58. Cincin Pernikahan

12.4K 445 39
                                    

Ansara merasakan hangat di lengannya saat matanya terbuka perlahan, seakan ada sentuhan kulit lainnya yang menempel di kulitnya. Sakit di satu sisi kepalanya mulai memudar, perlahan tersisa denyutan ringan yang tak terlalu mengganggu. Matanya berupaya menangkap keadaan sekitar, lantas menemukan seseorang yang tengah tertidur dengan kepala menelungkup di sisi kasur yang Ansara tiduri. Jemarinya digenggam erat, menyisakan hangat yang menjalar hingga ke sisi lengannya yang nampaknya merupakan tempat pipi orang tersebut bersandar.

Pergerakan Ansara tak ayal membuat seseorang yang tadinya tertidur itu jadi terbangun. Lelaki yang Ansara langsung kenali itu, membenahi posisi duduknya. Mereka saling memandang selama beberapa detik, seakan hilang dan kebingungan untuk bertindak. Hingga saat Ansara terbatuk dibalik alat bantu nafasnya.

Lelaki itu, Bumi, lantas bangkit karena khawatir. Hingga dipastikannya Ansara sudah kembali tenang, barulah Bumi kembali duduk di kursinya, tepat di sebelah Ansara. "An...".

Ansara nampaknya masih kesulitan bergerak. Gadis itu hanya terus berkedip repetitif, seakan merespon. Nafasnya yang teratur, jadi terlihat sulit saat ia mencoba berbicara. "Bumi".

Bumi mengetatkan rahangnya, menunggu ucapan lainnya yang terlihat begitu dipaksakan keluar dari mulut Ansara lantaran kondisinya yang masih lemas. Buru-buru, Bumi mencegah Ansara memforsir tubuhnya. "An, kalau masih lemas, istirahat lagi aja. Jangan dipaksakan. Dokter bilang memang kamu masih belum bisa banyak aktivitas".

"Aku.. Gak apa-apa". Ucapnya lemah, nyaris tak terdengar. Sang puan lantas menatap Bumi lekat. "Ma—af, berkasnya.. Kebakar".

"Berkas?". Tanya Bumi bingung, tak begitu mengerti maksud Ansara.

Ansara mencoba menjelaskan dengan susah payah. "Iya—Berkas. Dok..umen per..ceraian ki..ta".

"Kita ngobrolin itu lain kali aja. Kamu masih belum pulih". Ucap Bumi lembut.

Namun, Ansara menggeleng kuat. "Ber—Berkasnya".

Ucapan Ansara yang terbata itu, membuat netra Bumi membulat. Lelaki itu langsung menggeleng kuat. "Biar aja kebakar. Toh, kita udah gak perlu berkas itu, An".

Ansara mengerutkan kening. "Mak..sud..nya?".

"An". Panggil Bumi, menatap Ansara lekat, tangannya mengepal demi menahan agar tidak meraih jemari Ansara. "Cabut gugatanmu, sayang. Anak kita butuh orangtuanya lengkap".

Tenggorokan Ansara seakan tercekat saat mendengar ucapan Bumi. Gadis itu menelan salivanya susah payah. "Kamu.. Tahu dari mana?".

"Ansara Saskiaputri, meski kamu bersikeras seperti apa pun, sampai detik ini, saya masih suami kamu. Kamu kecelakaan begini pun, yang ditelfon duluan itu saya. Emergency call di hpmu juga masih nomor saya. Jadi, gimana kamu berpikir bisa menyembunyikan kehamilanmu dari saya, dimana saya adalah orang yang paling berhak tahu dan bertanggung jawab?". Jelas Bumi, lembut sekali, menegaskan segala haknya.

Ansara terdiam, gadis itu langsung memejam dan membuang nafas berat. Gadis itu kembali menggeleng. "Biar.. Aku yang.. Jaga".

"Maksud kamu gimana?". Sahut Bumi cepat, lelaki itu langsung mengatur duduk, juga mengerutkan kening karena tak mengerti. "Maksudnya kamu masih mau tetap cerai dan gak biarin saya urus dia? An, saya ini orangtuanya juga. Saya punya hak yang sama penuhnya dengan kamu untuk asuh dia".

"Kamu akan sakiti dia, Bumi". Sanggah Ansara sekuat tenaga, tidak lagi terbata sebab ia memaksakan diri berucap jelas, guna menggeretak. Dan nampaknya, gertakan Ansara berhasil memberi efek pada Bumi. Sebab, lelaki itu langsung terdiam seketika. Ansara tidak lagi membuang waktu, gadis itu kembali berucap. "Cukup.. Aku. Jangan.. Dia".

Meski terbata, Bumi langsung mengerti maksud Ansara berucap demikian. Ia mengerti bahwa sikapnya selama ini pada Ansara memang keterlaluan. Bumi memang seenaknya menyakiti, sama sekali tidak menganggap, hingga bahkan mendua. Lantas, bagaimana caranya memperbaiki citra buruk itu? Bagaimana caranya memberi tahu Ansara mengenai ketulusannya untuk Ansara sekarang?

"An.. Saya ngerti kamu gak percaya sama saya. Tapi, tolong, kasih kesempatan untuk saya perbaiki. Kasih kesempatan saya untuk jadi orangtua bersama kamu. Orangtua untuk anak kita, darah daging kita, An". Balas Bumi dengan nada memohon.

Lelaki itu beranjak bangkit, kemudian menatap lurus pada Ansara. "Kamu mau saya berlutut sama kamu untuk buktiin keseriusan saya? Kalo iya, saya bisa berlutut sekarang, disini".

Ansara hanya menanggapinya dengan tatapan kosong, gadis itu sama sekali tidak menjawab. Entah karena memang tak percaya atau kesulitan berbicara. Mendapati diamnya Ansara, tanpa pikir panjang, Bumi berlutut di samping bangsal rumah sakit sang gadis. Lelaki itu tertunduk bak memohon ampunan. "Saya mohon, Ansara. Kasih saya kesempatan untuk perbaiki pernikahan kita. Izinin saya bahagiain kamu dan anak kita".

Diluar dugaan, bukannya tersentuh, Ansara malah terkekeh, meski susah payah sebab terhalang alat bantu nafas. Gadis itu hanya melirik sekilas pada Bumi yang kini terlihat kebingungan di tempatnya, masih juga berlutut di lantai dingin rumah sakit itu. Ansara memainkan nada bicaranya bak tengah menyindir, bicaranya pun sudah terdengar makin lancar, tidak terbata lagi, meski terdengar dipaksakan. "Pasti kamu begini juga waktu pacarmu ancam mau tinggalin kamu, kan? Berlutut mohon-mohon, gini? Apa memang hobimu begini ya, Bumi? Berlagak seolah-olah kamu pihak yang paling tersiksa dan aku pihak yang salah".

Entah siapa sosok yang tengah berbicara dengannya sekarang, Bumi seakan tak lagi mengenali. Bagaimana caranya Ansaranya yang manis dan begitu lembut berubah menjadi seorang yang gemar memojokannya begini?

Meski harus diakui, omongannya tak sepenuhnya salah, nampaknya ini bukan kali pertama Bumi memohon sesuatu hingga berlutut pada seseorang.

Baik, jika kamu mau bermain cerdik begini, saya juga bisa. Kamu jelas salah pilih lawan, Ansara.

"Kalo memang saya seburuk itu di matamu, dan kalo memang kamu seingin itu pisah dari saya. Saya tanya ke kamu sekarang, kenapa kamu pakai cincin pernikahan kita di hari dimana seharusnya kamu menerima tandatangan saya di berkas perceraian kita?". Tanya Bumi, langsung pada intinya. Lelaki itu seakan ikut bermain pada ritme yang Ansara mainkan lebih dulu. "Saya ingat dengan jelas, dua kali kita ketemu setelah pertengkaran malam itu, kamu gak lagi pakai cincin pernikahan kita. Lantas kenapa malam ini cincin itu ada di jarimu, Ansara?".

Gantian, kini Ansara yang terdiam. Jelas, Bumi langsung menyasar pada satu hal yang mampu membuat Ansara kalah telak. Lelaki itu memang bukan orang sembarangan. Bumi jelas mengetahui persis bagaimana caranya membalikkan keadaan di situasi yang tidak memungkinkan.

"Kenapa diam? Susah pertanyaan saya?". Sambung Bumi, kini menekankan nada bicaranya.

Ansara masih juga terdiam. Gadis itu sontak menutupi cincin di jari manisnya, berharap ia memiliki jawaban yang paling masuk akal selain alasan jujur yang tidak seharusnya ia bagikan pada Bumi.

Merasa tak ada lagi sanggahan dari Ansara, Bumi lantas bangkit. Lelaki itu kini berdiri dekat dengan bangsal Ansara dan menatapnya tajam. "Saya tahu keinginanmu dan saya sama Ansara. Gimana pun mulutmu berusaha meyakinkan, hatimu gak bisa bohong. Kamu juga gak menginginkan perceraian".

Butuh waktu lama bagi keduanya terdiam, sama-sama tenggelam dalam rasa yang familier, yaitu kalut. Hingga pada akhirnya, bibir Ansara bisa kembali berucap, mengucapkan kata yang sama persis dengan isi hatinya.

"Alasanku pakai cincin ini hari ini, itu cuma satu. Aku ingin mengenang bagaimana rasanya ada di pernikahan, sebelum akhirnya aku akan kehilangan itu".

ANSARAWhere stories live. Discover now