44. Tidak Tega

9.3K 400 45
                                    

Bumi pulang dalam keadaan kalut. Sepanjang perjalanan tadi, lelaki itu membulatkan tekadnya. Berulang kali merapalkan mantera di kepala, menguatkan hati agar bisa mencetuskan niat menceraikan Ansara dengan yakin. Bumi mengendarai mobilnya cepat, ingin buru-buru menyampaikan niatnya untuk berbincara empat mata dengan Ansara sebelum Bumi menemui keluarganya dan siap mati dengan mengurarakan perihal perceraian.

Harapan Bumi, Ansara bisa diajak bekerjasama nanti, mencari alasan terbaik untuk berpisah tanpa memungkinkan mereka dihakimi oleh kedua belah pihak keluarga.

Satu sudut di hati Bumi sempat berucap tatkala pikiran logisnya berperang.

Apakah saya bisa sampai hati membicarakan perceraian pada Ansara, sedangkan yang selama ini dia bicarakan selalu tentang rasa cinta ke saya?

Bumi kehilangan fokus selama menyetir, berulang kali diklakson mobil belakangnya karena berkendara tak menentu. Beruntunglah, lelaki itu masih diberi keselamatan hingga ke rumah. Dan segera setelah melangkah turun dari mobil, Bumi menghirup nafasnya banyak, berupaya mengumpulkan kembali keyakinannya.

Sudahlah, intinya saya harus bilang malam ini juga. Saya gak mungkin kehilangan Diandra. Dan bukankah ini niat awal saya sejak pertama menikahi Ansara?

Lelaki itu lantas melangkah masuk kedalam rumah. Dan matanya langsung bertemu tatap dengan Ansara disana. Gadis itu sudah berdiri di balik pintu, menunggunya seperti hari-hari lain.

Ansara tersenyum samar, sedangkan matanya terlihat bengkak. "Kamu udah pulang, Mas".

"Kenapa belum tidur, An?".

Bukannya menjawab, Ansara malah berjalan mendekat kearah Bumi, kemudian berjinjit untuk meraih wajah Bumi, menangkupnya lembut. Disana, Ansara menjatuhkan kecupan di pipi kanan Bumi, begitu lembut, begitu lama.

"Aku kira kamu gak akan pulang". Balas Ansara, kini kembali mengulas senyum di wajahnya.

Dan belum Bumi sempat merespon, Ansara sudah menarik tangan Bumi untuk membawanya ke ruang makan. Mulanya, Bumi hendak menolak, namun Ansara sudah mendahuluinya berbicara. "Kita makan sebentar ya, Mas? Temenin An. An belum makan dari pagi, pengen makan sama kamu. Kalo kamu udah makan diluar, duduk aja sebentar, An gak lama kok makannya".

Ansara lantas membiarkan Bumi duduk di kursinya, sedangkan sang gadis mengambil piring kosong dan menyendok beberapa sendok lauk, dan tiga sendok makan nasi. Ia kemudian duduk dalam diam, mulai menyantap makanannya tanpa suara.

Melihat porsi makanan yang Ansara ambil, mulut Bumi terasa gatal untuk bertanya. "Dikit banget makannya, An? Katanya belum makan dari pagi?".

"Iya, asal keisi aja kok, Mas. An gak laper juga". Balas Ansara, kali ini menghindari tatapan Bumi untuknya.

Bumi mengunci mulutnya setelah mendengar jawaban Ansara untuk beberapa menit, sebelum lelaki itu kembali bersuara. "Kamu sakit, An? Kenapa pucat begitu mukamu? Matamu juga bengkak".

Ansara kini menatap Bumi, intens, sebelum menggeleng pelan. "Enggak, An gak apa-apa. Cuma kelamaan tidur siang tadi. Makanya matanya bengkak".

Selayaknya lelaki yang memang tak terlalu peka dalam hubungan, Bumi memilih mempercayai ucapan Ansara. Namun, diam-diam ia meraih centong nasi, menyendok sesendok lagi, dan menaruhnya di piring Ansara. Selanjutnya, Bumi juga menyendok lauk-lauk ke piring Ansara, membuat piring itu kembali terisi setelah nyaris kosong.

Ansara menyaksikan hal yang Bumi lakukan dengan kening mengkerut. "Kenapa ditambahin, Mas?".

"Makan sedikit lagi, kamu bisa tumbang kalo ngisi perut cuma tiga sendok, An". Balas Bumi.

Ansara menggigit bibirnya, memilih kembali menunduk agar tidak bertemu tatap dengan Bumi. "Aku kan bilang, aku gak laper, Mas. Ini udah kenyang".

Bumi meraih dagu Ansara dengan ibu jarinya, membawanya mengadah agar bertemu tatap dengan netra kecokelatan milik sang lelaki. "Kamu makan sedikit lagi, kalau gak kuat, suapin saya aja, saya bantu habisin".

Ansara menelan salivanya berat. Ia tidak lagi mendebat, menyendok makanannya perlahan kedalam mulut. Jelas menolak menyuapi Bumi, lantaran tahu ia tak akan sanggup melakukannya saat ini tanpa menjatuhkan airmata. "Aku habisin aja..".

Reflek, Bumi tersenyum. "Good".

Ansara kembali makan dalam diam, menyendok susah payah satu-persatu isi piringnya kedalam mulut dengan sekuat tenaga. Bukan apa-apa, perpaduan rasa sakit karena menahan tangis, ditambah dengan rasa mual karena sebenarnya Ansara benar-benar sedang hilang nafsu makan, terasa sungguh menyiksanya.

Dan dari sampingnya, Bumi memperhatikan lekat raut Ansara, merasakan ada sesuatu yang berbeda dari paras cantik yang biasanya penuh binar itu.

"Udah habis, Mas. Kamu mau naik duluan? Aku soalnya masih mau beres-beresin piring bekas makan sama simpen makanan di kulkas". Ucap Ansara tiba-tiba, membuyarkan lamunan Bumi.

Sang lelaki mengangguk. "Ya, udah, saya naik duluan. Mau mandi, gerah. Nanti kalo sempat, kita ngobrol ya, An".

Setelahnya, Bumi memilih bangkit dan meninggalkan Ansara. Dan tidak butuh waktu lama, sepeninggalan Bumi, tangis Ansara yang sudah tertahan sejak tadi, langsung pecah.

Demi meredam suara isakan, Ansara menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan agar tak ada suara tangisan terdengar dari lantai atas. Meskipun airmatanya tengah jatuh deras, Ansara tidak ingin Bumi tahu.

Ketakutan itu, makin bertambah setelah mendengar permintaan Bumi untuk mengobrol. Pikirannya langsung berpusat pada satu kemungkinan yang paling dekat, yaitu Bumi akan menceraikannya.

Apa An harus kehilangan kamu malam ini, Mas?

———

Ansara masuk kedalam kamar setelah memuaskan tangisannya hingga merasakan tak ada lagi airmata tersisa untuk jatuh. Ia bahkan sengaja berlama dibawah, demi meredakan kemerahan di mata pasca menangis. Ditemuinya Bumi tengah duduk di salah satu sisi kasur saat Ansara berjalan masuk, memandang kearahnya dengan tatapan yang sulit dideskripsikan.

Bumi mengisyaratkan Ansara agar mendekat. "Sini, An, duduk sebelah saya".

Jantung Ansara berdegup tak karuan, langkahnya pun terasa berat bukan main tatkala mendekati kasur. Sang puan pun pada akhirnya mendekat, kemudian ikut duduk di kasur, tepat di sebelah Bumi. Keduanya senpat diam untuk waktu yang cukup lama, sekitar tujuh menit. Tidak ada yang berbicara diantara mereka, hanya membiarkan diam saling menggantung disana.

"An...".

Baru Bumi berucap sedikit, Ansara sudah memotongnya. "Mas, kalo ngobrolnya besok lagi, gak apa-apa, gak? An beneran capek banget hari ini. Ngantuk juga".

Bumi terdiam sesaat, menoleh sekilas untuk mendapati Ansara tidak menatapnya, hanya terus menunduk kebawah, seakan menghindari tatapannya. Lelaki itu kemudian menghela nafas. "Iya, boleh. Kamu tidur aja, An".

"Makasih ya, Mas.. Kamu juga tidur, istirahat". Balas Ansara sebelum menoleh kearah Bumi, perlahan mendekatkan dirinya, dan berakhir mengecup bibir Bumi singkat. "Selamat tidur, Mas Bumi. Aku sayang kamu".

Selanjutnya, Ansara menarik selimut, memunggungi Bumi untuk segera tidur. Bumi menatap punggung itu, mengerutkan kening sebab heran karena tidak biasanya Ansara tidur memunggungi dan tidak menatapnya. Namun, Bumi terdistraksi saat mendengar nafas teratur sang gadis yang langsung terdengar tanpa menunggu lama.

Disana, Bumi menghela nafas berat, menutup kedua matanya yang juga terasa berat. Detik selanjutnya, lelaki itu kembali menoleh kearah Ansara, tak kuasa mendekatkan dirinya untuk mengecup pelipis istri mungilnya itu, yang kini tertidur pulas tanpa mengetahui betapa gelisahnya perasaan Bumi saat itu.

Usai mengecup pelipis Ansara, Bumi menyusurkan jemarinya di halus rambut sang puan, memberi usapan nyaman. Bisikannya halus, nyaris tak terdengar. "Selamat tidur, An".

Sudut hati Bumi yang awalnya hanya berbisik, kini makin ribut bersuara, membuatnya ingin menangis saking kalutnya perasaannya sekarang setelah mendapati perlakuan manis Ansara sejak ia menginjakkan kaki kembali di rumah mereka.

Kalau kamu perlakuin saya sebaik ini, gimana saya bisa tega ucapin pisah ke kamu, An?

ANSARAWhere stories live. Discover now