36. Dua Gelas Anggur

8.5K 354 30
                                    

Perjalanan pulang Bumi dan Ansara, dipenuhi dengan celotehan. Bumi mendengarkan bagaimana Ansara bercerita tentang masa kecilnya dulu, dengan sepasang mata berbinar yang mungkin sengaja tuhan ciptakan untuk membuat siapapun yang memandangnya jatuh cinta.

"Waktu kecil, An pengen banget punya adik. An ngerengek ke Bapak dan Ibu hampir tiap hari, minta adik, tanpa tahu kalau ternyata anak itu lahir ke dunia gak semudah itu. Bukan kayak barang yang An bisa beli". Celoteh Ansara, disertai kekehan karena lucu mengingat masa kecilnya.

Mata indah itu lantas menatap kearah Bumi, menunjukkan binar yang membuat sang lelaki seakan tengah menatap bintang di malam hari. "Bapak sama Ibu sabar banget, setiap hari jawabin An, minta An buat bersabar. Pasti susah deh ngurus aku waktu kecil, banyak maunya soalnya".

Bumi tersenyum, tak kuasa membawa sebelah tangannya untuk menangkup pipi Ansara. "Kalo anaknya secantik dan semanis kamu, pasti gak akan kerasa susah ngurusnya".

Ansara menghentikan tawanya, tersipu sendiri setelah mendapatkan sentuhan Bumi di wajahnya. "Kalo Mas Bumi gimana? Kamu kecilnya pendiam juga kayak sekarang?".

Bumi menarik kembali tangannya dan mengembalikan ke kemudi. Lelaki itu menggeleng. "Saya gak gitu ingat. Tapi, Gepa selalu bilang, diantara kakak-kakak saya, saya yang dari kecil paling diam dan penurut".

Ansara tertegun, membawa senyumnya ke wajah. "Mas pasti dari kecil udah ganteng begini juga ya?". Gadis itu lantas menghela nafasnya, melamun jauh ke jalanan didepan. Tanpa sadar mengucapkan kalimat yang membuatnya menutup mulut sendiri setelahnya. "Mudah-mudahan, anak kita nanti, mirip kamu ya, Mas...".

Bumi sontak menoleh, mendapati ekspresi Ansara yang sama terkejutnya. Tidak mengira akan membicarakan soal anak dengan kondisi Ansara yang mengetahui persis bahwa Bumi sebelumnya tidak menginginkan pernikahan ini. Gadis itu, buru-buru meralat. "M—Maaf, kok jadi ngomongin itu. Lupain aja ya, Mas? An gak maksud bicarain soal anak".

Bumi tidak bisa merespon, sebaliknya, lelaki itu terdiam. Jika sebelumnya, Bumi merasa mustahil memikirkan masa depan, termasuk kehadiran anak diantara dirinya dan Ansara.

Kali ini, Bumi seakan bisa membayangkannya.

"Mas.. Maaf, jangan dipikirin, ya? An nggak maksud bicarain itu. Tadi cuma refleks aja. Jangan jadi kepikiran ya, Mas. An ngerti kamu belum kepikiran sampai kesana". Suara lembut Ansara, membuat Bumi menoleh.

Gadis itu juga meraih tangan Bumi, menggenggamnya erat dan mengecup punggung tangannya sebagai bentuk permintaan maaf. Membuat Bumi tersentuh, sebab merasa begitu dicintai oleh gadis disampingnya. "Demi tuhan, Mas.. Yang terpenting sekarang buat An, cuma membuat kamu gak lagi menyesali pernikahan sama aku. Cuma itu. Untuk yang lain-lain, itu urusan nanti. An gak akan mendesak kamu, karena An punya waktu seumur hidup menunggu kamu untuk bisa mencintai aku, seperti aku mencintai kamu, Mas Bumi".

Bumi menelan salivanya, merasakan perih di relung hatinya saat mendengarkan ungkapan gadis mungil disampingnya yang kini tak henti menggenggam tangannya. "Saya gak marah, An. Gak perlu minta maaf..".

"Beneran?". Sahut Ansara, menatap Bumi dengan mata indahnya, seakan tak percaya. Dan setelah mendapati Bumi mengangguk, barulah Ansara kembali tersenyum. "Ah, lega rasanya. Tadi An takut, soalnya kamu jadi diem. Maafin istrimu ini ya, Mas, soalnya suka keceplosan".

Bagaimana Bumi tidak berakhir mencubit pipi kemerahan itu?

Bagaimana ada lelaki yang tidak gemas saat menghadapi perempuan seperti Ansara yang begitu manisnya?

Dan pertanyaan terakhir adalah, bagaimana Bumi bisa menghindari perasaannya yang makin meluas untuk seorang bernama Ansara itu?

ANSARAWhere stories live. Discover now