45. Semakin Ragu

9.1K 379 31
                                    

Bumi terbangun dengan kosong disampingnya. Lelaki itu mengucek matanya, berupaya bangkit untuk mengecek keadaan sekitar. Aroma harum yang tercium di hidungnya, membuat Bumi penasaran. Semerbak tercium wangi cokelat dan karamel yang terbakar, lantas membawa langkah Bumi ke lantai pertama.

Figur mungil itu tengah serius menata satu persatu kue buatannya di atas piring. Wajahnya serius, sedangkan gerakannya luwes, menguasai area dapur yang kini dipenuhi bekas masakan.

"Bikin apa, An? Wanginya kecium sampai kamar". Sapa Bumi, membuat netra bulat Ansara sontak jatuh kepadanya.

Gadis itu sudah tak sepucat kemarin, ia bahkan terlihat segar sebab memakai sedikit riasan di wajah. "Ini croffle, Mas. Isinya ada yang cokelat, vanilla, sama karamel. Mau coba, gak?".

Bumi tersenyum sekilas. "Satu aja, yang cokelat".

Ansara menaruh sebuah di piring mungil. Kemudian, bukannya menyodorkannya pada Bumi, gadis itu memilih untuk berjalan mendekat dan menyuapi sang suami. "Nih, coba".

"Saya pegang sendiri aja?". Ucap Bumi, canggung, sebab tak biasanya Ansara bersikap seberani ini.

Ansara malah memasang senyum. "Aku suapin aja. Ayo, buka mulutnya, Mas".

Bumi lantas menuruti, seakan tersihir dengan senyum Ansara yang terlihat begitu memukau di matanya. Usai menggigit sedikit, ia tak kuasa menahan ekspresinya, sebab rasa yang menyapa lidah, terbilang begitu enak, tak kalah dengan pastry buatan hotel yang sering Bumi cicipi. "Wah, kamu bikin sendiri ini?".

"Iya, dong. Enak?". Balas Ansara, menuai anggukan dari Bumi. Setelahnya, gadis itu ikut menggigit bekas gigitan Bumi, mencicipi hasil tangannya sendiri.

Bumi menyaksikan adegan itu dengan bibir terbuka, terpesona sendiri dengan perubahan sikap Ansara yang jauh lebih touchy dan berani dengannya, seakan menunjukkan kepemilikan.

Ansara berdeham, lantas membawa piring mungil tersebut dan gelas mug berisi kopi milik Bumi di kedua tangannya. "Kita makan di ruang tamu yuk, Mas? Aku suapin. Ini kopimu juga udah aku buatin".

Nampaknya, Bumi masih dibawah pengaruh sihir Ansara. Sebab lelaki itu hanya mengikuti, berjalan dibelakang figur mungil itu hingga mereka mencapai sofa ruang tamu. Ansara duduk lebih dulu, sebelum Bumi ikut duduk di sebelahnya dengan sang gadis yang terlebih dulu menyerahkan gelas kopi ke sang lelaki untuk dicicipi.

Sesuai ucapan Ansara, gadis itu perlahan menyuapi Bumi, pun dirinya, sebuah croffle yang sama, menggigitnya bergantian. "Mas.. Aku mau bilang sesuatu, boleh?".

Hal itu menyita perhatian Bumi. "Apa?".

Sang gadis lantas menaruh piring makanan di meja, kemudian merogoh sesuatu dari kantung celana rumahannya. "An kebetulan pengen banget dateng ke konser musik, tapi ini orkestra. Aku udah beli tiketnya, cuma.. An takut kesana sendiri, karena belum pernah ke daerah sana dan lokasinya cukup jauh dari rumah".

Bumi mendengarkan dengan seksama, kemudian mengamati dua tiket di tangan Ansara. Dua tiket berwarna silver yang baru pernah Bumi lihat.

"Kalo boleh.. An mau ajak kamu, Mas. Aku gak tahu sih, kamu suka atau nggak. Tapi, An pengen banget. Dan hari ini kebetulan weekend. Jadi..". Ansara beralasan, mengatur ucapannya baik-baik.

Sedangkan, Bumi memotong ucapannya. "Boleh".

Bukan tanpa alasan lelaki itu mengiyakan. Sesungguhnya, Bumi tak mengerti sama sekali soal konser orkestra macam itu. Tapi, setidaknya, ia harus memberi memori yang baik untuk Ansara sebelum perpisahan, bukan?

Netra Ansara membulat seketika, senyumnya menguar. Tanpa banyak berucap, gadis itu langsung loncat dari duduknya dan memeluk Bumi erat. "Makasih, Mas!".

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang