20. Sorot Indah

8.2K 357 17
                                    

"Waduh, Bi. An lupa, mau coba buat croissant tapi bahannya gak ada". Ucap Ansara seraya menepuk dahinya, menunjukkan gestur bingung.

Bi Mai yang tengah membereskan area dapur jadi berjalan mendekat. "Mau Bibi belikan bahannya, Non? Biar Bibi yang ke pasar".

Ansara lantas menggeleng. "Bahannya kayaknya adanya di supermarket, Bi. Kalo temenin An kesana, boleh gak? Mumpung Mas Bumi belum bangun, harusnya kekejar kalo kita berangkat sekarang".

"Siap, Non. Bibi siap-siap dulu". Balas Bi Mai.

Ansara pun mengangguk, lantas berjalan pelan menuju ke lantai dua, hendak berpamitan pada Bumi yang semalam sepertinya ketiduran di ruang kerjanya. Gadis itu tadinya hendak mengetuk, tapi takut malah membangunkan Bumi yang mungkin butuh istirahat. Toh, hari ini hari libur, biarlah ia beristirahat lebih lama lagi.

"Mas.. Aku izin ke supermarket sebentar ya, sama Bi Mai kok, gak sendiri". Hening tercipta setelah Ansara mengucap kalimat tersebut, membuat sang gadis terkekeh sendiri. "Tidur yang nyenyak ya, Mas".

Ansara terlihat begitu bersemangat, menyusuri section pastry bagai anak kecil yang dibawa melihat-lihat mainannya. Gadis itu berjongkok, memilah-milih rasa jenis dari pastry yang akan digunakan. "An tuh mau coba bikin croissant tapi isian daging gitu, Bi. Soalnya, An pernah lihat Mas Bumi makan itu, kayaknya dia suka croissant".

Bi Mai terkekeh melihat antusias sang gadis. "Den Bumi memang dari dulu suka jenis roti-rotian gitu, Non. Lebih gampang dan cepat makannya katanya, terus gak kenyang banget juga".

Ansara menoleh. "Gitu ya, Bi? Pantes aja selama ini jarang dimakan masakan An, soalnya keseringan masak nasi dan lauk".

Bi Mai kehilangan senyumnya seketika saat menyadari betapa polosnya pikiran seorang Ansara. Gadis itu bagai tak menyadari bahwa penolakan yang selama ini Bumi lakukan padanya, sama sekali tidak berhubungan dengan jenis masakan yang Ansara buat.

"Nah, yang ini aja gak sih, Bi? Kayaknya yang ini paling bagus kualitasnya". Ucap Ansara seraya meraih sebuah kotak berwarna merah. "Habis ini kita cek ke konter daging ya, Bi, mau beli daging asap".

Bi Mai mengangguk. "Iya, Non".

———

Bumi terbangun dengan suasana rumah yang begitu sepi. Terlarut dalam pikirannya sendiri semalam suntuk, membuatnya tanpa sadar jatuh tidur di sofa ruang kerjanya sendiri, tanpa kesengajaan. Lelaki itu mengucek matanya, kemudian berangsur bangkit, membuka pintu ruang kerja yang sebelumnya terkunci dan mengecek keadaan sekitar.

Sunyi.

Tidak mungkin sesunyi ini. Biasanya, suara cerewet Ansara pasti sudah menggema di seisi rumah, apalagi di jam-jam makan siang begini. Bahkan, suara denting alat masak yang biasanya terdengar dari area dapur pun sama sekali tak terdengar. 

Penasaran, Bumi mencoba mengecek sendiri ke lantai bawah. Dengan kesadaran yang masih belum
mengumpul sepenuhnya, lelaki itu menyusurkan pandang ke beberapa area di rumah, lantas bingung sendiri saat menemukan rumah megah itu benar-benar kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ansara sedikitpun disana.

Kemana perginya perempuan itu?

Bumi lantas mengecek ponselnya, memastikan setidaknya ada satu pesan dari sang gadis yang tertinggal. Namun tidak, Ansara tidak meninggalkan pesan maupun meneleponnya sama sekali. Bumi refleks menggigit bibir, entah mengapa perasaannya gelisah.

Kenapa juga harus gelisah? Palingan juga lagi kemana si An itu, ngapain mesti khawatir segala sih?

Sang lelaki mengurungkan niat untuk menelepon Ansara, semata-mata karena merasa tidak seharusnya mencaei. Bumi memilih masa bodo, tidak penting
mengisi hari liburnya dengan perkara yang tidak seharusnya ia pikirkan.

Lelaki itu kemudian bergerak ke mesin kopi, hendak membuat kopinya sendiri. Sebab Ansara yang biasanya membuatkan kopi untuknya itu tidak ada. Padahal, Bumi sudah mulai terbiasa meminum kopi dengan takaran yang Ansara buat. Pas sekali rasanya, tidak terlalu pahit, tapi juga tidak manis. Enak.

Mikir apa sih? Kenapa jadi kecarian Ansara begini?

Bumi berdecak, lantas membanting sendok yang ia gunakan untuk mengaduk kopi keatas meja marmer di hadapannya. "Saya dari kemarin kenapa sih? Kurang tidur apa ya? Apa kebanyakan mikirin kerjaan? Ah, Gepa juga sih, ngapain pake ngomong masalah anak juga kemarin? Jadi refleks mikirin juga, kan".

———

Ansara yang kini tengah memilah-milih buah, jadi terdistraksi saat ponsel milik Bi Mai berbunyi. Wanita paruh baya di sebelah Ansara itu terlihat terkejut saat melihat nama di layar ponsel, sontak menatap kearah Ansara. "Den Bumi telfon, Non".

"Hah?". Ansara terkejut mendengarnya, lantas meminta Bi Mai merespon. "Angkat, Bi. Nanti Mas Bumi marah kalo gak dijawab".

Bi Mai mengangguk, kemudian mengangkat panggilan seperti yang di instruksikan. Ansara sendiri jadi berdebar, takut kalau Bumi akan marah seperti dugannya. "Ya, Den? Ini lagi sama Non An, Den. Kenapa?".

Ansara mengerutkan kening, mencoba menebak isi percakapan Bi Mai dan Bumi yang nampaknya menanyakan keberadaannya. Detik selanjutnya, Bi Mai mengangguk dan memberi Ansara kontak mata. "Supermarket yang dekat sini kok, Den. Ini paling sebentar lagi pulang".

"Permisi". Ucap seseorang disamping Ansara saat ketegangan itu berlangsung, membuat sang gadis sontak menoleh dan menemukan sosok familiar disana.

"Mas Galaksi?".

Galaksi menunjukkan senyumnya. "Halo, Mba Ansara, ketemu lagi kita. Tadi saya kira mirip doang, ternyata benar". Galaksi lantas menunjuk buah naga yang tengah Ansara pegang dari tadi. "Itu buahnya Mba mau ambil gak? Kalo enggak, buat saya boleh?".

Ansara terkesiap, menatapi buah naga di tangannya. "Oh, boleh, boleh, Mas. Ini, ambil aja. Tadi baru pilih-pilih doang kok".

Galaksi kemudian mengambil benda tersebut dari tangan Ansara, kemudian mulai menyibukkan diri dengan membungkus beberapa buah naga kedalam plastik. "Sama siapa kesini, Mba? Sendiri lagi?".

"Ini sama Bi Mai". Ucap Ansara sembari menunjuk kesamping, yang ternyata kini kosong. Gadis itu kebingungan sendiri. "Loh? Bi Mai kemana? Tadi masih disini".

Galaksi terkekeh sendiri melihat kebingungan Ansara.
"Oh, yang ibu-ibu tadi itu ya? Kayaknya tadi saya lihat jalan keluar sambil telfon. Susah sinyal kali didalam sini, Mba".

"Ah, iya". Balas Ansara polos, tidak kepikiran sampai kesana.

Galaksi menunjukkan sebuah buah naga di depan wajah sang gadis. "Kalo yang ini bagus gak ya, Mba?".

Dengan cekatan, Ansara mengamati. "Kurang, Mas. Yang itu banyak hitam-hitamnya. Carinya yang kulitnya masih bersih dan merah".

"Oh, makasih, Mba". Sahut Galaksi, menuruti perintah Ansara dan jadi kebingungan sendiri saat memilah-milih.

Melihat Galaksi yang celingukan sendiri, Ansara jadi terkekeh, kemudian memilih untuk membantu tanpa diminta. "An bantuin pilih ya, Mas. Biar gak bingung".

Galaksi sontak menatap kearah Ansara yang kini sibuk berceloteh soal buah naga yang sebenanrnya tidak ada dalam list belanja lelaki itu. Tersenyum sendiri saat menemukan betapa teduhnya sorot indah dari sepasang mata milik Ansara yang membuatnya terpesona, persis saat pertama mereka bertemu.

Tidak pernah ada yang tahu, bahwa sebenarnya, semenjak hari pertemuan tidak sengaja mereka kala itu, Galaksi tidak melewatkan sehari pun untuk datang ke tempat yang sama, berharap akan kembali bertemu lagi, menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit sampai satu jam mengitari supermarket dalam upaya membuat skenario tidak sengaja bertemu kembali dengan Ansara.

Padahal, semua sengaja ia lakukan, semata-mata bisa kembali menatap dua mata itu, yang seakan membawanya kedalam rasa tertarik, ingin mengenalnya jauh lebih lagi.

Paras cantik ditambah dengan tutur lembut dan perhatian yang tidak perlu diminta itu, tak ayal membuat Ansara begitu indah dimata Galaksi. Padahal ia baru dua kali berjumpa, tapi rasanya, Galaksi sudah menemukan tempatnya bernaung.

"Mba Ansara, sorry". Ucap Galaksi, memotong dongeng Ansara mengenai khasiat buah naga dan membuat gadis itu menoleh kearahnya.

Mata bulat itu begitu cantik, terfokus pada Galaksi. "Iya, Mas?".

"Saya hari ini boleh antar Mba An pulang? Sebagai bentuk terimakasih karena udah dibantu lagi".

ANSARAWhere stories live. Discover now