56. Celaka

10.7K 328 26
                                    

Perlahan, sungguh perlahan.

Riuh itu kian mendera.

Angan akan hadirnya seorang yang biasa mengisi mimpi, kini harus perlahan sirna.

Menyisakan kenangan yang seakan terus menghantui.

Dan itulah yang terus terulang di ingatan Bumi. Setiap harinya, bagaikan rekaman sebuah kaset kusut yang diulang berjuta kali, seperti itulah kenangan akan Ansara menghantuinya.

Di setiap sudut rumah megah yang ia sempat tinggali bersama Ansara, tersimpan kilasan cantiknya sang puan yang sempat terekam di ingatan Bumi. Di ingatan Bumi, Ansara terlihat penuh senyum.

Gadis itu memang selalu penuh cinta untuknya, menyambutnya dengan kasih sayang yang mungkin tak terhitung jumlahnya. Hanya selama ini, Bumi seakan memilih mengikatkan kain di sekitaran matanya, agar gelap, agar tak terlihat segala rupa cantiknya.

Senyumnya, elok tubuhnya, serta manis aromanya, adalah hal yang paling sulit hilang dari kepala Bumi hingga kini. Ansara adalah ciptaan tuhan yang spesial, yang dengan mudahnya meninggalkan jejak di benak orang yang gemar menghabiskan waktu dengannya.

Tak sanggup Bumi merangkum rasa, sebab nalarnya tak lagi ikut berjalan. Saking luasnya rasa rindu itu, Bumi seringkali menghabiskan waktu dengan berbaring di kasur yang bahkan masih meninggalkan samar aroma manis dari parfum yang Ansara sering kenakan.

Senyumnya pahit, sepahit rasa kopi yang sekarang tak terasa seenak dulu. Entah ramuan jenis apa yang Ansara campurkan ke racikan kopinya dulu, sebab setelah ia pergi, rasa kopi manapun tak ada yang bisa menyamai.

Menyesal.

Bumi sering sekali mendengar hal ini dulu. Dimana memang biasanya penyesalan akan datang belakangan. Karena jika tidak, maka mungkin sel penjara pun akan penuh saking banyaknya manusia yang menyadari kesalahan di awal.

Seperti dirinya sekarang, menyesal. Terlebih, ketika Ansara mengucap kata terlambat. Kata yang sejak dulu paling Bumi takuti. Sebab baginya, waktu adalah hal yang utama. Ajaran turun temurun yang hadir melalui Gepa itu, terus diterapkan dengan baik hingga ke sang cucu bungsu keluarga Dhiagatri.

Bumi selalu memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, terstruktur rapi, dan tidak ada yang tertinggal. Pantang baginya terlambat melakukan sesuatu, nyaris tidak mungkin bahkan. Tapi, Bumi sadar bahwa perkara kali ini, bukan seenteng masalah sehari-harinya.

Nyatanya, ia selalu terlambat.

Terlambat menyadari, terlambat meyakinkan, dan terlambat mencintai.

Pernah dengar ungkapan she fell first, he fell deeper?

Mungkin itulah yang terjadi pada Bumi dan Ansara sekarang. Hanya saja, Bumi terlambat menyadari. Terlambat mengetahui bahwa isi hatinya sebenarnya sudah menyeruak sejak ia mengenal Ansara.

Lelaki itu berjalan gontai menuju ke ruang kerja. Tempat dimana tragedi menyakitkan itu terjadi. Ditatapnya amplop cokelat yang sudah lama tak tersentuh, yang Bumi ketahui isinya sebagai kelengkapan berkas perceraian mereka.

Baru hari ini, Bumi berani menyentuh lagi berkas tersebut. Berkontemplasi dengan dirinya sendiri akan apa hal yang bisa dilakukan.

Bumi terduduk disana, menghabiskan waktu nyaris seharian demi mencari satu kesimpulan dari rangkaian cerita yang harus ia lakukan segera. Siang berganti malam, malam pun nyaris bertemu kembali dengan pagi saat pada akhirnya Bumi memutuskan satu hal di benaknya.

Lelaki itu menatap kearah satu lembar yang harus ia tanda tangani, satu lembar yang bisa menyengerakan perceraian mereka jika keduanya bertanda tangan. Bumi tersenyum getir, hanya sejenak, sebelum tawanya meledak.

ANSARAWhere stories live. Discover now