6. Kejadian Memalukan

10.5K 426 2
                                    

Pindah ke Jakarta, membuat Ansara jadi bingung bagaimana caranya menghabiskan waktu. Dimana biasanya, gadis itu biasa melakukan aktivitasnya sehari-hari selama di Bandung. Mulai dari belanja di pasar pagi harinya, membersihkan rumah dan dilanjut dengan bekerja di salah satu toko roti dekat rumahnya.

Namun sekarang, semua kegiatan itu jadi hilang. Sebab Ansara belum mengenal betul lingkungannya di Jakarta. Ditambah, gadis itu sekarang tidak lagi bekerja di manapun, membuatnya tidak memiliki aktivitas rutin diluar rumah. Sudah berhari-hari ini, Ansara lebih memilih merawat rumah megah yang ia tempati, menata satu persatu perabotan dan membersihkannya dengan baik agar lebih teratur.

Jujur saja, semenjak menikah, Ansara merasakan kesepian. Gadis yang terbiasa hidup dengan kehangatan di sekitarnya itu, kini harus membiasakan melakukan segalanya sendiri. Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar, bahwa dengan ada atau tanpa kehadiran Bumi di rumah, Ansara tetap saja merasa kesepian.

Ansara seringkali berkontemplasi pada kehidupannya sendiri. Dahulu, ia sering sekali memimpikan kelak akan bersama dengan seseorang. Tumbuh di keluarga yang begitu penuh cinta, membuatnya berpikir bahwa suatu saat nanti, ketika ia pada akhirnya menikah dengan seseorang, Ansara harus menjadi seperti kedua orangtuanya. Yang bahkan hingga kini, masih begitu saling mencintai hingga kehangatan itu berhasil tumbuh sampai ke anak-anak mereka.

Nyatanya, ketika dihadapkan dengan pernikahan yang asli, Ansara kelimpungan sendiri. Memang, jika boleh jujur, Ansara pun sempat ragu ketika perintah perjodohan itu dicetuskan untuknya. Gadis itu tidak yakin bisa mencintai seseorang yang belum ia kenal betul, terlebih, Bumi adalah laki-laki pertama yang akan menjadi pasangannya, dan sekaligus cinta seumur hidupnya.

Tapi, ketika mulai mengenal Bumi, Ansara perlahan mulai belajar untuk jatuh cinta. Membiarkan dirinya mengenal sedikit demi sedikit sosok seorang Bumi yang dimatanya memang begitu dingin, tidak banyak bicara, dan sulit diajak berkomunikasi. Tapi, biar bagaimana pun, Ansara tahu kalau sekarang mereka sudah terikat dalam suatu pernikahan. Jadi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Ansara akan terus belajar mencintai Bumi, entah sampai kapan. Yang penting, ia akan terus berusaha menjadi istri yang sempurna untuk Bumi.

"Permisi, Non. Non An mau dibuatin makanan apa?". Satu suara membuyarkan lamunan Ansara, membuatnya menoleh kearah asal suara yang ternyata berasal dari belakangnya.

Seorang paruh baya dengan pakaian sederhana terlihat tersenyum padanya. Ansara mengerutkan kening, bingung sendiri melihat presensi seorang yang asing di matanya. "Eh, anu.. Maaf..".

"Oh, iya. Non belum kenal Bibi ya? Kenalin Non, saya Mai, panggil aja Bi Mai, mulai hari ini, saya ditugasin buat bantu-bantu dirumah Den Bumi sama Non An". Balas Bibi Mai, disertai senyuman lainnya, nampaknya mengerti dengan keterkejutan Ansara. "Saya ini, tadinya kerja di rumah orangtua Den Bumi dari Den Bumi masih kecil. Cuma, karena Den Bumi menikah, jadinya diminta untuk bantu disini aja. Takutnya kan Non An capek ngurusin rumah sebesar ini".

Ansara menggeleng kikuk, menggaruk belakang lehernya yang tak gatal. "Oalah, ya ampun. Padahal gak apa-apa kok, Bi. Tapi, seneng rasanya ada Bibi sekarang. Jadi, gak sendirian lagi dirumah. Mohon bantuannya ya, Bi".

Bibi Mai mengangguk. "Iya, Non. Jadi, mau dimasakin apa? Biar Bibi yang masak".

"Ah, gak usah repot-repot, Bi. Itu kemarin saya udah masak, cuma belum kemakan. Nanti paling dipanasin aja. Biar saya makan itu aja". Balas Ansara lagi.

Ekspresi Bibi Mai berubah, seakan terkejut mendengar penuturan Ansara. Namun, wanita paruh baya itu memilih kembali mengangguk. "Kalo gitu, biar saya aja yang panaskan, Non. Nanti disajiin di meja biar Non An bisa makan. Tunggu ya, Non".

"Makasih banyak, Bi. Maaf ngerepotin". Balas Ansara sembari tersenyum. Dalam hitungan detik, senyumnya mereda, berganti ekspresi sendu. Mengingat bagaimana makanan-makanan yang tersisa itu sebenarnya memang selalu berakhir demikian akibat Bumi yang tidak pernah mau makan bersamanya. Alhasil, Ansara hanya makan sebagian kecil, dan sisanya selalu ia masukkan kembali ke kulkas. Besoknya, Ansara akan memakannya kembali, selalu seperti itu.

Melelahkan memang, menyakitkan juga, mengingat upaya memasak yang tidak sedikit itu selalu berakhir diabaikan. Namun, Ansara selalu mengingat satu hal setiap kali akan menyerah. Bahwa, bagaimana pun Bumi, Ansara sudah berkenan menerimanya menjadi suami. Maka karena itu, ia pun akan terus berupaya terus menerus memperbaiki dirinya. Agar pada akhirnya dapat menjadi istri yang sempurna bagi suaminya itu.

———

Entah mengapa, hari ini, Ansara mengantuk sekali rasanya. Berulang kali ia nyaris ketiduran, di sofa, di meja makan, bahkan di dapur. Beruntung Bibi berhasil membangunkannya dan mengirimnya ke kamar. Namun, bukannya tidur, Ansara malah memilih untuk mandi, biar segar menurutnya. Gadis itu sebenarnya memerangi rasa kantuknya bukan tanpa alasan, tapi karena memang menanti Bumi pulang dan tidak ingin tidur duluan.

"Aduh, kok bisa kelupaan sih?". Keluh Ansara saat menyadari bahwa ia tidak membawa baju gantinya.

Buru-buru, Ansara membungkus tubuhnya untuk segera keluar dari shower dan bergegas mengambil pakaiannya. Namun, Ansara baru ingat kalau semua baju-bajunya tersimpan di gudang. Gadis itu kebingungan sendiri, sebab untuk mencapai gudang, Ansara harus nekat mengendap-endap hanya dengan berbalut handuk sampai ke lantai satu.

"Ngapain diam di pojok begitu?". Suara baritone milik Bumi, mengagetkan Ansara hingga nyaris berteriak. Gadis itu otomatis memeluk dirinya, menjaga handuknya agar tidak jatuh.

Pipi Ansara sontak memanas. "M—Mas. Anu, itu..".

Netra Bumi lekat menatap presensi Ansara yang hanya berbalut handuk, sebagian kulit paha dan bahunya yang tidak tertutup, seakan ikut memerah seperti pipi sang gadis. Dua bola mata itu bergerak dari atas kebawah, seakan tak mau lepas dari penampakan cantik yang tengah berupaya menutupi dirinya.

Sedetik kemudian, Bumi melepas pandangan dan mengalihkannya. "Pakai bajunya".

"I—iya, Mas.. Ini An mau kebawah pakai baju". Balas Ansara, menunduk sendiri karena merasakan pipinya kian memanas.

Bumi lantas kembali menoleh. "Ngapain pakai dibawah?".

"Itu.. Bajuku kan ditaruh di bawah mas.. Di gudang. Tadi lupa ambil sebelum mandi". Balas Ansara takut-takut.

Bumi menelan salivanya, merasakan tumbukan di dadanya yang terasa asing namun tak dapat dihindari. Lelaki itu kemudian berbalik, berjalan kembali menuju pintu kamar. "Ck. Tunggu disini. Dibawah ada rekan kerja saya".

Ansara terkesiap, terkejut sendiri. Untung saja tadi ia belum nekat mengendap-endap ke lantai bawah. Kalau tidak, bisa runyam akibatnya. Sang gadis lantas menanti, menunggu dengan sabar di kasur. Debaran jantungnya sejak tadi tak mampu berbohong, begitu kencang sampai takut terdengar.

Tak berapa lama kemudian, Bumi kembali dengan selembar baju dan pakaian dalam di tangannya. Lelaki itu menaruhnya di nakas, dekat dengan tempat Ansara duduk. "Nih, pakai. Kamu gak usah turun dulu. Tunggu teman saya pulang".

Setelahnya, Bumi berjalan santai menuju ke nakas lainnya di sebelah kasur, mengambil dua buah map berwarna biru, dan kembali berlalu meninggalkan Ansara yang masih terbengong di tempatnya untuk turun ke lantai satu dan menemui rekannya.

Ansara baru teradarkan setelah sepeninggalan Bumi, bahwa sejak tadi, ia masih saja belum berpakaian. Dengan segera, sang gadis bergegas, meraup setelan piyama yang Bumi bawakan, dan memakainya.

"Duh, malu banget.. Mas Bumi pasti ketawain An deh dibawah. Gimana sih aku ini". Desau Ansara resah sendiri karena kejadian barusan.

ANSARAWhere stories live. Discover now