57. Kenyataan Pahit

13.1K 403 25
                                    

Mendapati diri memacu kendaraan jauh diatas rata-rata, tak ayal membuat otak Bumi nyaris buntu. Tak ada satupun hal yang bersarang di benaknya selain rasa ketakutan akan hal yang mungkin dihadapi. Bagaimana caranya merangsek kemacetan yang berderet, Bumi sendiri pun tak lagi ingat.

Ia hanya ingat berlari jauh, menyusuri lorong panjang rumah sakit yang kini nampak sepi. Usai menandatangani beberapa keperluan administasi, Bumi langsung mencari presensi Ansara. Ternyata, gadis itu telah lebih dulu masuk ruang operasi untuk mendapatkan beberapa tindakan guna mengeluarkan serpihan pecahan kaca dari tubuhnya.

Saat dibawa ke RS, Ansara sudah dalam keadaan tak sadar. Beruntunglah saat dilakukan pengecekan awal, tidak ditemukan adanya fraktur di tulang-tulangnya. Hanya saja, ditemukan beberapa indikasi adanya robekan di beberapa titik ligamen kaki Ansara. Pun, gadis itu masih harus melewati pengecekan untuk memastikan tidak adanya pendarahan dalam yang tak terlihat.

Bumi menanti dengan cemas di depan ruang operasi, menunduk frustasi karena tahu saat ini tak banyak yang bisa ia lakukan selain berdoa dan menanti disana. Telapaknya terasa dingin lantaran gugup yang menyeruak, rahangnya mengetat saat menahan lonjakan emosi yang terus bergerak fluktuatif.

Saat ini, tidak ada satu orang pun mengetahui perihal keadaan Ansara selain Bumi. Saking kusutnya pikiran Bumi pun, lelaki itu tak sedikit pun terpikir untuk sekedar menelepon keluarganya, maupun keluarga Ansara. Tangannya terjalin, terus merapal doa kepada tuhan yang selama ini tak terlalu ia hiraukan. Memohon pertolongan terakhir untuk mengizinkan Ansara dalam keadaan baik-baik saja bahkan setelah mengalami kejadian mengenaskan.

Tiga jam berlalu, pintu ruang operasi pun terbuka. Menampilkan seorang berbaju medis lengkap yang langsung bertemu tatap dengan Bumi. Tanpa bisa berpikir panjang, Bumi bangkit dan menanyai hal yang paling mengganggu pikirannya. "Gimana keadaan istri saya, Dok?".

"Pasien sudah stabil. Butuh waktu cukup lama untuk saya mengeluarkan kepingan kaca yang letaknya lumayan dalam di area kaki. Tapi untunglah, sekarang sudah bersih. Setelah ini, tim kami akan melakukan pengecekkan untuk mencari potensi pendarahan didalam yang gak terlihat". Jelas sang Dokter sembari membuka maskernya, menunjukkan raut lelah setelah proses panjang yang mungkin memerlukan konsentrasi tinggi itu.

Bumi mengangguk, meski rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. "Sekarang dia gimana, Dok? Apa saya boleh ketemu?".

"Pasien masih belum siuman. Sebentar lagi, pasien akan dipindah ke ruang rawat untuk nantinya dilakukan pemeriksaan lanjutan". Balas sang dokter, membuka kedua sarung tangan sintetisnya. "Oh, iya, perlu kami infokan juga, untuk kandungan pasien kami nyatakan dalam keadaan baik-baik saja. Hanya, kondisi ibunya yang perlu diperhatikan saat ini. Jika tidak ditemukan adanya pendarahan dalam, maka pasien bisa segera kami pulangkan saat kondisinya membaik".

Kening Bumi mengkerut seketika saat mendengar penjelasan barusan. "Kandungan? Maksudnya gimana, Dok? Istri saya hamil?".

"Betul. Saat ini, melalui USG dilansir usia kandungannya sekitar dua belas minggu". Sahut sang Dokter, tenang.

Dua belas minggu itu berarti tiga bulan lalu?

Tunggu. Tiga bulan lalu, Ansara masih sama saya.

Itu berarti, Ansara hamil anak saya?

Bumi menelan getir di tenggorokannya yang langsung menyerang. Mengetahui kenyataan Ansara meminta perceraian bahkan disaat dirinya tengah mengandung anak mereka, adalah satu hal yang begitu memilukan. Tidak bisa digambarkan bagaimana hancurnya ia saat mengetahui kenyataan bahwa Ansara menyimpan hal sebesar ini, menahan semua beban berat di pundaknya sendiri, demi bisa berpisah dengan Bumi.

ANSARAWhere stories live. Discover now