24. Tawa

7.8K 371 19
                                    

Usai membersihkan diri, Bumi lantas mengeringkan rambutnya yang mulai memanjang. Lelaki itu memandangi dirinya sendiri di pantulan kaca, baru menyadari betapa beberapa lama ini ia bahkan lupa merawat diri. Rambut hitamnya kini sudah mulai memanjang, ujungnya bahkan sudah nyaris menyentuh area punggung.

Bumi menghela nafasnya, menyisir rambut basahnya sendiri dengan jari, berupaya merapikan agar setidaknya tidak terlihat terlalu berantakan. "Mesti dipotong ini rambut, gak sadar udah sepanjang ini, pantas gerah". Gumam Bumi pada dirinya sendiri, mengomentari penampilannya.

"Mau An bantu potong rambutnya, Mas?". Suara Ansara yang terdengar tiba-tiba dari belakang, membuat Bumi terkejut.

Lelaki itu sampai berjengkit karena tak menyadari kalau Ansara sudah berdiri di ujung kamar sejak tadi dan memperhatikannya bercermin. "An, ngagetin aja kamu. Kalo masuk tuh ngomong, bisa jantungan saya".

"Eh, maaf, Mas. Kirain Mas ngeh aku masuk". Balas Ansara meminta maaf, sebelum mengulang pertanyaannya kembali. "Gimana, Mas? Mau gak An potongin rambutnya?".

Bumi kembali menatap ke cermin. "Memang bisa kamu potong rambut?".

"Bisa dong. Dulu, An sering banget bantu cukur rambut Bapak kalo Ibu lagi gak bisa. Diajarinnya sama Ibu juga, Ibu tuh jago banget potong rambut". Balas Ansara, kemudian tanpa aba-aba, menyentuh ujung rambut Bumi yang dekat dengan punggungnya. "Ini dipotong sedikit aja kalo kamu gerah, Mas, yang penting kan gak ngehalangin leher".

Sentuhan Ansara menggelitik tengkuk Bumi, padahal sang gadis hanya menyentuh rambutnya saja.

Lantas, Bumi menolak. "Gak usah deh, besok ke barber shop langganan saya aja". Tapi, tidak lebih dari tiga detik setelahnya, Bumi langsung berbicara lagi dengan menepuk jidatnya lebih dulu. "Duh, besok tapi saya harus ngejar report checking buat hari Senin".

Memang terkadang, dua puluh empat jam tidak cukup bagi Bumi menangani seluruh pekerjaannya. Tidak peduli hari kerja atau akhir pekan, tidak pernah ada yang namanya toleransi dalam hal pekerjaan bagi lelaki itu. Ansara pun mengerti itu, itu sebabnya, sang gadis sekali lagi menawarkan. "Nah, makanya, An bantu aja! Cepat kok, Mas Bumi juga gak perlu kemana-mana, cukup duduk aja".

Ansara lantas menyembulkan wajah dari balik tubuh Bumi, berupaya menatap sang lelaki dari pantulan cermin didepan mereka. "Mau ya, Mas? Dijamin bagus kok hasilnya".

———

Entah apa hal yang menyebabkan Bumi akhir-akhir ini bersikap lebih lunak pada Ansara. Seperti halnya saat ini, lelaki itu pun memilih menyetujui, membiarkan Ansara mengatur duduknya untuk selanjutnya memotong ujung-ujung rambutnya yang mulai memanjang itu. Sang gadis begitu berfokus, memastikan melakukan pekerjaannya dengan benar.

Dengan sabar, Ansara memisahkan perbagian rambut, mengerjakan dengan hati-hati. Baru kali ini, Bumi menyaksikan betapa tekunnya Ansara ketika melakukan sesuatu, membuat matanya ingin berlama-lama mengikuti gerak sang gadis.

"Nah, belakangnya sudah rapi nih, Mas, enak kan? Gak nyentuh leher lagi rambutmu". Ucap Ansara seraya menyusurkan jemarinya di kepala Bumi, membuat sang lelaki menatapnya dari pantulan kaca.
Ansara lantas bergerak ke hadapan Bumi, memperhatikan rambut bagian depan sang lelaki. "Tinggal rapihin depannya nih, Mas, kamu merem sebentar ya?".

Bumi tidak banyak memprotes, hanya menuruti permintaan sang gadis saat mulai memproses rambut bagian depannya untuk dipangkas sedikit. Awalnya, tidak ada hal aneh yang Bumi rasakan, sampai tiba saatnya, lelaki itu menyadari betapa dekatnya posisi mereka saat ini, saat nafas Ansara terasa hangat menyapa pipinya.

Yang lebih membuat Bumi terkesiap adalah, jemari Ansara yang secara tiba-tiba menangkup kedua pipinya dan mengarahkannya agar lebih mengadah keatas. "Agak dongak sedikit ya, Mas. An mau lihat udah rapi atau belum".

Bumi berjuang sekuat tenaga tetap menjaga matanya tertutup, sebab takut jika ia membuka mata, maka mata mereka akan saling terkoneksi. Kontak mata itu selalu berbahaya, terutama jika itu terjadi antara laki-laki dan perempuan. Meski tidak suka, yang namanya nafsu dan godaan itu kan urusan lain. Irama jangung Bumi nampaknya pun tidak selaras dengan logika di kepalanya, sebab sejak tadi terdengar jelas berdegup lebih cepat dari biasanya.

Perjuangan Bumi menahan diri untuk tidak membuka mata, nyatanya gagal saat merasakan nafas Ansara kini menyapa bibirnya. Ilmu magis yang begitu kuat, menuntun kedua netra Bumi terbuka perlahan, kedua bola mata itu langsung bergerak mengikuti figur di hadapannya yang ternyata memang sudah begitu dekat, namun, seakan tetap tak menyadari betapa berbahayanya kondisi itu.

Netra Bumi kemudian berhenti di satu titik di wajah Ansara, pada warna kemerahan yang kini terbuka karena tengah fokus-fokusnya. Bibirnya.

Entah produk pelembab jenis apa yang Ansara gunakan selama ini. Sebab bibir mungil itu terlihat begitu sehat, dengan rona kemerahan alami dan bentuk yang begitu pas untuk di... Kecup.

Hah?

Netra Bumi membesar seketika saat menyadari kemana pikirannya terbang saat ini. Jelas sekali terdistraksi dengan bibir Ansara sehingga punya pikiran untuk menciumnya. Bumi lantas menelan saliva, buru-buru kembali memejamkan mata guna mengusir pikirannya yang sedang tak berakal.

Mikir apa sih saya barusan? Udah gila ya? Ini Ansara, bukan Diandra. Bisa-bisanya saya mikir buat cium Ansara?

"Udah, Mas. Bagus deh, coba buka matanya". Suara riang Ansara pada akhirnya memecah pikiran Bumi, perlahan, lelaki itu membuka matanya kembali.

Kali ini, ia kembali terkejut. Tapi, bukan karena bibir Ansara lagi. Melainkan, takjub melihat hasil pangkas Ansara yang menurutnya terbilang rapi dan tidak asal-asalan. Bumi otomatis mengecek bagian belakang, menyusuri rambut dengan jemari tangannya. "Oke juga nih, An. Rapi".

Semu kemerahan menguar di pipi Ansara secara seketika sebab baru saja, Bumi memuji kemampuannya. "Iya, rapi kan, Mas? An aja kaget tadi, jadi lebih ganteng lagi kamu. Padahal biasanya juga udah ganteng".

Hening langsung mengisi diantara keduanya. Penyebabnya adalah Ansara yang kini melotot dan membekap mulutnya sendiri yang tanpa sadar menyerocos tanpa ngerem. Padahal, Ansara bermaksud mengatakannya dalam hati. Tapi, kenapa mulutnya ikutan juga?

"Maaf, maaf, Mas. Kelepasan". Ucap Ansara buru-buru, menyadari saat canggung mengisi diantara mereka.

Sedangkan Bumi, diluar dugaan, malah menaikkan sebelah senyumnya. Netranya juga menatap Ansara, seakan tengah menahan diri tak berekspresi terlalu banyak. "Kelepasan apa sengaja kamu? An, An, saya kira kamu bukan tipe yang suka godain laki-laki begitu".

Ansara langsung menggeleng kuat. "Enggak, Mas! Suer deh, An beneran gak niat godain. Gak bisa juga aku begitu. Itu tadi harusnya An ngomongnya dalam hati, tapi malah kesebut. Eh, bentar, kok aku malah cerita ke Mas? Duh, An mending berhenti ngomong aja deh".

Kali ini, Bumi tak sanggup menahan tawanya, lelaki itu tertawa hingga memejam, namun berupaya menutupinya dengan punggung tangan. Ansara tertegun sendiri melihat pemandangan suaminya yang tertawa karenanya, untuk pertama kalinya. Lelaki itu bahkan berkomentar. "Saltingmu lucu, An, sori, saya gak bisa nahan ketawa".

Gantian, Ansara kini memegangi dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup berlebihan. Seiring dengan rona kemerahan di pipi, dan sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

Malu, tapi gak apa-apa. Asal bisa ngelihat kamu ketawa begini. An rela malu terus rasanya, Mas.

ANSARAWhere stories live. Discover now