54. Sakit Bukan Main

13.4K 441 38
                                    

Bumi dikejutkan dengan suara ponsel yang berdering tiba-tiba di telinganya. Lelaki itu terlonjak dari tidur yang sudah lama ia lewatkan semenjak agenda mengurus pemakaman Gepa. Entah berapa lama ia terlelap, mungkin seharian, dan baru kali ini ia terbangun kembali. Di rumah tempatnya dibesarkan, rumah keluarga Dhiagatri berada.

Bumi mengucek matanya berulang kali, memastikan nama Ansara memang tertulis disana dan bukan khayalan belaka. Degup jantungnya langsung tak karuan, tak menyangka Ansara akan meneleponnya terlebih dahulu tanpa diminta. Buru-buru, Bumi menerima panggilan tersebut. "Halo, An?".

"Bumi? Maaf, ganggu gak?". Sapa sang gadis dengan suara khas lembut miliknya.

Bumi memilih bangkit saking gusarnya, berjalan hingga mencapai jendela rumahnya. "Nggak, An. Ada apa? Kamu dimana? Kamu sehat kan?".

"Aku sehat kok. Makasih udah tanya. Aku telfon sebenernya cuma mau info soal gugatanku. Per kemarin, gugatanku sudah di proses sama pengadilan negeri, dan kemungkinan beberapa lama lagi kamu sudah harus memenuhi panggilan untuk penyerahan berkas juga. Kamu rencananya mau urus sendiri juga atau mau pakai pengacara, Bumi? Saranku, karena jadwalmu padat, bagusnya pakai pengacara biar gak keteteran". Jelas Ansara.

Hati Bumi mencelos mendengarnya, lelaki itu menelan kuat salivanya. "An, ada yang harus saya omongin ke kamu. Tolong, izinin saya ketemu kamu dulu...".

"Aku sekarang kerja, Bumi. Kamu kan juga. Jadi agak susah kayaknya bikin jadwal ketemu. Kalo ada yang mau diomongin, boleh diomongin disini aja". Ucap Ansara tegas.

Bumi mengucap lantang. "Saya gak mau cerai sama kamu An".

Ada jeda yang cukup lama diantara mereka, dimana panggilan telfon di telinga terasa sunyi, seakan keduanya mengalami keterkejutan atas kalimat yang diucap barusan. Hingga akhirnya, suara Ansara yang masih sama tenangnya kembali terdengar. "Aku ngerti kamu lagi banyak pikiran karena kematian Gepa, kamu juga pasti lagi capek. Makanya aku mau bantu, Bumi. Kalo kamu sulit atur waktu untuk cari pengacara, biar aku yang bantu urus ke pengadilan".

"Astaga. Saya bukan gak mau urus berkas, An. Saya gak mau cerai dari kamu. Apa masih kurang jelas? Ini makanya saya pengen ketemu kamu. Karena kalo jelasin dari sini, pasti ada salah paham". Balas Bumi, putus asa. Bumi tidak memberi jeda untuk Ansara mendebat kembali. "Kasih waktu saya ketemu, satu jam juga cukup, An. Biar saya jelasin semua ke kamu. Saya mohon".

"Aku gak salah denger ya? Seorang Bumigantara yang angkuhnya bukan main, barusan memohon sama aku?". Sahut Ansara, sukses membuat netra Bumi membesar lantaran terkejut dengan nada sindiran yang sang gadis lontarkan untuknya.

Namun, Bumi tidak memedulikan. "Saya gak peduli soal harga diri saya. Asal kamu kasih saya kesempatan bicara".

Ansara terdengar menghela nafasnya. "Oke. Sore ini aku ada kosong sekitar satu jam di jam empat".

"Saya jemput kamu. Kasih tahu alamat tempat tinggalmu sekarang, An". Balas Bumi cepat.

Ansara langsung menolak. "Kalo mau ketemu, kita ketemu dengan aturanku, Bumi. Bukan dengan semaumu. Kamu info aja mau ketemu dimana, nanti aku kesana sendiri. Aku mau kamu sampai duluan".

Bumi sempat mengerutkan kening, hendak mendebat namun pada akhirnya memilih urung. "Oke, kita ketemu di resto dekat rumah kita, An. Saya akan reserve satu ruangan tertutup biar kita bisa leluasa bicara. Saya juga akan pastikan sampai disana tepat waktu, kamu gak perlu khawatir".

Gadis di telefon mengiyakan. "Good, clear. Kalo gitu, aku matiin dulu telfonnya. Thanks".

"An, tunggu..". Ujar Bumi, berupaya mencegah.

ANSARAWhere stories live. Discover now