10. Permasalahan

10.9K 424 14
                                    


Ansara tidak berani sekalipun menatap lurus kearah Bumi yang sejak tadi tak melepas tatapannya. Keduanya kini harus menanti hasil diagnosa dari dokter yang sudah ditugaskan untuk menangani luka bakar di tangan Ansara. Bagian yang melepuh, kini sudah menghitam, sebagian mengelupas dan terbuka begitu saja karena tidak diberi penanganan langsung.

"Ini saya kasih obat untuk pereda nyerinya, diminum teratur setiap terasa nyeri. Sementara saya balut kain kasa dan gak boleh banyak beraktivitas ya, Bu. Kalau mau aktivitas, diusahakan pakai tangan yang sebelahnya saja. Lalu, ini harus dioles ointmentnya per enam jam sekali, kain kasanya harus sering diganti supaya gak infeksi". Jelas Dokter yang menangani Ansara, berpesan sembari membebat kembali tangan Ansara dengan ikatan yang tidak kuat.

Ansara mengangguk, menerima bungkusan berisi obat-obatan dan salep yang sudah diberikan dokter sebelum kembali menunduk, menatapi luka bakarnya yang kini sudah kembali tertutup kain kassa. Bumi sendiri sejak tadi hanya memilih berdiri di ujung ruangan. Ruangan kamar yang menjadi tempat mereka berada kini ialah milik Bumi, yang tentunya masih penuh dengan barang-barang dan nuansa khas sang lelaki.

Lelaki itu tak sedikitpun bergerak. Dengan menyilangkan tangan di dada, Bumi terus menatap lurus kearah Ansara, tak melepas tatapannya sedetik pun. Membuat sang gadis berulang kali merasa tak nyaman sebab perasaan bersalah itu terus saja datang dan menghantuinya.

"Kalau begitu, saya izin pamit. Setelah ini, usahakan untuk kontrol kembali ke dokter setiap tujuh hari sampai lukanya benar-benar sembuh dan berganti kulit baru ya". Ucap Dokter sebelum mengangguk sopan kearah Ansara dan juga Bumi.

Bumi yang sudah mengenal lama Dokter rekanan keluarganya itu, hanya balas mengangguk. Sedangkan Ansara memilih bersuara. "Terimakasih, Dok".

Sepeninggalan Dokter, hanya Ansara dan Bumi yang tersisa di kamar luas itu. Pintu yang sudah sengaja ditutup, membuat atmosfer kamar yang sebelumnya canggung, bertambah kikuk lantaran Bumi tak kunjung mengeluarkan suara, pun melepas tatapan tajamnya. Ansara terus menunduk, ketakutan sendiri menghadapi kenyataan bahwa mungkin saja setelah ini, Bumi akan menganggapnya pembohong.

"Tunggu apa, An?". Ucap Bumi membuka suara, membuat Ansara sontak mendongak untuk membalas tatapan sang lelaki, terbingung sendiri dengan maksud Bumi.

Ansara buru-buru membenahi barang bawaannya, kemudian bangkit dari duduk. "Mau pulang sekarang ya, Mas? Ayo, aku udah siap".

"Bukan. Kamu tunggu apa? Kenapa belum jelasin apa-apa ke saya?". Sahut Bumi tegas, nada bicaranya terlampau kaku, seakan tengah menekan emosinya dalam agar tak menguar.

Ansara sontak kembali menaruh barang-barangnya, pun kembali terduduk di kasur, menunduk karena kembali merasakan seluruh perasaan bersalahnya menguar. "M—Maafin An, Mas.. An gak maksud sama sekali..".

"Saya gak butuh dengar maaf. Saya butuh kamu kasih penjelasan, apa maksudnya kelakuanmu itu? Kamu mau jebak saya? Kenapa juga kamu sembunyikan perkara itu dari saya?". Sambar Bumi tak henti, seakan tak sabaran menanti jawaban.

Ansara termangu, gadis itu menggeleng cepat. "Enggak sama sekali, Mas. Jebak apa maksudnya? Sumpah demi tuhan, An cuma gak mau bilang karena takut Mas marah.. Juga takut nambah pikiran Mas Bumi, karena An lihat, Mas sehari-hari udah capek sama kerjaan, jadi sengaja gak bilang. Karena An pikir, ini bukan luka besar, nanti juga sembuh sendiri..".

Bumi memilih diam, masih dengan gesturnya tadi, menyilangkan tangan didada dan raut tajam, seakan meneliti mimik wajah sang gadis, yang tentunya kini tengah ketakutan sendiri. Ansara bahkan meremas seprai tanpa sadar saking takutnya, menahan rasa ingin menangis yang menghampiri.

Bukannya luluh, Bumi malah berjalan mendekat, menunduk sedikit untuk memberi tatapan ancaman pada sang gadis yang kini menatap tak percaya. "Saya benar-benar gak tahu harus menilai kamu apa. Entah kamu ini benar polos, atau cuma jelmaan iblis yang pura-pura polos. Saya belum bisa baca. Tapi, apapun itu motifmu, pegang ucapan saya, suatu saat nanti,  pasti saya akan tahu. Dan jika memang niatmu buruk, saya pastikan saya akan singkirkan kamu dengan tangan saya sendiri bahkan sebelum kamu sadari".

Ansara tak mampu menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Ucapan Bumi tadi, tak hanya mengguncang perasaannya, tapi juga membuatnya merasa seperti makhluk paling jahat di muka bumi. Dada Ansara bergerak naik turun, nafasnya terasa sesak seketika. Ancaman Bumi, berhasil menusuk jantungnya hingga rasanya berhenti berdetak seketika.

"Saya mau pulang, terserah kamu mau ikut atau nggak". Ucap Bumi sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar dengan sedikit membanting pintu.

Sedang Ansara sendiri masih terduduk di tempatnya, menangis sejadi-jadinya di kamar yang bahkan memiliki aroma yang mengingatkannya pada Bumi. Memang, Ansara terbilang sudah mulai terbiasa mendapat perlakuan kurang baik di pernikahan mereka. Namun kali ini, entah mengapa rasanya begitu sakit, sampai-sampai gadis itu perlu memegangi dadanya sendiri.

Serendah itu aku untuk kamu, Mas?

———

"Kamu yakin gak apa-apa nginap disini malam ini?". Suara lembut milik Diandra menyapa indera pendengaran Bumi, membuat sang lelaki merebahkan dirinya di sofa apartemen sang gadis.

Bumi memejamkan mata, mengangguk sedikit untuk merespon pertanyaan Diandra barusan. Bibirnya masih terkatup, tidak ingin membicarakan perihal kenapa ia memilih datang tengah malam dan bermalam disana. Memang, sebelum menikah, hal-hal seperti Bumi datang di tengah malam dan menginap, bukan hal yang aneh dan perlu di pertanyakan.

Namun, setelah menikah, tentunya Bumi tidak bisa lagi berlaku sebebas itu. Pengawasan ketat dari security yang keluarganya tugaskan di rumah barunya, ditambah kehadiran Bi Mai, adalah alasan baginya tidak bisa lagi bergerak seleluasa dulu. Tapi malam ini, ia mengambil resiko, mendatangi seseorang yang ia yakini bisa meringankan bebannya barang sedikit.

"Kamu ada masalah di rumah, sayang? Mau cerita?". Tanya Diandra lembut, memilih untuk duduk di sisi sofa lainnya, menatap kearah wajah lelah Bumi yang masih terpejam.

Bumi hanya menggeleng. "Saya gak mau bahas itu. Saya kesini karena mau ketemu kamu, bukan mau bahas itu".

Diandra tersenyum. "Kamu tadi habis makan sama istrimu, ya? Ketemu Papa sama Mama juga?".

Kali ini, netra Bumi terbuka, menatap wajah teduh Diandra yang kini berubah sendu. "Di, jangan dibahas. Kan kita sudah janji gak akan bahas soal keluarga saya lagi".

Diandra menyeka titik airmata diujung matanya. "Yah.. Mau gimana, sayang? Gini-gini, aku juga bisa cemburu. Bisa iri karena setidaknya Ansara pernah ngerasain makan malam sama keluargamu".

Bumi berangsur bangkit, menangkup wajah Diandra untuk menatapnya lebih baik. "Di, Ansara cuma dapat atensi keluarga saya, bukan atensi saya. Gimana pun dia di mata keluarga saya, saya gak peduli. Yang saya peduliin cuma kamu".

Diandra kembali mengukir senyum, namun sebulir airmatanya kembali jatuh, menetes hingga melintasi jemari Bumi di pipinya. "Apa kita harus begini terus, Bumi? Aku.. Rasanya, aku gak yakin bisa terus kuat..".

Bumi menyetop omongan Diandra dengan menciumnya, menahan seluruh keinginan Diandra yang Bumi ketahui adalah pisah. Sebab sampai detik ini, Bumi masih tidak menginginkan perpisahan diantara mereka. Baginya, Ansara lah yang harus pergi, bukan Diandra. Diandra hanya perlu bersabar sedikit lagi sampai saatnya, dimana Bumi bisa mengambil keputusan sendiri untuk menceraikan Ansara, dan saat itu adalah saat Gepa sudah tidak berada di Bumi.

"Jangan pernah bilang mau pisah, Di. Saya mohon, tunggu saya. Saya juga akan penuhi janji saya untuk gak menganggap Ansara istri saya. Kita hanya perlu menunggu, saya mohon. Saya gak mau kehilangan kamu". Ucap Bumi putus Asa, menyatukan keningnya dengan Diandra dengan harapan sang gadis bisa membaca isi pikirannya.

Diandra kini menangis lebih lagi, memilih untuk masuk ke pelukan Bumi dan menangis sepuasnya disana. Jika boleh dibilang, kisah cinta mereka sebenarnya menyedihkan. Cerita cinta yang sebenarnya sempurna, tapi seakan tak diizinkan untuk berlabuh pada akhirnya.

Dan bila diizinkan, Diandra justru ingin bertukar tempat dengan Ansara, ia rela menahan sakit itu, asalkan bisa terus bersama Bumi, tanpa ada rasa takut, tanpa ada rahasia. Dan tentunya, dapat menyalurkan rasa cintanya dengan leluasa walau penuh penolakan.

ANSARAWhere stories live. Discover now