61. Boneka Gajah

10.6K 450 42
                                    

im finally back setelah rehat krn kurang sehat belakangan ini🥹🥹🥹

———

Ansara terbangun karena bunyi berisik disekitarnya. Hari ini, ia sudah diperkenankan untuk pulang berkat dan mendapatkan perawatan dirumah. Rencananya, Ansara akan pulang sekitaran tengah hari. Tapi, pagi-pagi sekali, ia sudah dibangunkan dengan suara berisik yang ternyata berasal dari sofabed di sebelah tempat tidurnya.

Bumi menatap Ansara dengan mata membulat, pergerakannya pun berhenti seketika saat mendapati Ansara terbangun. "Eh, kok bangun? Saya berisik ya?".

"Menurutmu?". Balas Ansara dengan tatapan malas. Gadis itu lantas beranjak untuk duduk, mengamati benda besar di tangan Bumi yang masih terbungkus separuh. Keningnya berkerut bingung. "Itu apa?".

Bumi lantas tersenyum dan bangkit untuk berjalan mendekat dan menarik kursi di sebelah bangsal. Ia membawa serta benda besar itu kepada Ansara. "Coba kamu yang buka, deh".

Awalnya, Ansara curiga dengan bentuk benda yang tak beraturan itu. Namun, ia menurut, merobek kertas pembungkus dan terheran saat menemukan benda aslinya. "Boneka gajah?".

Bumi kembali tersenyum dan kali ini mengangguk semangat. "Lucu, kan?".

"Ngapain kamu tiba-tiba beliin aku boneka gajah? Maksudnya aku mirip gajah, gitu?". Sahut Ansara bingung.

Mendengar nada sebal dari Ansara, Bumi tergelak. "Ya, nggak, lah. Ini tuh bukan buat kamu, tapi buat yang ada di perutmu".

Ansara sontak menatap ke perutnya sendiri yang masih terbilang rata. "Ngapain dikasih boneka? Dia aja masih sebesar biji kedelai".

"Usaha. Saya kan bukan cuma lagi menangin hati kamu, tapi hati dia juga. Anak kita". Balas Bumi, sembari menatap penuh cinta pada Ansara.

Ansara terdiam, ia menggigit bibir. Gadis itu berupaya keras menghindari tatapan Bumi yang terlihat betul penuh cinta untuknya, menunduk dan memperhatikan boneka gajah berwarna abu-abu yang begitu nyaman dipeluk.

"Bundanya suka juga, ya? Mau ayah beliin satu lagi buat bunda?". Ucap Bumi tatkala melihat Ansara memeluk boneka pemberiannya erat.

Ansara sontak menyipitkan matanya. "Apa itu barusan?".

"Apa?". Sahut Bumi bingung.

Ansara memanyunkan bibirnya. "Barusan kamu panggil aku apa?".

"Bunda?".

Ansara kembali menggigit bibirnya, namun kali ini mengulum senyum, berupaya keras menyembunyikan senyuman yang sampai membuat pipinya merona.

Melihatnya, Bumi tak kuasa menggoda. "Suka, ya, dipanggil bunda? Kalo gitu, pas deh. Biar anak kita nanti panggil kamu bunda, dan panggil saya ayah".

Ada satu binar terlihat di mata Ansara saat mendengar ucapan Bumi, meskipun mulutnya berkata sebaliknya. "Aku gak bilang iya, loh".

"Ya, gak apa-apa. Nanti juga kamu setuju. Biar saya aja yang ajarin dia". Balas Bumi cuek, malah memilih mengambil tangan Ansara dan mengecup punggung tangannya pelan. Senyumnya mengembang, kembali menatap penuh cinta pada sang puan. "Maafin ayah ya, Bunda? Jangan tinggalin ayah. Pulang. Temenin ayah terus sampai anak kita besar nanti, kita rawat dia sama-sama. Mau, ya?".

Tidak menyelesaikan kalimatnya disitu, Bumi memberi kecupan sekali lagi, kali ini di telapak tangan Ansara. "Kalo nanti ayah ada salah, marahin aja, tampar kalo perlu. Marahin sesukamu. Biar ayah ngerti. Asal, jangan pergi. Jangan ditinggalin".

Ansara merasakan matanya memanas saat mendengarkan penuturan Bumi kali ini. Sebab mereka layaknya kedua orangtua yang tengah saling berbicara dan saling mendengarkan, bukan lagi dua pribadi yang berbeda. Bumi membiarkan punggung tangan Ansara menempel di pipinya, seakan menanti jawaban dari sang puan. Lelaki itu kembali berucap.

"Hari ini kamu udah boleh pulang. Tapi, masih harus dirawat jalan. Pulang ke rumah kita, ya? Biar saya bisa rawat kamu, bisa jagain kamu. Disana ada Bi Mai juga yang bisa jaga kamu kalo saya gak bisa. Bi Mai kangen kamu juga, nanyain kamu ke saya terus. Saya mohon.. Pulang ya, sayang?". Pinta Bumi lembut, lembut sekali.

Dan disana, Ansara tak kuasa menjatuhkan airmatanya. Gadis itu begitu tersentuh, terharu sendiri karena melihat bagaimana Bumi memperlakukannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, hatinya tidak lagi bisa dibohongi, sebab ia pun rindu. Rindu bukan main.

Topeng dan ketegaran yang senantiasa terpasang setiap hari semenjak berpisah dengan Bumi, kini terlepas sepenuhnya. Menyisakan Ansara yang seperti dulu, yang begitu penuh dengan cinta untuk sang lelaki.

Puan itu menangguk, dan anggukan itu disusul dengan pelukan hangat dan raut tak percaya dari sang lelaki di sebelahnya, yang kini merengkuh tubuh mungil Ansara dan tersenyum lebar, seakan tak percaya. "Makasih, sayang. Makasih karena sudah mau maafin saya. Kita pulang sama-sama hari ini, ya?".

Ditengah pelukan itu, Ansara bergumam. "Siapa yang bilang mau maafin? Kan cuma ngangguk aja. Ge'er kamu, nih".

Bumi sontak melepas pelukannya, kemudian menangkup wajah Ansara dengan kedua tangannya agar sang puan menatap kearahnya. "Masa nanti kita
serumah lagi tapi masih marahan? Nanti saya dicuekin dong? Tega kamu namanya".

"Biarin". Sahut Ansara jenaka.

Bumi terdiam, sibuk menatap ke wajah cantik di hadapannya yang kini sudah jauh lebih rileks. Jejak airmata di pipinya membuat jemari Bumi gatal untuk menghapus, mengusap kulit itu pelan dengan ujung ibu jarinya. Lelaki itu turut berkomentar. "Siapa yang ajarin kamu begini, sih? Gemas begini? Jangan sampai saya cium kamu sekarang, ya, Ansara Saskiaputri".

"Gak boleh cium tanpa izin". Balas Ansara cepat, seraya melepaskan diri dari sang lelaki, seakan bermain-main dengannya.

Bumi lantas menekuk bibirnya kebawah. "Terus kalo minta izin dulu, memang bakal diizinin sama kamu?".

Ansara mengedikkan bahu. "Gak tahu, deh. Kayaknya sih, enggak".

Bumi mencebik. "Terus ngapain saya izin? Gak bisa cium kamu juga".

Selanjutnya, Bumi beranjak dari tempatnya menuju ke sofa. Lelaki itu mulai menyibukkan diri dengan melipat baju-baju miliknya dan Ansara, memasukkan satu-persatu kedalam tas untuk persiapan pulang. Dari rautnya, jelas Bumi tengah merajuk. Meski, lelaki itu tahu tak ada gunanya merajuk dengan istrinya saat ini. Sebab Ansara tengah menjadi seseorang yang begitu berbeda dan sulit ditebak. Entah bagaimana caranya Bumi memenangkan kembali hati sang puan, lelaki itu pun tak tahu.

"Ya, kamu usaha dong, Ayah".

Suara pelan Ansara membuat Bumi terperanjat. Lelaki itu mendongak untuk menatap kearah Ansara yang kini tersenyum. Lelaki itu mengerjap, memastikan pendengarannya barusan tidak salah. Di tempatnya, Ansara terkekeh geli.

Sang gadis tak mampu menyembunyikan tawanya. "Kamu kayak habis lihat hantu aja".

"Barusan saya gak salah denger kan? Apa saya halusinasi karena kelamaan nginep di rumah sakit?". Ucap Bumi polos.

Dengan raut jahil, Ansara kembali mengedikkan bahu. "Gak tahu, deh. Mungkin aja, sih kamu lagi halusinasi dari tadi".

Bumi menyipitkan matanya. "Ini kamu aslinya memang begini, ya? Usil begini? Kok gak dari dulu saya tahunya, ya?".

"Ya, makanya punya istri jangan dicuekin aja". Sahut Ansara tak mau kalah.

Bumi mengangkat kedua tangannya ke udara. "Oke, nyerah saya. Kamu menang. Saya yang salah. Tapi, besok-besok, saya gak akan salah lagi. Lihat aja, kamu yang bakal kewalahan ngadepin saya yang sekarang. Yang kecintaan sama kamu".

Ansara mencebik. "Buaya".

ANSARAWhere stories live. Discover now