59. Bawaan Bayi

13.8K 430 37
                                    

Perbincangan diantara Ansara dan Bumi, harus putus di tengah-tengah lantaran ponsel sang lelaki yang tiba-tiba berbunyi. Bumi berjalan keluar ruangan, meninggalkan Ansara di tempatnya. Gadis itu menghindari pandangan, memilih melempar tatap ke arah lain selain Bumi.

Tidak butuh waktu lama, Bumi kembali kedalam ruangan. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat, memperhatikan bagaimana Ansara mengalihkan pandang, tak ingin menatapnya. Dengan tenang, Bumi kembali duduk dengan tenang, seakan tidak pernah terjadi perdebatan hebat diantara mereka.

Mendapati Bumi yang tak bergerak di tempatnya, Ansara lantas menoleh. Gadis itu menatap sinis dengan rengutan tak suka. "Kamu kenapa masih disini?".

"Nungguin kamu, sayang. Memang apa lagi?". Sahut Bumi santai.

Ansara mengerutkan keningnya. "We just argued about it, Bumi. Kamu masih juga gak ngerti?".

"Saya nggak ngerti. Saya ngertinya cuma harus disini, temenin istri saya yang habis kecelakaan dan butuh suaminya untuk temenin sampai sembuh". Balas Bumi acuh, tak mengidahkan perkataan Ansara.

"Aku gak nyangka kamu aslinya batu banget". Ceplos Ansara.

Bukannya tersinggung, Bumi malah terkekeh. "Memang. Apalagi demi kamu dan anak kita".

"Anakku, Bumi". Ralat Ansara cepat, tidak mengizinkan Bumi mengklaim buah hatinya.

Bumi menaikkan sebelah alis, jahil. "Anak kita lah, An. Orang saya sama kamu bikinnya bareng. Masa kamu lupa?".

Ansara menatap heran. Gadis itu menggeleng tak percaya pada sang lelaki. "Gak jelas".

Bak tengah dirundung kasmaran, Bumi malah kembali tersenyum manis. "Kamu sih, saya mau jelasin dibantah terus. Gak jelas kan saya jadinya?".

"Tau ah, aku mau tidur". Balas Ansara sebelum menarik selimut dan kembali membelakangi Bumi, sebab tahu percuma berbicara dengan lelaki itu sekarang, sebab tekadnya sudah jauh melebihi tekad Ansara untuk berpisah.

Bumi masih menjaga senyumnya di wajah. "Iya, tidur aja, An. Saya tungguin disini".

Tidak ada lagi jawaban dari sisi Ansara, membuat Bumi mengira gadis itu benar sudah kembali terlelap. Disana, sang lelaki menatap punggung Ansara penuh sayang, bersyukur karena masih diberi kesempatan bertemu kembali dengan Ansara dan anak mereka. "Selamat tidur, sayang-sayangnya saya".

Mendengarnya, sontak netra Ansara terbuka dan membulat, seakan tak percaya akan pernah mendengar kalimat itu dari bibir Bumi, yang jelas ditujukan untuknya dan anak mereka di perut Ansara.

———

Ansara terbangun setelah kembali tertidur untuk waktu yang cukup panjang. Gadis itu mengedarkan pandang di sekitar ruangan putih yang didominasi dengan bau obat-obatan. Sungguh, rasa mual langsung menyergap tatkala Ansara mendapatkan kesadarannya penuh, nampaknya efek kehamilan di trimester pertama yang memang dikenal menyiksa.

Ansara menutup hidungnya dengan tangan, berharap dapat mengurangi mual yang menyambangi diri. Pening di kepalanya makin jadi, membuatnya memaksakan diri untuk bangkit, berjaga-jaga bila isi perutnya tak lagi bisa ditahan untuk keluar. Sudut mata Ansara menangkap presensi Bumi yang tengah tertidur di sofabed dengan posisi setengah terduduk.

Bumi nampaknya tidak menyadari saat Ansara terbangun, tidurnya begitu lelap bak sudah beberapa hari kehilangan waktu tidur. Bunyi berdecit dari bangsal yang ditempati Ansara, pada akhrinya membuat Bumi tersadar. Lelaki itu mengucek matanya, kemudian berangsur bangkit saat menemui Ansara yang terduduk diujung kasur.

"An? Kok bangun? Masih pusing gak?". Ucap Bumi khawatir, buru-buru bangkit dari tidurnya dan menghampiri Ansara.

Ansara mengernyitkan keningnya, merasa aneh sebab semakin Bumi mendekat padanya, rasa mualnya pun kian luntur. "Aku.. Mau ke kamar mandi".

"Saya bantu, ya? Kamu susah kalo sendiri bawa alat infus begini". Balas Bumi, dengan sigap menghampiri dan bersiap memegangi Ansara di satu sisi dan menggeret alat infus di sisi lain.

Begitu jarak mereka makin dekat, Penciuman Ansara bisa menghirup dengan jelas aroma woody dari tubuh Bumi, yang herannya, membuat pusing dan mualnya menghilang begitu saja. Saking takjubnya, Ansara sampai mengerjap dan menatap heran ke Bumi yang kini masih sibuk memeganginya.

Menyadari Ansara yang sibuk menatapnya dan tak kunjung turun dari tempat tidur, Bumi menoleh. "Kenapa? Kok lihatin saya begitu?".

"Mualnya kok hilang?". Ceplos Ansara polos, tak memikirkan kalimatnya yang mungkin membingungkan di telinga Bumi.

Sang lelaki mengerutkan keningnya. "Kamu mual? Bawaan hamil, ya?".

"Iya, tapi ini hilang". Balas Ansara, masih keheranan.

Tersadar akan sesuatu, Bumi langsung menaikkan sebelah alisnya. "Gara-gara deket saya, ya? Mualnya jadi hilang karena kamu deket saya?".

Ansara menatap heran. "Masa, sih? Emang bisa begitu?".

Mendengarnya, Bumi tersenyum, manis sekali. "Bisa aja. Bawaan bayi. Mungkin aja anak kita kangen sama saya. Makanya maunya deket saya. Ibunya aja nih, yang gak pengertian".

Disana, Ansara tak kuasa untuk tak menjatuhkan satu pukulan pelan di lengan Bumi. "Apa sih? Nggak jelas banget".

Satu kekehan terdengar dari Bumi. "Jadi mau ke kamar mandi gak, nih?".

Ansara menatap sebal pada Bumi selama beberapa detik, sebelum akhirnya menghela nafas berat. "Iya".

Mau tidak mau, Ansara memang harus menerima bantuan Bumi untuk menuntunnya menuju ke kamar mandi. Sebab sebelah kakinya masih dibalut dengan gips, dan selang infus juga masih menempel di tangannya, membuatnya sulit bergerak dengan leluasa.

Bumi menahan tubuh Ansara dengan merangkul pinggang mungilnya, memapah presensi mungil itu dalam dekapannya. Disana, Ansara merasakan mualnya benar-benar hilang seketika, berganti dengan degup jantungnya yang berdetak tak wajar. Ternyata, bahkan setelah terpisah untuk waktu yang lumayan lama, efek gugup berdekatan dengan Bumi masih ada.

"Udah, sampai sini aja". Ucap Ansara ketika mencapai pintu kamar mandi, hendak melepaskan diri dari Bumi.

Namun, Bumi jelas menolak. "An, jangan argumen soal ini. Jangan resikoin diri kamu sendiri, kalo kamu masuk sendiri dan jatuh gimana? Saya temenin aja. Kalo malu, nanti saya merem".

Tanpa bisa berdebat, Bumi membawa Ansara masuk kedalam kamar mandi, menyeret tubuh mungilnya yang ringan itu hingga masuk ke dalam kamar mandi. Dengan cekatan, Bumi memposisikan Ansara agar membelakangi wc. Lelaki itu lantas berniat melepaskan pakaian dalam Ansara agar memudahkan, namun, buru-buru sang gadis melarang.

"Yang ini aku beneran sendiri aja, kamu tunggu aja diujung sana". Ucap Ansara sembari menepis tangan Bumi yang sudah bersiaga di pahanya.

Bumi tidak mendebat, lelaki itu kemudian berdiri dan menuruti perkataan Ansara. Ia menempelkan punggungnya di tembok, menatap intens kearah Ansara yang tengah melepas pakaian dalamnya dan duduk. Bumi melipat tangannya di dada, menjaga posturnya seperti suami siaga.

"Gak usah lihatin begitu, bisa gak? Hadap sana aja". Ucap Ansara malu, berupaya menutupi wajahnya yang kemerahan.

Bumi lantas terkekeh mendapati perilaku malu-malu Ansara. "Ngapain malu, sih? Sama suami ini. Kayak yang gak pernah telanjang depan saya aja".

Ansara makin menutup wajahnya. "Terserah kamu aja lah".

ANSARAWhere stories live. Discover now