28. Menahan Diri

10.9K 374 22
                                    

Kedua manusia itu terdiam di tempatnya untuk waktu yang cukup lama. Saling memandang dalam rangka menanti jawaban, sedang yang satunya kehilangan kemampuan berpikir. Yang jelas, jarak yang tercipta diantara mereka, tanpa terasa, makin lama makin menipis tanpa disadari. Bahkan, helaan nafas masing-masing sudah terasa saking dekatnya. Hanya perlu sedikit lagi sampai dua bibir itu menempel...

"Mas!! Tunggu!". Pekikan Ansara membuat Bumi menghentikan pergerakannya, lantas menaikkan sebelah alis dalam raut bertanya.

Bumi memilih mundur sedikit agar bisa menatap Ansara lebih baik. "Kenapa?".

"Itu.. Anu.. Tanganku kotor, tadi kan habis makan. Cuci dulu, boleh?". Ucap Ansara takut-takut dengan pipi kemerahan, matanya sibuk mencuri tatap pada Bumi dan sesekali menunduk.

Bumi tak kuasa menahan kekehan. Lelaki itu menunduk, terkekeh tertahan. Mendapati situasi lucu yang Ansara ciptakan entah karena salah tingkah atau memang niatan serius. Lantas, Bumi kembali menatap kearah Ansara. "Kamu serius ngomong gitu? Kan saya cuma minta cium, kenapa harus sampai cuci tangan? Memang mau ngapain pakai tangan?".

Pertanyaan Bumi membuat Ansara berkedip lucu. "Mm.. Kan siapa tahu nanti aku pegang kamu gak sengaja?".

Tentu saja, yang Ansara maksud dengan memegang, adalah memegang Bumi tak sengaja dalam artian inosen. Seperti memegang tangan, pundak, atau mungkin wajah sang lelaki. Tapi bagi Bumi, kalimat itu bermakna nakal. Entahlah, mungkin memang otaknya saja yang sudah berpikir kemana-mana sejak tadi.

Jadilah, Bumi tersenyum asimetris. Lelaki itu lantas mengangguk. "Ya udah, cuci tangan dulu aja. Saya tungguin".

"Habis itu cium?". Tanya Ansara polos, menuai anggukan dari Bumi.

Sang lelaki mengangguk. "Kalo kamu kasih izin, iya, cium".

Sempat menelan saliva, Ansara lantas berdiri, berjalan kikuk kearah westafel dapur untuk menepati ucapannya, mencuci tangan bekas makan tadi, dengan ditemani Bumi yang kini berdiri di belakangnya. Bumi memperhatikan dengan jelas bagaimana bahu Ansara begitu kaku, berbeda dengan sebelumnya. Ia sudah menduga, gadis itu pasti gugup bukan main. Bumi juga yakin, ciuman itu, pasti akan menjadi ciuman pertama untuk Ansara.

"Udah belum?". Tanya Bumi tak sabaran. Jiwa usilnya makin timbul saat menyaksikan Ansara mematikan kran dengan terburu-buru, seakan ketahuan sengaja berlama-lama.

Seusai mengelap tangannya, Ansara lantas berbalik, menemukan Bumi yang kini berdiri tak jauh darinya dengan tangan menyilang di dada. Pipi Ansara makin bersemu, seakan ingin ia sembunyikan entah dimana. "Udah, Mas..".

Mendengar jawaban Ansara, Bumi maju beberapa langkah, mengikis jarak mereka kembali hingga ujung sendal yang mereka kenakan bertemu. Ansara sontak menunduk, seakan tak mampu menemui sorot mata Bumi yang kali ini terlihat begitu berbeda untuknya. Bumi lantas mengurung Ansara dengan mencengkram ujung westafel di sisi kanan dan kiri tubuh sang gadis. Lelaki itu juga menunduk, mencoba mempertemukan pandang mereka.

Bumi berucap dengan nada lembut, begitu rendah. "Baru kali ini, An, saya mau cium orang pakai nungguin orangnya cuci tangan dulu".

Ansara sontak menggigit bibir. "Maaf, Mas...".

"Gak apa-apa. Dari gesturmu, saya jadi tahu, kamu pasti belum pernah dicium laki-laki sebelumnya, iya kan?". Balas Bumi lagi, masih dengan jarak mereka yang sangat dekat.

Sang gadis yang kini sudah semerah tomat, mengangguk. "Iya...".

Bumi otomatis terkekeh, merasa puas karena dugaannya benar. Lelaki itu lantas memainkan pesonanya. "Jadi, saya dikasih izin gak?".

Ansara mengangguk pelan, masih saja menghindari tatapan Bumi yang makin lama makin intens terasa. Nada bicara Bumi makin rendah, serupa bisikan yang
hanya bisa mereka berdua dengar. "Kalo dikasih, kenapa nunduk terus? Lihat saya, Ansara".

Ansara merasakan jantungnya berdegup kencang sekali, nafasnya pun ikut menggebu, membuatnya kesulitan bernafas dengan normal dan tanpa sadar membuka mulut untuk menarik lebih banyak oksigen. Gadis itu menaikkan pandangannya, pada akhirnya kembali bertemu tatap dengan Bumi yang kini tersenyum.

"Udah siap?". Tanya Bumi, membuat jantung Ansara makin tak karuan detakannya. Gadis itu tak bisa merespon, hanya bisa terus menanti saat-saat dimana Bumi menangkup wajahnya, dan mulai mendekatkan wajah mereka.

Jarak yang makin menipis, membuat Ansara refleks memejam, tak sanggup menyaksikan hal yang membuatnya sampai meremat baju Bumi tanpa sadar. Dan betapa terkejutnya Ansara saat merasakan Bumi mengecup keningnya, lama sekali, sebelum melepasnya. Lelaki itu lantas terkekeh geli setelahnya.

Ansara memberi tatapan bertanya, jelas tak menyangka intensitas segila itu diantara mereka tadi akan berakhir dengan ciuman inosen di kening. "Kok...".

"Kenapa? Kurang?". Tanya Bumi, tak sanggup menahan kekehan yang makin intens, membuatnya perlu menutup mulut dengan punggung tangan. Lelaki itu kemudian mengatur dirinya, menyudahi tawa yang tak seharusnya ia tunjukkan terus-menerus pada Ansara. "An, An. Harusnya kamu lihat mukamu tadi. Kamu ketakutan bukan main, nafas juga susah. Gimana mau saya cium bibir? Nanti yang ada kamu pingsan, kehabisan nafas duluan".

Ansara sontak memegangi pipinya yang makin panas. Gadis itu kembali menunduk malu. "Ih.. Maaf, Mas.. Memang sekelihatan itu ya? Aku memang gak punya pengalaman..".

"Sudah, cukup segitu dulu ciumnya. Baru dicium kening aja mukamu udah semerah tomat, An". Ucap Bumi, sebelum menyentuh dahi Ansara dengan ujung telunjuknya. Jari telunjuk itu kemudian turun  melewati hidung dan perlahan menuju ke bibir. "Lain kali mungkin aja disini, tapi itu juga kalo kamu udah gak terlalu takut sama saya".

Selanjutnya, Bumi menjauhkan diri. Lelaki itu memilih berbalik badan, berjalan santai lebih dulu meninggalkan Ansara yang masih terbengong di tempatnya. "Udah ah, saya mau mandi. Kalo udah gak ada keperluan lagi, tidur, An. Udah malam".

Ansara mengangguk. "Iya, Mas.. Sebentar lagi aku naik".

Sang gadis membiarkan Bumi berjalan meninggalkannya lebih dulu, sebab sejak tadi, kakinya lemas bukan main, nyaris terjatuh saking intensnya atmosfer diantara mereka. Dan benar saja, sepeninggalan Bumi, Ansara langsung luruh ke lantai, lemas bukan main. Gadis itu menutup wajahnya sendiri, sebab adegan manis itu masih terus terulang di kepalanya, sempat mengutuk diri sendiri karena berharap Bumi akan mencium bibirnya tadi.

Mas Bumi.. Jantung An, mau copot rasanya.

Sedangkan, hal yang berbeda terjadi pada Bumi. Jangan ditanya mengapa ia memilih untuk langsung mandi setelah kejadian di dapur tadi. Sudah dipastikan, hormonnya sontak bergejolak saat mendapati ekspresi Ansara tadi. Wajah kemerahan itu, bibir mungilnya, terus saja menari-nari di kepala Bumi bahkan setelah ia mengguyur diri dibawah kran shower air hangat.

Sialan.

Banyak sekali pertimbangan Bumi menahan diri untuk tidak mencium bibir Ansara malam ini. Salah satunya ialah menjaga perasaan Diandra, yang mana sampai detik ini masih kekasihnya. Dan alasan lainnya, dan yang paling dominan, ialah ketakutan Bumi akan kehilangan kontrol diri jika saja bibir mereka bertemu. Bumi takut, dirinya akan berubah menjadi liar dan penuh tuntutan jika tadi mencium Ansara, dan berakhir membawanya ke kasur untuk melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan.

Sinting, ini pasti karena terlalu lama tidak menyalurkan kebutuhan.

Makian Bumi menguar di dalam hati, berujung memuaskan diri dengan bantuan tangan sendiri, sebab lebih tidak mungkin meminta pada Diandra yang tengah meminta jarak padanya, apalagi pada Ansara yang sudah pasti tidak mengerti hal-hal  berbau seksual seperti itu.

ANSARAWhere stories live. Discover now