34. Karena Terbiasa

8.2K 341 34
                                    

Bumi sibuk sekali hari ini. Absennya ia selama tiga hari ke belakang, membuat pekerjaannya tertumpuk dan menggunung tanpa bisa dihindari. Lelaki itu dihadapkan dengan agenda meeting beruntun yang membuatnya bahkan melupakan makan siang. Perutnya baru terasa lapar saat hari menjelang sore, dimana lelaki itu baru mendapatkan kesempatan untuk beristirahat di sofa ruangannya.

Kalo saya lagi dirumah, pasti Ansara udah siapin makanan untuk saya. Aromanya pasti harum sekali.

Lelaki itu tanpa sadar tersenyum, mengingat bagaimana suasana hangat dirumah bersama Ansara. Sedetik kemudian, ia tersadarkan akan pemikirannya sendiri.

Kenapa jadi mikirin Ansara lagi sih?

Ini pasti efek terlalu sering bertemu, yang membuat alam bawah sadar Bumi jadi terbiasa dengan Ansara tanpa bisa ia hindari.

Di saat pikirannya kusut dan tubuhnya lelah seperti sekarang, hanya ada satu tempat yang terlintas di kepalanya. Rumah. Dimana Ansara pasti akan menyambutnya, sibuk sendiri dengan kegiatan menata piring-piring makan mereka, menanyai Bumi perihal ini dan itu, segala celoteh yang tanpa sadar akan mendatangkan senyum di wajah Bumi.

Tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu meraih kunci mobilnya. Bergegas segera untuk keluar dari ruangan dan pulang ke rumah. Tidak ada tempat lain yang terlintas di pikirannya sekarang, hanya ada satu.

Bumi ingin pulang, ia ingin kembali ke rumah.

Perjalanan yang biasanya membuatnya jenuh, kali ini ditempuh dengan perasaan tidak sabar. Ingin segera sampai, ingin segera melihat wajah teduh milik gadis cantik yang akhir-akhir ini sering bersemayam di kepala Bumi.

"An".

Bumi langsung memanggil sang gadis sesampainya ia dirumah, mencari presensi gadis mungil yang biasanya sudah menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan makan malam mereka.

Namun, yang Bumi temui hanyalah Bi Mai, tengah memotong-motong bahan masakan untuk diproses. Segera, sang lelaki bertanya. "Bi? An mana ya? Kok gak kelihatan?".

Bi Mai yang baru menyadari kehadiran Bumi, menoleh. "Eh, Den, udah pulang. Non Ansara ada di ruangan kosong yang disebelah kamar, Den. Sudah dari siang disitu".

Bumi lantas mengerutkan kening. "Ngapain?".

Yang dicari-cari ternyata benar berada di ruangan kosong disamping kamar, begitu fokus menyelesaikan kerajinan keramik yang kini sudah masuk dalam masa finishing. Saking fokusnya Ansara melukis detail di boneka mini yang merepresentasikan dirinya, gadis itu sampai tak menyadari kehadiran Bumi dibelakangnya.

Hari ini, Ansara mengenakan dress berwarna biru dongker tanpa lengan dengan batas selutut, membuat sebagian paha cantiknya terekspos saat ia tengah duduk seperti sekarang. Bumi berjalan mendekat ke belakang tubuh mungil itu, mengintip kegiatan sang gadis dari balik pundak terbukanya. "Saya cari kemana-mana taunya disini".

Yang dibicarakan terkejut, sampai nyaris mencoreng wajah boneka mungilnya dengan kuas. Ansara lantas menoleh. "Astaga, Mas, kaget. Kamu udah pulang? Tumben?".

"Kerjaan saya selesai lebih cepat". Ucap Bumi, sembari matanya menyusurkan pandang pada boneka tembikar hasil dari tanah liat di genggaman tangan Ansara. "Itu kamu yang buat?".

Barulah Bumi menyadari keadaan sekitarnya, bagaimana ruangan yang tadinya kosong itu kini diisi dengan pottery wheel, dan beberapa hasil tembikar yang sepertinya menjadi kerajinan tangan dari Ansara beberapa lama belakangan ini. Sedang sang gadis mengangguk takut. "Iya, Mas.. Gak apa-apa kan aku pakai ruangannya untuk bikin tembikar?".

Bumi meraih sebuah boneka mini yang mirip dengan dirinya, meneliti benda mungil itu di tangannya. "Kalo ini siapa? Saya?".

Ansara menggigit bibirnya, malu. "Iya. Aku bikin sepasang. Itu kamu, terus yang lagi aku lukis ini, aku.
Yang kamu aku buat duluan".

ANSARAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن