41. Topeng

8.7K 365 29
                                    

Bumi menemukan kosong di sebelahnya saat ia terbangun. Lelaki itu mengerjap sejenak, sebelum buru-buru bangkit. "Ansara?".

Ia memanggil nama Ansara, mencari presensi puan yang semalam memeluknya hangat hingga ia tertidur.

Panik, Bumi lantas bangkit dari kasur, kemudian berlari cepat ke lantai bawah, mencari sosok Ansara sebab takut jika apa yang ia pikirkan terjadi. Namun, Bumi bernafas lega saat menemukan Ansara di area dapur, rupanya seperti biasa, gadis itu sudah bangun duluan dan tengah menyiapkan sarapan mereka.

Bumi memang bernafas lega saat menemukan Ansara disana, tapi sesuatu masih mengganjal di hatinya bak batu di sungai yang menghalangi derasnya arus. "An?".

Ansara tidak menoleh, masih sibuk mengaduk sesuatu di teflon dengan tenang. Gadis itu lantas menyahut. "Itu kopi dan buahmu, Mas, udah aku taruh di meja. Pakaianmu juga udah aku siapin di kamar mandi. Kamu mandi dulu aja, ya".

An gak marah, gak juga tanya apa pun, apa benar dia gak dengar apa-apa kemarin?

Bumi menatap curiga, belum sepenuhnya percaya bahwa Ansara tidak mendengar sama sekali perkara kemarin. Lelaki itu meraih kopi di meja dan meneguknya, mencoba berpikir bagaimana caranya memastikan akan pemikirannya itu. "Kemarin itu, kamu sejak kapan berdiri di depan ruang kerja saya, An?".

Ansara masih tak menatap kearah Bumi. Gadis itu masih sibuk memasak sesuatu disana. "Gak lama sebelum kamu keluar dari ruangan kok, kenapa, Mas?".

Bumi akhirnya bernafas lega. Itu artinya hipotesanya benar, Ansara memang tidak mengetahui apa-apa soal percakapannya dengan Diandra kemarin. Tapi, lelaki itu memastikan sekali lagi. "Coba, kamu ngomongnya sambil lihat saya".

Ansara lantas berbalik, menunjukkan senyumnya seperti hari-hari biasa. Gadis itu mencepol asal rambutnya, lantas menatap kearah Bumi. "Kenapa, Mas? Ada masalah?".

Barulah disitu, Bumi sepenuhnya bernafas lega. Sebab tidak ada yang aneh dari raut Ansara. Setelah memastikan hal tersebut, Bumi lantas berjalan mendekat, melirik sekilas ke dapur belakang untuk memastikan Bi Mai disana dan tak memperhatikan kearah mereka. Barulah, Bumi menunduk dan mengecup kening Ansara. "Gak ada. Cuma pengen lihat mukamu aja".

Ansara lantas kembali membalik tubuh, melanjutkan kegiatan masaknya. "Kamu nih, udah sana siap-siap. Nanti kesiangan, loh, Mas".

Bumi akhirnya mengalah. "Iya, ya, udah, saya naik dulu ya. Mau mandi. Makasih kopi dan buahnya, An. Makasih juga udah peluk saya semalam".

"Iya". Ansara kembali mengukir senyum di wajahnya saat Bumi mengecup pipinya sebelum pergi meninggalkannya.

Dan setelah Bumi melangkah menjauh, senyum Ansara lantas memudar.

Sejujurnya, gadis itu tak mampu memaksakan senyumnya untuk waktu yang lebih lama lagi. Untuk menatap Bumi saja, Ansara perlu mengerahkan segala kemampuannya agar tak menjatuhkan airmata di hadapan sang lelaki.

Apalagi untuk tersenyum, berat sekali rasanya.

"Non, ini mau dimasak sekalian udangnya?". Pertanyaan dari Bi Mai, berakhir terabaikan begitu saja, lantaran Ansara kini terbengong, membeku di tempatnya.

Bi Mai menyaksikan bagaimana sebulir airmata jatuh di masing-masing pipi Ansara, membuat wanita paruh baya itu panik. "Non Ansara?".

Ansara akhirnya menyadari kehadiran Bi Mai. Buru-buru, gadis itu menghapus airmatanya. "Aduh, mata An perih, Bi, uapnya panas banget dari kompor. Bisa tolong gantiin An buat oseng ini dulu sampai mateng, Bi?".

ANSARAWhere stories live. Discover now