29. Bandung

9.2K 367 30
                                    

Pagi itu, Bumi terbangun dengan suara denting sendok yang membuatnya mengerjap. Matanya sempat menangkap presensi Ansara yang menaruh gelas kopi milik Bumi di nakas, lantas kembali pergi meninggalkannya keluar dari kamar.

Tanpa sadar, Bumi tersenyum. Mencium harum aroma kopi yang ia selalu nantikan di setiap paginya itu, sukses membuatnya tergerak untuk duduk dan meraih gelas mug. Usai menyeruput kopinya, Bumi merilekskan pundak-pundaknya. Kopi Ansara rasanya selalu sama.. Enak. Lelaki itu lantas berjalan dengan masih menenteng mug di tangan kanannya. Kakinya menuntun sang lelaki menuruni anak tangga, perlahan hingga akhirnya sampai di lantai dasar.

Pemandangan Ansara yang tengah mengupas apel, tertangkap di kedua netranya. Hari ini, gadis itu menguncir rambutnya, membuatnya terlihat jauh lebih manis. Merasakan kehadiran Bumi di ruang dapur, Ansara melirik dan melempar senyum. "Pagi, Mas, nyenyak tidurmu?".

Bumi mengangguk, kemudian mengangkat gelas kopinya. "Makasih kopinya, enak".

Mendengar pujian Bumi, Ansara menahan senyumnya, tersipu malu sendiri. Ansara lantas memunduk. "Iya, Mas. Ini buahnya sebentar lagi selesai dikupas, tunggu ya".

Bumi mengedarkan pandang ke sekitar, melihat kosong di dapurnya yang biasanya sudah penuh bahan
masakan di hari lainnya. "Kamu tumben belum mulai masak? Biasanya udah sibuk?".

"Oh, iya, tenang aja, aku gak masak lagi kok. Aku udah minta tolong Bi Mai juga untuk beli makanan jadi aja untuk makan kita nanti hari ini". Balas Ansara.

Hal itu membuat Bumi tersadar, bahwa sepertinya, Ansara begitu menerapkan aturannya kemarin. Padahal, perkara kemarin itu terucap karena emosi yang memuncak. Mendengarnya, Bumi tak tega sendiri, lelaki itu tanpa sadar meremat gelas di tangannya. "An".

"Hm?". Sahut Ansara, menoleh kearah Bumi.

Sang lelaki berusaha mengatur kalimatnya, bingung sendiri seperti apa menyampaikan pikirannya pada Ansara. "Soal yang kemarin, yang saya marah-marah dan gak suka ada bau masakan dirumah, tolong lupain aja. Kamu... Boleh masak semaumu, lakuin aja, An".

Ansara mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apakah ada maksud lain dari ucapan Bumi atau tidak. "Tapi nanti.. Ruanganmu jadi bau lagi, Mas? Gak apa-apa?".

"Gak apa-apa, An". Balas Bumi lagi, lantas menaruh mug di meja makan, maju selangkah untuk dapat menatap Ansara lebih baik. "Saya ngerasa aneh, gak lihat kamu sibuk di dapur. Aneh juga rasanya, gak cium aroma makanan dari saya bangun tidur".

Perlahan, Bumi merambatkan jemarinya untuk menyematkan anak rambut Ansara ke belakang telinga. "Mulai sekarang, saya juga akan sering makan masakanmu. Saya akan makan dirumah. Jadi, silahkan masak makanan yang kamu mau".

Netra Ansara membulat setelah mendengar kalimat Bumi barusan. Gadis itu sampai tidak menyadari tatapan intens Bumi yang bergerak turun dari kedua netra ke bibir sang Ansara, seakan menanti momen terbaik untuk menyatukan bibir mereka. Dan jarak yang perlahan terkikis itu, makin lama makin mendekatkan wajah keduanya, membuat jantung masing-masing berpacu satu dan lainnya.

"Non An, ini udah Bibi beliin buburnya, tapi ternyata pakai kacang, Non.. ". Ucap Bi Mai, memasuki ruangan secara tiba-tiba, membuat Bumi menjauhkan diri secara seketika.

Suasana canggung yang terjadi diantara Bumi dan Ansara, serta merta dibaca dengan mudah oleh Bi Mai. Sang Bibi langsung ikut salah tingkah karena tahu datang di saat tak tepat. "Aduh, maaf, Den, Non.. Maafin Bibi ganggu".

Bumi terkekeh, menutupi tawanya dengan punggung tangan, sedangkan Ansara makin menunduk. Sepeninggalan Bi Mai, keduanya kembali saling menatap, tanpa banyak bicara lagi, Bumi menjatuhkan satu kecupan di kening Ansara singkat. "Buahnya kalo udah dikupas tolong taruh di nakas meja kamar aja, saya mau mandi dan siap-siap ke kantor".

Ansara menggigit bibir, merasakan denyut di jantungnya yang hanya berhasil Bumi ciptakan untuknya.

Tuhan, apa ini tandanya Mas mulai menerima An?

———

Perlahan, rumah tangga yang tadinya menyesakkan untuk Ansara itu, berubah menjadi jauh lebih baik. Entah hanya perasaannya saja, atau memang sikap Bumi, makin lama makin membaik untuknya. Lelaki itu tak lagi menolak perhatian yang Ansara berikan, menepati janjinya untuk sering makan dirumah bersama Ansara, menikmati hasil masakan sang gadis dan tidak jarang memuji masakannya.

"Mas.. Semalam, Ibu telfon dari Bandung.. Katanya, Bapak sakit, sejak semalam susah makan. Kalo boleh, An mau izin pulang ke Bandung, jenguk Bapak dulu. Paling sekitar dua hari". Ucap Ansara ditengah makan malam mereka.

Bumi lantas menoleh. "Kamu mau ke Bandung sendiri? Naik apa?".

"Gampang sih, Mas. An bisa naik travel kok. Cuma dua jam juga sampai kalo gak macet". Balas Ansara lagi

Bumi terdiam sejenak, berpikir dalam diamnya. "Biar saya antar aja. Tapi, saya harus ajuin cuti. Tunggu sebentar".

Ansara melihat bagaimana Bumi meraih ponselnya dan menelepon seseorang disana. "Bianca, besok sampai lusa saya ada appointment apa saja ya?".

Kening Bumo mengkerut, seakan memikirkan sesuatu saat mendengar jawaban Bianca, sebelum akhirnya kembali berucap. "Besok sampai lusa, saya ada keperluan mendadak keluar kota, bisa tolong mundurkan semua appointment saya ke setelah lusa? Bilang ke seluruh bagian terkait untuk hold apapun yang memerlukan keputusan saya".

"Thanks, Bianca. Tolong kabari saya kalo ada yang urgent saja". Ucap Bumi sebelum menutup panggilan. Setelahnya, Bumi kembali menatap kearah Ansara. "Sudah, urusan cuti saya sudah beres. Kita bisa ke Bandung".

"Kamu serius, Mas, mau antar aku?". Balas Ansara tak percaya.

Sang lelaki menaikkan sebelah senyumnya. "Barusan saya telfon sekertaris saya di depan kamu, An.. Masih kurang?".

Ansara menggigit bibirnya, bercicit pelan. "Eng.. Enggak. Makasih, Mas.. Aku seneng".

"Mau berangkat malam ini?". Ucap Bumi tiba-tiba, diluar dugaan lawan bicaranya.

Ansara mengecek kearah jam dinding. "Sudah mau jam delapan.Apa gak kemaleman, Mas? Kamu juga habis pulang kerja, pasti capek".

"Stamina saya gak serendah itu, An, kalo aja kamu
belum tahu". Entah merujuk pada maksud yang mana, Bumi juga tak tahu, yang jelas, lelaki itu terkekeh saat mengucapkannya. "Lagipula, kalau kita berangkat sekarang, seharusnya sudah gak macet, bisa lebih cepat sampainya".

Ansara menimbang sejenak, sebelum melirik Bumi sekali lagi. "Benar kamu gak apa-apa?".

"Iya, Ansara. Kamu mau tanya saya berapa kali? Mending daripada kita ngobrol terus disini, kamu sekarang naik ke kamar dan packing barang-barang kita. Satu koper aja, biar ringkes. Tolong bawain saya kaus lebih". Balas Bumi, membicarakan perihal packing seakan-akan itu hal yang sudah biasa bagi mereka.

"Ah.. Iya, Mas. Tunggu ya". Ansara tidak lagi membuang waktu. Gadis itu lantas bangkit, berlarian kecil menaiki anak tangga menuju ke lantai atas, seakan begitu bahagia karena akan kembali pulang.

Sedangkan Bumi sibuk memandangi dari tempatnya, tersenyum sendiri dengan pemikiran menghabiskan perjalanan panjang bersama Ansara malam ini. Lelaki itu lama tersenyum, seakan tersihir didalam pikirannya, sebelum berakhir menggeleng, bagai kembali mendapat realitanya.

Kenapa saya senyum-senyum sendiri mikir mau bepergian jauh sama Ansara sih? Ini kan cuma untuk mengantar dia pulang dan jenguk orangtua, bukan untuk jalan-jalan?

Saya ini kenapa sih?

ANSARAWhere stories live. Discover now