23. Kerajinan Tangan

8.1K 392 11
                                    

Berbeda dengan Bumi yang memilih menghabiskan waktu dengan Diandra di hari libur, Ansara juga memiliki agenda sendiri guna mengusir rasa bosan di selama berada di rumah megah milik Bumi itu. Berkat bantuan Bi Mai, Ansara berhasil menemukan satu hobi baru yang sudah lama ingin dilakukan.

Kerajinan tanah liat.

Berbekal peralatan yang Bi Mai bantu carikan, dan menyontek tutorial youtube, Ansara mulai disibukkan dengan kegiatan didepan mesin pembuat gerabahnya. Mulanya, Ansara ingin membuat piring makan, atau gelas, pokoknya sesuatu yang bisa digunakan sehari-hari. 

Tapi, niatnya tiba-tiba berubah saat menemukan bentuk apa yang diinginkan. Gadis itu bahkan tersenyum sendiri, membayangkan hasilnya nanti akan membuatnya setidaknya memiliki bayangan akan apa yang benar-benar Ansara inginkan.

Kening Ansara sampai berkerut saking seriusnya sang gadis, bukan perkara mudah memang membuat kerajinan tanpa bantuan dari ahlinya, tapi toh Ansara mendapatkan kesenangan dari proses belajar itu. Menghabiskan waktu tanpa terasa, Ansara mulai lihai menggunakan alat yang tadinya belum ia kuasai. Bentuk dua manusia yang tengah menari, yang tadinya tidak terlalu jelas, sekarang terlihat mulai berbentuk  sempurna.

Meski menghabiskan cukup banyak tanah liat, Ansara yang tekunnya bukan main itu, pada akhirnya berhasil membuat figur kecil dua manusia, yang merepresentasikan dirinya dan Bumi yang tengah menari. Entah inspirasinya dari mana, Ansara sendiri juga tidak tahu. Yang jelas, sang gadis hanya membiarkan otak dan hatinya berjalan beriringan, membantunya mentranslasi apa yang ada di kepala, menjadi sebuah karya seni yang mungkin belum sempurna, tapi cukup mudah dikenali.

"Gak seganteng kamu sih, Mas. Tapi, lumayan lah ya?". Ucap Ansara tanpa sadar, tertawa sendiri saat mengomentari bentuk mungil Bumi yang kini ia coba ukir. Jelas tidak akan mungkin menyerupai Bumi yang begitu indah jika dipandang mata, tapi setidaknya, sedikit memberi gambaran.

Ansara lantas memandangi sepasang figur buatannya, tersenyum sendiri lantaran lega karena bisa menghabiskan waktu dengan hal yang menyenangkan dan berakhir tidak merasa terlalu kesepian walau Bumi meninggalkannya bahkan di akhir pekan begini.

Sang gadis menghela nafas, bermonolog dengan figur mungil yang masih setengah jadi itu. "Kamu sibuk banget ya, Mas? An salah gak sih kalo terkadang ngerasa kesepian begini?".

Tanpa disadari, ucapan sedih itu nyatanya tanpa sengaja didengar oleh Bi Mai, yang mulanya berniat mengantarkan teh hangat dan makanan ke ruang tempat Ansara berada, sebab khawatir mengingat sang gadis tak keluar dari ruangan sejak siang tadi hingga menjelang malam begini.

Bi Mai lantas menghentikan langkah, bertahan di ambang pintu dengan nampan di tangannya, terenyuh sendiri mendengar ucapan Ansara yang begitu menyedihkan. Bukan apa-apa, walau belum terbilang lama, tinggal serumah dengan Ansara, membuat Bi Mai makin hari semakin menyayangi sang gadis yang sudah dianggap bak anak sendiri.

Ansara yang begitu polos, begitu menatap sekitarnya dengan positif, membuat Bi Mai kadang ingin sekali membantu meringankan sakit yang sang gadis alami, walau tak pernah terucap. Sebab nampaknya, sampai detik ini, Ansara masih saja berpikir bahwa Bumi  memiliki pola pikir yang sama dengannya. Yang begitu sederhana. Yang menerima tanpa ada maksud lain.

———

Kecupan Bumi terus turun hingga ke tulang selangka Diandra, memberi beberapa bekas yang samar agar tidak menyulitkan sang gadis dikemudian hari. Naluri Bumi yang mulai mengudara, lantas harus tergantung begitu saja saat Diandra mendorong tubuhnya pelan, kemudian dilanjutkan dengan menggeleng.

Posisi mereka yang masih berada di parkiran mobil apartment Diandra, membuat Bumi kesulitan membaca eskpresi sang gadis. Lantas, lelaki itu bertanya. "Kenapa, sayang?".

"Aku capek, mau istirahat". Balas Diandra, menghindari tatapan Bumi untuknya dan berniat untuk turun.

Jelas saja, Bumi mencegat, meraih lengan sang gadis. "Di, tunggu". Lelaki itu tahu, ada yang salah dengan sikap Diandra seusai mereka berbincang tadi. "Kamu kenapa? Masih mikirin yang tadi?".

"Kamu pulang aja. Maaf, aku beneran capek, mau sendiri". Sahut Diandra lemah, lantas menarik kembali tangannya yang dicekal untuk langsung turun dari mobil.

Bumi menyaksikan bagaimana Diandra berjalan pelan kedalam gedung apartemen tanpa menoleh kearahnya lagi setelahnya. Sebenarnya, Bumi sudah merasakan ada yang berbeda dengan Diandra saat menciumnya tadi. Ciuman mereka yang biasanya bersifat mutual, tadi bahkan tidak berbalas. Hanya Bumi yang menggerakan bibirnya, sedang tidak dengan Diandra. Hal itulah yang membuat Bumi mengalihkan ciumannya ke leher dan tulang selangka sang gadis, sebab tahu bahwa itu titik sensitifnya.

Dan ternyata, dugaannya benar. Jelas ada yang salah dengan sikap Diandra tadi. Dan Bumi pun tahu apa penyebabnya, namun tidak bisa berbuat banyak selain memberi Diandra space seperti yang sang gadis inginkan.

Entahlah, rasanya, sebenarnya Bumi pun juga membutuhkan hal yang sama saat ini. Jarak.

Pada akhirnya, Bumi memilih menyetir mobilnya kembali ke rumah. Padahal, tadinya ia sudah berpikir akan menginap di kediaman Diandra malam ini. Tapi ujungnya, rumah adalah tempatnya kembali.

Bumi melongok kedalam, menemukan aroma manis yang langsung tercium dari dalam rumah. Bumi lantas melangkah masuk, mengikuti jejak aroma manis yang begitu menggelitik indera penciuman itu hingga akhirnya netranya menemukan sosok Ansara disana, tengah mengenakan celemek merah mudanya seperti hari biasa, tengah menunduk dan mengecek isi oven yang rupanya pusat dari aroma manis tersebut.

Sadar ada yang menatapinya, Ansara menoleh, matanya membulat saat menemukan Bumi yang tengah berdiri di ambang ruang dapur. Saking terburu-burunya Ansara menegapkan tubuh, kepalanya sampai terantuk ujung oven, membuatnya mengaduh. "Aduh! Mas? Kamu akhirnya pulang juga".

Sudut bibir Bumi naik secara otomatis saat menemukan Ansara yang tengah mengusal kepalanya, nampak kesakitan. "Kamu lagi ngapain sih? Sampai serumah wangi begini?".

"Oh!". Ansara berjengkit, kemudian meraih piring dan menaruh beberapa buah benda disitu yang masih mengebul. "Ini loh, aku tadi bikin croissant isi cokelat".

Bumi menaikkan sebelah alisnya. Sejak kapan Ansara belajar memasak pastry?

"Kamu mau coba gak, Mas? Ini baru banget mateng, masih hangat". Ucap Ansara dengan binar di matanya, gadis itu bahkan sekarang berjalan mendekat kearah Bumi dengan piring di tangannya.

Bumi sempat ingin menolak, namun setelah melihat tatapan Ansara yang begitu bersemangat, lelaki itu jadi tidak bisa menolak. Sebab, entah mengapa, barusan, Bumi seperti melihat anak kecil yang tengah membujuknya melakukan sesuatu.

"Satu aja". Ucap Bumi setelahnya, lantas mengambil sebuah dari piring dan langsung mencicipinya.

Ansara menanti dengan cemas, takut kalau rasanya tidak sebaik penampilannya. "Enak gak, Mas? Pahit gak cokelatnya? Bawahnya gosong gak?".

Bumi tidak menjawab, malah langsung melahap sisa gigitannya sekaligus. Tatapan Ansara makin cemas sebab tak mendengar respons apapun dari sang lelaki. Setelahnya, Bumi melirik sekilas pada figur yang jauh lebih mungil darinya itu, sebelum mengambil sebuah croissant lagi dari piring yang Ansara pegang.

"Satu lagi deh. Enak kok ini. Gak perlu sampai mengkerut gitu, jidatmu". Ucap Bumi sebelum menyantap croissantnya dan berjalan meninggalkan Ansara yang kini terbengong.

Otak Ansara baru sanggup memproses beberapa lama setelahnya, gadis itu tersenyum sendiri dan berucap lantang. "Enak ya, Mas? Mas Bumi suka? Kalo gitu, nanti An bikinin yang banyak ya, Mas!".

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang