55. Butuh Waktu

10.7K 354 28
                                    

Perbincangan yang cukup menguras rasa itu, pada akhirnya harus usai saat hari sudah mulai menggelap. Ansara dan Bumi, kini berjalan beriringan keluar dari restoran yang masih riuh di bagian dalamnya. Keduanya terdiam, tidak satu pun berucap. Bumi berulang kali mencuri pandang, mengisi segala ruang kosong di kepalanya yang haus akan pemandangan seorang Ansara.

"Aku duluan, ya". Ucap Ansara tanpa menatap kearah Bumi, seakan menghindari kontak.

Bumi lantas menahan lengan sang gadis. "Tunggu, mau kemana, An? Biar saya antar".

"Enggak usah, Bumi. Aku bisa sendiri kok". Balas Ansara, menjeda sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Sejak awal juga begitu, apa-apa sendiri".

Bumi menelan salivanya, sebab perkataan tak sengaja Ansara tadi, tak ayal menusuk relungnya. Ansara benar, selama ini, Bumi terlalu mengacuhkan Ansara, tanpa pernah memikirkan akibat yang ditimbulkan."An... Seenggaknya biarin saya tahu, kamu tinggal dimana sekarang?".

"Aku kontrak. Tempatnya, kamu gak perlu tahu. Tapi yang jelas, layak kok kalo untuk aku tinggal sendiri". Balas Ansara jelas.

Bumi lantas kenbali bertanya, menanyakan satu-satunya hal yang tersisa di kepalanya. "Kamu tinggal sama laki-laki itu?".

Ansara sontak mengerutkan kening. "Laki-laki yang mana maksudnya?".

"Galaksi. Yang waktu itu antar kamu ke rumah duka. Kalian dekat sekarang? Kamu pacaran sama dia?". Cecar Bumi tak sabaran. Lelaki itu terus menyecar bahkan sebelum mendengar jawaban Ansara. "Asal kamu tahu, An, meski sekarang kamu benci sama saya, gimana pun saya masih suami kamu. Kita belum resmi bercerai. Jadi, saya masih ada hak untuk tahu dan bahkan melarangmu dekat sama orang lain".

Ansara mengela nafas panjang. "Aku gak ada hubungan apa-apa sama Mas Gala. Dia cuma banyak bantu aku".

"Kamu bahkan panggil dia Mas". Balas Bumi, tak suka.

Ansara mengerutkan keningnya. "Ya, memang? Terus kenapa? Biar sopan aja, kan gak enak kalo cuma panggil Gala".

Bumi menunjukkan rengut tak suka saat mendengar jawaban Ansara. "Terus kenapa kamu panggil saya Bumi?".

"Kan namamu Bumi?". Balas Ansara bermain pintar.

Bumi berdecak tak suka. "Saya gak suka".

"Apanya?".

"Semuanya. Kamu panggil dia Mas, tapi panggil saya Bumi. Mas itu panggilan kamu buat saya, An". Balas Bumi merajuk layaknya anak kecil. "Saya juga gak suka karena saya gak tahu apa-apa soal kamu, sedangkan dia tahu. Dia bisa ketemu kamu kapan aja, sedangkan saya perlu upaya untuk ketemu kamu. Gak adil, An".

Ansara menunjukkan senyum asimetris. "Aku bukan kamu, Bumi. Aku memang gak akan bisa berlaku adil sama dua orang sekaligus".

Ekspresi Bumi langsung berubah, hatinya mencelos mendengar respon Ansara barusan. "Bukan kesana arahnya, Ansara".

"Terus kemana? Udah lah, Bumi. Gak usah dibahas terus. Kamu dan aku sama-sama tahu ujungnya kemana. Biar aja semua terjadi seperti seharusnya. Kita toh cuma perlu ikutin prosesnya. Aku mau pulang, capek, banyak pikiran. Nanti kita ketemu lagi di persidangan". Ucap Ansara sebelum melangkah menjauh.

Namun, dengan sigap, Bumi menahannya. "An, kenapa jadi balik lagi kesitu sih ngomongnya? Saya udah bilang saya gak mau cerai. Terus obrolan panjang kita, airmata kita tadi untuk apa kalo kamu ujungnya masih bersikeras untuk pisah?".

Ansara mengangkat dagunya tinggi, tak memiliki sedikitpun keraguan akan kata-kata yang terlontar dari mulutnya. "I don't know. You tell me, Bumigantara".

Ansara menggantung kalimatnya, menatap keji pada lelaki yang masih berstatus suaminya hingga kini itu. Bahkan, sang puan melempar senyum sinis sebelum melanjutkan kalimatnya.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang