16. Ramah

7.8K 318 11
                                    


Dampak yang ditimbulkan dari absennya Bi Mai rupanya lumayan banyak. Salah satunya ialah Ansara yang harus melakukan agenda belanja sendiri, tanpa bantuan sang Bibi. Gadis itu memilih untuk mengorder kendaraan online untuk pergi ke salah satu supermarket yang letaknya tak jauh dari rumah. Padahal, Ansara lebih suka berbelanja ke pasar. Hanya saja, Bumi lebih menyukai produk-produk yang organik dan sulit ditemui di pasar tradisional. Jadilah, ia memilih supermarket sebagai sarana memilih bahan masakan.

Selama perjalanan, gadis itu melirik ke samping, kearah luar jendela. Jalanan ibu kota yang cukup ramai, membuatnya berandai. Jika saja, Ansara terlahir dan tumbuh di kota ini, apakah mungkin ia akan bertemu juga dengan Bumi?

Jika saja, perjodohan itu tidak pernah ada, apakah mungkin Ansara bisa bertemu seorang Bumi yang notabennya memiliki hidup berbeda dengannya?

Entahlah.

Tidak ada yang tahu jawaban yang pasti. Yang jelas, sekarang, mereka saling memiliki. Meski Ansara tahu betul bahwa Bumi belum memiliki perasaan apapun terhadapnya. Tidak apa, biar itu menjadi tugas Ansara. Membuat lelaki itu mencintainya dan mau bertahan di pernikahan mereka meski dengan awal yang salah. Ansara akan berupaya sekuat tenaga.

Suasana supermarket yang cukup ramai, membuat Ansara jadi berhati-hati berjalan, menjaga langkahnya dari satu lorong ke lorong lain. Tempat ini terbilang asing, tidak ada satupun wajah yang ia kenali. Ansara mulai larut dalam agenda belajanya setelah asik memilah milih ini dan itu. Gadis itu sempat memekik saat mengecek label harga. "Ih, mahal banget? Padahal biasa beli di pasar gak segini harganya".

Sang gadis menghela nafas berulang kali. "Memang gak apa-apa ya, An belanja semahal ini?". Berkomtemplasi sendiri dengan barang-barang didepan matanya. Kekhawatiran Ansara sebenarnya sama sekali tidak perlu, lantaran penghasilan Bumi terbilang jauh lebih dari kata cukup guna kebutuhan sehari-hari mereka. Tapi, tetap saja, Ansara merasa tidak perlu membuang-buang uang jika tidak benar-benar diperlukan.

Tiba di section daging, netra Ansara melebar seketika. "Segar-segar banget ini ikannya". Komentarnya saat melihat section ikan, lantas memilih beberapa untuk dibawa pulang.

"Mas, ini mana yang paling segar ya ikan kakapnya?". Ucap satu suara disebelah Ansara, membuat sang gadis menoleh.

Ansara menangkap presensi seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, dengan setelan rapi tengah memilah milih ikan di hadapannya, nampak tak begitu mengerti. Saking ramainya supermarket hari itu, nampaknya, penjaga stall ikan pun tak mendengar pertanyaan sang lelaki, membuatnya mengulang pertanyaan. "Mas? Halo? Ikannya yang mana yang paling segar?".

"Dilihat dari matanya aja, Mas. Yang masih putih, itu yang paling segar". Ansara tak kuasa untuk tak menanggapi, niatnya hanya ingin membantu, namun salah tingkah sendiri saat sang lelaki berbalik menatapnya. "Eh, maaf.. Saya gak maksud ngajarin".

Setelahnya, Ansara kembali mengemasi pilihannya,
berniat buru-buru pergi dari sana. Namun, sang lelaki kembali memanggilnya. "Kalo yang ini seger gak, Mba? Sori, saya soalnya beneran pertama belanja barang mentah begini".

Ansara lantas menoleh, kemudian membawa senyum ke wajahnya. Gadis itu menatapi ikan yang dimaksud. "Itu bagus, cuma sebelahnya kayaknya lebih segar, Mas. Kalo saran saya.. Yang paling ujung atas, itu kayaknya yang paling baru".

"Ini ya?". Tunjuk sang lelaki sembari mengambil sebuah dengan capitan.

Ansara mengangguk. "Iya, yang itu".

Lelaki disebelahnya tersenyum. "Ah, makasih banyak, Mba".

"Sama-sama, Mas. Kalo gitu, saya duluan ya?". Ucap Ansara sebelum mendorong kereta belanjanya.

Belum genap lima langkah, lelaki itu sudah memanggil lagi. "Mba! Maaf.. Sebentar".

Lantas, Ansara kembali menoleh. "Iya?".

Sang lelaki menunjuk sebuah benda di depannya. "Kalo pilih udang, bagusnya yang gimana ya, Mba?".

———

"Kamu ini ngomong apa sih, Di? Kenapa bahas pisah segala? Saya semalam itu cuma kecapekan, gak sengaja jadi ketiduran di rumah. Kenapa sampai mikir saya mau buka hati untuk dia segala?". Ucap Bumi, panik sendiri.

Diandra menghela nafasnya. "Kamu bahkan gak kasih kabar ke aku, Bumi. Aku ini cuma bersikap prefentif. Dari awal aku udah gak menyutujui waktu kamu menawarkan opsi untuk kita tetap pacaran, tapi kamu yang selalu bersikeras bilang kalau gak akan ada yang berubah diantara kita, kalau pernikahan kamu itu cuma sekedar formalitas. Wajar rasanya sekarang aku punya rasa takut saat kamu mulai berubah. Aku gak mau terlambat ambil keputusan, Bumi".

Bumi menunduk, lelaki itu menggeleng kuat. "Jangan pernah ngomong pisah di depan saya lagi, Di. Maaf kalo saya kemarin gak kabarin kamu. Saya akui salah. Tapi, saya bersumpah, gak ada niat saya mengingkari janji yang udah kita buat. Saya hanya mencintai kamu, Diandra. Dan saya gak akan buka hati saya untuk Ansara, atau siapapun wanita lainnya di muka bumi ini".

"Jangan mudah bicara, Bumi. Buktinya, kamu belum genap tiga bulan hidup sama Ansara, tapi dia udah bisa mengalahkan rasa ingin kamu kembali ke aku semalam". Ucap Diandra sendu, gadis itu menahan tangisnya. "Aku sampai gak tahu lagi siapa yang salah disini. Entah aku atau Ansara yang masuk ke kehidupan yang salah. Yang pasti, aku takut, Bumi. Aku takut keputusan kita tetap bersama itu salah".

Bumi lantas menatap Diandra. "Enggak, Di. Saya akan terus buktiin ke kamu kalo keputusan kita bersama adalah yang terbaik. Jangan pernah ngomong begitu lagi. Kamu masih cinta sama saya kan?".

Diandra menutup matanya, membuat dua bulir airmata jatuh deras di pipinya. "Gak perlu kamu tanya lagi, Bumi. Aku bertahan di hubungan ini cuma demi kamu".

"Then do not doubt us. Saya mohon bersabar sedikit lagi, sampai saya benar-benar bisa menceraikan Ansara dan menikahi kamu. Saya minta maaf kalo memang kesannya saya brengsek. Tapi saya bersumpah, gak ada niat sedikitpun saya untuk khianati kamu. Ansara bukan apa-apa buat saya, sayang".

Setelahnya, Bumi bergerak mendekat kearah Diandra, menghapus jejak airmata di pipinya. "I wish I could fix everything for us, but right now, I just.. can't do anything. Sabar ya, sayang. Saya mohon.. Bersabar untuk saya, untuk kita".

Disana, airmata Diandra tumpah sebanyak-banyaknya, menangisi kenyataan bahwaa kemungkinannya kini ia akan menjadi nomor dua. Bukan ingin Diandra menjadi seorang simpanan, sebab memang awalnya, ialah satu-satunya untuk Bumi. Toh, lelaki itu juga tak pernah berniat menjadikannya selingkuhan.

Tapi memang takdir gemar sekali bermain-main dengan manusianya. Entah untuk sekedar menguji, atau memang memisahkan. Bagaimana pun, Diandra tidak bisa membohongi hatinya. Harusnya, sejak awal adanya perjodohan Ansara dan Bumi, saat itu juga, Diandra memilih mundur. Hingga tidak perlu merasakan sakit seperti ini. Tapi nyatanya, the heart wants what it wants.

Diandra mencintai Bumi sedalam itu, tidak sanggup merelakannya jatuh ke pelukan gadis yang lain bahkan hingga saat ini. Saat dimana sudah ada gadis yang resmi memiliki Bumi di mata tuhan.

ANSARAWhere stories live. Discover now