15. Perlahan

8.8K 360 8
                                    


Pagi ini, Bumi sempat tertegun sendiri. Pasalnya, selama ini, sebelum berangkat kerja, berbagai jenis menu makanan pasti sudah tersaji dengan rapi. Namun, kali ini, nampaknya Ansara kesiangan bangun. Lelaki itu menyaksikan bagaimana terburu-burunya sang gadis memasak sekaligus menyajikan makanan di meja, dengan celemek biru melekat di tubuhnya.

Sesaat mata mereka bertemu, Bumi mengalihkan pandang, tidak tahu kenapa salah tingkah sendiri karena ketahuan memperhatikan sejak tadi. Ansara terkesiap saat menyaksikan kehadiran Bumi di ruang makan, terlihat rapi dengan setelan kerjanya. "Mas? Udah mau berangkat ya? Aduh, ini sebentar lagi siap, tunggu ya. An tadi bangunnya kesiangan, Bi Mai juga katanya izin hari ini.. Maaf ya, Mas".

Bumi hendak menyahut, membalas ucapan Ansara seperti biasa, memberi tahunya bahwa Bumi tidak akan makan sarapan dirumah. Tapi, lidahnya sontak kelu saat menyaksikan bagaimana repotnya Ansara, menyeka keringatnya ditengah mempersiapkan ini dan itu, kemudian melepas celemek masaknya sebelum berangsur menatap Bumi. Semua gerakan itu seakan menyihir Bumi terdiam. "Ayo, Mas, itu piringmu udah aku siapin. M—Mau makan sekarang?".

Dalam hati, Ansara sudah mempersiapkan diri untuk penolakan lainnya. Ia sudah siap kembali mengemasi hasil makanannya dan mengirimnya ke kulkas  karena Bumi tidak mau makan. Namun, respon berbeda malah Ansara terima. Lelaki itu perlahan menarik bangku makan di sebrangnya dan duduk. Tanpa banyak bicara, Bumi mengambil sendok, menyendok satu persatu lauk makanan berikut dengan nasinya.

Ansara yang membeku, lantas jadi ikut bergerak, sang gadis duduk, tak sanggup menyembunyikan senyumnya sendiri lantaran pada akhirnya berhasil mengajak Bumi sarapan bersama. Jantungnya berdegup kencang, malu-malu mencuri tatap kearah Bumi berulang kali yang kini sudah mulai makan duluan.

Bumi berulang kali menaikkan alisnya, seakan terkejut dengan rasa makanan yang ia cicipi. Ansara jadi khawatir sendiri, takut rasa masakannya tidak cocok dengan lidah Bumi yang sudah terbiasa dengan masakan sekelas chef, gadis itu tak tahan untuk bertanya. "Kurang apa, Mas? Bumbunya kurang kerasa gak? Atau mungkin keasinan? Tadi soalnya aku sempat cicipin sedikit, kalo untuk An udah pas.. Tapi, An belum tahu selera Mas Bumi".

Ada jeda cukup lama sebelum Bumi menjawab, membuat raut Ansara makin gelisah terlihat. "Mukamu gak usah begitu. Ini enak semua kok".

Dalam sekejap, raut gelisah Ansara berubah menjadi binar yang begitu cantik ketika ditatap mata. Membuat  netra Bumi jadi ingin berlama-lama disana, baru memperhatikan dengan jelas bagaimana sebetulnya, wajah Ansara memang terbilang cantik. Dengan mata bulat, hidung mungil namun tinggi, dan bibir kemerahan alami yang selaras dengan pipinya. Tak ayal, membuat siapapun memang ingin berlama-lama menatapnya.

Ansara yang menyadari Bumi menatapnya lama, jadi mengusap pipinya sendiri. "Ada sesuatu di mukaku ya, Mas?".

Bumi terkesiap, berkedip repetitif sebelum menggeleng. "Enggak, udah lanjut aja, makan. Jangan banyak tanya".

Ansara tersenyum. Suaminya kembali menjadi kucing hitam galak yang gemar menakuti sekitarnya, namun dimatanya, menggemaskan. "Makasih ya, Mas. Udah mau sarapan sama-sama. An seneng banget".

Bumi enggan menanggapi, lelaki itu memilih tak menatap kearah lawan bicaranya yang kini melanjutkan bicara. "Bi Mai suka marahin An, katanya, Mas Bumi kan selalu gak mau makan dirumah, An ngapain masak terus? Tapi, aku yakin, pasti suatu saat Mas mau makan dirumah, dan ternyata.. An benar".

Bumi menghentikan aktivitas makannya, lelaki itu lantas menatap kearah Ansara. Menyadari sesuatu yang selama ini ia tak hiraukan. Selama ini, tanpa sadar, Bumi sudah melalukan hal yang mungkin melukai hati Ansara, tapi kenapa juga gadis itu berjuang sekeras itu untuk Bumi? Padahal jelas, hal itu menyakitinya?

"Kamu bicara gitu, maksudnya gimana?". Ucap Bumi.

Ansara terkesiap. "Eh? Kenapa, Mas?".

"Kamu mau bikin saya ngerasa bersalah?". Balas sang lelaki, tegas.

Sedang Ansara menggeleng kuat. "Astaga, enggak, Mas. Bukan gitu maksudnya. Ini saking kesenengannya aku jadi salah ngomong. Maaf, Mas.. Lupain aja ya?".

Bumi menaruh alat makannya diatas piring yang masih berisi setengah. "Saya mau berangkat sekarang".

"Mas..".

Tanpa mendengar apapun lagi, Bumi memilih bangkit dan berjalan keluar dari rumah. Menyisakan Ansara yang kini merasa bersalah. Gadis itu memegangi bibirnya sendiri, menunduk karena menyesali perbuatannya.

'Lain kali, An harusnya diam aja. Kenapa juga sih mesti ngomong begitu? Wajar Mas Bumi kesinggung..'. Batin Ansara berucap, menyesal sendiri.

———

Sebenarnya, bukannya marah, Bumi memilih menghindar dari Ansara karena merasakan sesuatu yang aneh di dirinya.

Perasaan bersalah.

Lebih dari itu, Bumi bahkan ingin menghapus rasa sakit yang ia sebabkan pada Ansara. Membuatnya kebingungan sendiri. Mengapa juga ia mulai memikirkan perasaan gadis itu?

Padahal, bukan urusannya juga jika Ansara merasa disakiti dengan pernikahan ini. Toh, Bumi juga korban, yang dipaksa menjalani tanpa menginginkan. Memangnya, Bumi yang meminta Ansara melakukan semua usahanya menjadi istri sempurna itu? Kan tidak.

Nyatanya, pikirannya jadi kusut sendiri. Tanpa sadar, lelaki itu melamun untuk waktu yang cukup lama dalam sesi rapat direksi pagi ini. Membuat beberapa kepala menoleh kepadanya karena tak kunjung memberi respon akan beberapa pertanyaan yang dilemparkan.

"Pak Bumi? Gimana, Pak?". Ucap salah seorang dari meja seberang, membuat Bumi akhirnya menoleh.

"Sorry, tadi saya gak dengar. Gimana apanya?". Balas Bumi bingung.

"Perihal ekspansi, ada tanggapan kah, Pak? Apa perlu menggandeng investor dari bidang serupa?".

Pikiran kalut Bumi, nyatanya kini mentok. Lelaki itu memijat pelipisnya pelan. "Kita bicarakan lain waktu perihal itu. Tolong bahas perihal report pendanaan aja sekarang".

Alasan Bumi mengalihkan topik meeting kearah yang lebih ringan tak lain adalah dirinya yang sedang tak bisa berkonsentrasi. Setengah bagian dari meeting, pada akhirnya berjalan tanpa banyak intrupsi dari Bumi, yang biasanya adalah paling aktif bersuara.

Seusai menjalani rapat direksi, Bumi kembali ke ruangannya, tadinya berpikir akan menyelesaikan pekerjaan disana guna mendapat ketenangan. Namun, matanya melebar saat menemukan sosok Diandra yang sudah lebih dulu duduk di sofa ruang kerjanya. Gadis itu melipat tangannya di dada, gestur yang menunjukkan protes.

"Di? Dari kapan disini?". Ucap Bumi sebelum memilih duduk di sisi sofa lainnya.

Diandra menghela nafasnya. "Belum lama kok. Kamu gimana? Semalam jadinya baikan sama istrimu?".

"Ngomongmu kok begitu?". Balas Bumi heran.

Diandra menelan salivanya, seakan menekan rasa sakit yang menjalar di dada. "Kamu yang janji semalam. Kamu akan pulang sebentar, terus balik lagi ke tempatku, katamu cuma mau ambil baju, setor muka ke istrimu biar gak dilaporin ke keluarga besar. Tapi, aku tunggu kamu sampai jam empat pagi, gak juga ada kabar. Sampai pagi pun ternyata kamu gak kembali".

"Astaga". Sahut Bumi sembari menutup wajahnya. Lelaki itu jelas lupa, pun tidak bisa beralasan sejujurnya. Semalam, setelah melihat kondisi Ansara, entah mengapa, Bumi benar-benar tidak tega untuk meninggalkannya lagi. "Maaf, Di".

"Bumi". Panggil Diandra, membuat Bumi yang mulanya menunduk jadi balik menatapnya. "Jujur sama aku, Bumi. Apa sekarang kamu udah mulai membuka hati buat istrimu itu?".

Bumi lantas menggeleng, ingin menyuarakan bantahannya, namun Diandra lebih dulu menyerobot bicaranya.

"Karena kalau iya, lebih baik kita pisah sekarang. Aku gak mau jadi pengganggu di hubunganmu. Kalau sekarang kamu menganggap pernikahanmu itu nyata, bukan sekedar hitam diatas putih kayak yang dulu kamu bilang, aku akan pergi. Aku gak mau jadi perempuan gak tahu diri yang masuk ke pernikahan orang". Ucap Diandra tegas.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang