ingatannya melayang ke hari itu, hari yang nampaknya mustahil untuk ia lupakan. "Inget, mana lauknya cuma tahu sama timun. Kok kamu bisa makan itu? Bukannya gak suka?".

ANSARAOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz