12. Kangen

10.7K 389 4
                                    

Ansara mengedarkan pandang ke ruangan kerja milik Bumi, takjub sendiri karena ruangan itu begitu megah, dengan design modern yang terbilang nyaman bahkan untuk ditinggali. Sedang Bumi memilih untuk duduk di meja kerjanya, menatap kearah Ansara dengan tangan menyilang di dada.

"Bicara". Perintah Bumi setelah memastikan pintu ruangannya tertutup.

Ansara mempelajari raut marah di wajah Bumi, seketika gugup karena terbilang sudah beberapa hari terpisah. "Aku sebenernya kesini.. Mau ketemu kamu. Kamu kemana aja lima hari ini mas? Kamu tidur disini?".

"Bukan urusanmu saya tidur dimana, An". Balas Bumi ketus, tidak menjawab pertanyaan Ansara sedikit pun. Lelaki itu malah balik bertanya. "Gimana caranya kamu bisa ke lantai ini? Saya gak izinin sembarang orang kesini".

Ansara menggaruk belakang lehernya. "Mm—Gimana bilangnya ya? Itu, Mas.. Kayaknya, petugas dibawah salah ngira deh. Ngiranya aku Bu Elle? Terus aku langsung disuruh kesini. Aku gak sempat jelasin, soalnya yang antar aku kayak keburu-buru gitu".

Bumi menghela nafasnya panjang. "I'll make sure that person is fired by tomorrow. Sudah, terus mau apa lagi kamu disini? Bisa pulang sendiri kan?".

"Aku gak mau pulang, Mas.. Justru, aku kesini untuk ketemu kamu. Aku tahu kamu marah karena hari itu, aku tahu kamu jadi disalahin sama keluargamu, terutama Gepa. Aku minta maaf, sama sekali aku gak berniat buruk, Mas Bumi. Gak ada sedikit pun keinginanku untuk bikin kamu marah". Ucap Ansara tulus, mengutarakan isi hatinya, bahkan meminta maaf untuk hal yang sebenarnya bukan salahnya.

Semua Ansara lakukan agar Bumi mau kembali pulang kerumah. Bersamanya.

Bumi menatap datar kearah Ansara, seakan tengah memutuskan kalimat apa yang akan ia ucapkan untuk menjawabnya. Lelaki itu lantas terkekeh. "Kamu ini sadar kan? Kita menikah bukan karena keinginan kita berdua, An. Saya menikah sama kamu bukan atas dasar keinginan saya. Kamu pun begitu. Kenapa kamu berlaku seakan saya ini suami kamu beneran sih? Apa untungnya?".

Ansara terlihat terkejut mendengar penuturan Bumi, tak terasa, gadis itu bahkan maju beberapa langkah. "Kamu memang suamiku, Mas. Kamu ngomong apa sih? Terlepas dari apa yang melandaskan pernikahan kita, buatku, kamu tetap suamiku. Kita menikah secara legal, disaksikan tuhan. Jadi, udah seharusnya aku peduli dan memperlakukanmu selayaknya seorang istri ke suaminya".

Bumi terdiam, masih menjaga gesturnya sama seperti sebelumnya. Perkataan Ansara tadi membuatnya bertanya-tanya sendiri.

Akting jenis apa yang sedang gadis di hadapannya ini pertontonkan? Jika memang hanya sebatas sandiwara, mengapa gadis itu seperti menahan tangis saat mengucapkannya?

"Mas Bumi..". Panggil Ansara lembut saat mendapati Bumi tak kunjung merespon ucapannya. Gadis itu melanjutkan bicaranya. "Aku datang kesini, murni untuk minta maaf ke kamu karena udah bikin makan malam yang seharusnya menyenangkan jadi berakhir runyam. Padahal, hari itu kamu udah persiapkan dengan baik, tapi aku kacauin semuanya. Aku minta maaf, Mas. Aku janji, mulai sekarang, aku akan buktiin ke kamu, kalau niatku tulus, gak sama sekali ingin membuat kamu celaka. Aku akan tulus menyayangi kamu, Mas, mencintai kamu. Aku tahu kamu belum yakin sekarang, gak apa-apa. Aku ngerti. Bukan salahmu, awal kisah kita yang salah. Aku akan coba perbaiki, Mas. Kita pulang, ya? Aku... Kangen".

Deg.

Barusan, jantung Bumi seakan ditombak secara tiba-tiba. Aneh. Padahal seharusnya, dia muak mendengar omongan penuh bualan dari gadis di hadapannya. Seharusnya, Bumi bisa terkekeh mendengar ucapan naif tadi. Tapi, lelaki itu malah terdiam, sebab apa yang Ansara ucapkan barusan, terdengar jauh lebih murni dari batu berlian mana pun yang ada di Bumi.

Ansara mengerutkan keningnya, jelas sekali benar-benar menahan airmatanya agar tidak jatuh, wajahnya pun sudah memerah. "Gak ada kamu dirumah selama beberapa hari ini.. Bikin aku khawatir, Mas. Aku gak tenang. Ponselmu juga mati, aku sama sekali gak tahu kabarmu. Aku cemas. Takut kamu kenapa-kenapa tapi aku gak tahu. Aku mohon, Mas.. Pulang ya?".

Bumi menghindari tatapan Ansara, sebab sesuatu didalam dirinya seakan terasa aneh. Sesuatu di dalam batinnya bak tergerak mendengar penuturan Ansara, yang sampai sekarang masih menanti jawabannya dengan raut cemas, menatapnya penuh harap dengan mata cantiknya. "Saya masih banyak kerjaan. Kamu pulang duluan aja".

"Aku tungguin ya, Mas? Aku tunggu di lobby juga gak apa-apa. Nanti kita pulangnya sama-sama, seselesainya kamu. Biar aku tenang. Aku takut, kalau aku pulang duluan, kamu hilang lagi. Aku gak mau, Mas". Balas Ansara dengan tatapan memohon.

Bumi berdecak, namun masih juga menghindari tatapan Ansara, seakan tidak tega melihatnya. "Ck. Saya bilang pulang duluan, An. Saya janji akan pulang".

Segera, setelah mendengar itu, binar di mata Ansara terlihat. Gadis itu tak mampu menahan senyumnya, airmata yang sejak tadi ditahan itu akhirnya jatuh, namun buru-buru ia hapus. "Beneran, Mas? Janji?".

"Saya gak mau ngulang bicara". Balas Bumi singkat, lantas memilih berdiri dan berjalan kearah pintu ruang kerjanya. "Sekarang kamu pulang, saya udah telat meeting sama Bu Elle".

"Oh, astaga". Ansara buru-buru mengikuti Bumi menuju ke pintu utama.

Lelaki itu membiarkan Ansara berjalan lebih dulu, sedang ia berhenti di ambang pintu, menghindari banyak mata memandang kearah keduanya. Bumi berhasil mengembalikan pandangannya pada Ansara saat gadis itu berbalik untuk menatapnya sebelum pulang lebih dulu.

"Makasih ya, Mas. Aku pulang duluan kalo gitu. Semangat meetingnya, An tunggu kamu dirumah". Ucap Ansara tersenyum, sebelum kembali berbalik, berlarian kecil menuju ke lift dan menekan tombolnya untuk turun.

Dari tempatnya, Bumi menatapi kepergian Ansara. Lelaki itu heran sendiri, perihal mengapa dengan mudahnya ia menyetujui permintaan Ansara yang padahal sampai sebelum mereka bertemu, masih menjadi pusat kepeningannya. Rasanya, semakin Bumi membenci dan menjauhi Ansara, semakin gigih juga tekad gadis itu merengkuhnya, memberinya segenap perhatian seperti halnya seorang istri kepada suami.

Berbeda dengannya, Bumi merasakan betul bagaimana Ansara seakan menerima perjodohan mereka, memperlakukan pernikahan mereka seperi pernikahan normal lainnya yang penuh kesakralan. Bahkan, dengan mudahnya, Ansara mengucap janji untuk mencintainya. Seakan gadis itu menutup rapat hatinya untuk siapapun selain Bumi setelah mereka menikah.

Bumi menekan pelipisnya sendiri, merasakan cenutan di kepalanya kian memekik.

———

Ansara senang sekali, gadis itu sampai berjalan riang saat memasuki rumah megah yang sudah berapa lama ini ia tempati. Ansara berlarian kecil, lantas memeluk figur Bi Mai yang tengah sibuk di dapur, membuat wanita paruh baya itu terkejut. "Astaga!".

"Bi Mai! Berhasil, Bi! Mas Bumi janji mau pulang!". Ucap Ansara senang.

Bi Mai kebingungan sendiri, memutuskan untuk menepuk-nepuk punggung Ansara. "Non? Ketemu sama Den Buminya tadi?".

Ansara melerai pelukan itu. "Ketemu, Bi! An langsung minta maaf, terus jelasin semuanya. An sampai nahan nangis, saking takutnya Mas Bumi gak percaya. Tapi ternyata, dia janji mau pulang malam ini, Bi. Kita masak makanan yang enak ya? Yang banyak!".

"Nanti Den Bumi nya mau makan gak, Non? Waktu itu Non masak tapi akhirnya makan sendiri..". Balas Bi Mai khawatir.

Ansara menggeleng. "Kita coba aja, Bi. Kalo Mas Bumi gak mau makan, ya gak apa-apa. An masih bisa coba besok, besoknya lagi, besoknya lagi, dan seterusnya".

Bi Mai menghela nafasnya, menatap kearah Ansara yang kini sudah sibuk memilah-milih bahan di kulkas, membuat hatinya seakan teriris saat menyaksikan betapa tulusnya seorang Ansara. Padahal, Bi Mai menyaksikan sendiri bagaimana perlakuan Bumi sehari-hari, membuat wanita paruh baya itu ikut berdoa diam-diam, agar suatu hari nanti, ketulusan Ansara bisa menembus kerasnya hati Bumi yang seakan tak menganggapnya.

ANSARAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن