32. Satu Hari Berharga

8.4K 356 26
                                    

"An, sudah seharian ini kamu jaga Bapak terus. Sudah, sana, urus suamimu, kasihan itu Nak Bumi, dari pagi kata Ibu cuma bolak-balik dari kamar ke teras rumah, bingung kali mau ngapain". Ucap Bapak Ansara, mencoba membuat anak perempuannya menghentikan afeksi, sebab sejak tadi, gadis itu tak kunjung bergerak dari sisinya.

Ansara menoleh keluar kamar sang Bapak dengan gelisah, seakan menimbang sesuatu di kepalanya. "Tapi, Pak, An kan kesini buat Bapak. An cuma punya waktu sampai lusa untuk rawat Bapak sampai sembuh".

"An". Sanggah lelaki paruh baya itu, menyisirkan jemarinya ke helaian rambut putri sulungnya yang tak terasa sudah dewasa itu. "Buat Bapak, kamu kesini saja sudah lebih dari cukup rasanya. Kehadiranmu dan Bumi di rumah ini, bikin Bapak jauh lebih tenang. Kondisi Bapak juga pasti akan membaik sendiri. Kamu harus ingat, An. Sekarang, prioritasmu, bukan lagi Bapak, Ibu, maupun adik-adikmu. Tapi Bumi, suamimu".

Ansara menunduk, terdiam di kursi duduknya yang letaknya berada persis disebelah kasur tempat sang Bapak bersandar. Gadis itu mengerti betul, bahwa apapun yang keluar dari mulut orangtuanya, memang benar. Lantas, ia mengangguk. "Iya, Pak. Kalo gitu, An izin samperin Mas Bumi dulu. An gak ngeh udah mau sore, takutnya dia laper".

"Iya. Kalau perlu, ajak Bumi makan di sekitaran sini. Pakai mobil Bapak. Biar kalian gak suntuk". Balas Bapak Ansara lembut.

Lantas, Ansara berdiri dan mengangguk sopan, membiarkan orangtuanya itu untuk beristirahat, sementara dirinya mencari presensi Bumi yang ternyata kini tengah duduk di bangku teras halaman rumah Ansara sembari menatapi layar ponselnya.

Tanpa maksud mengejutkan, Ansara menepuk bahu Bumi. "Mas?".

Namun, lelaki itu nampaknya terkejut. Sebab, ponselnya sampai nyaris meluncur dari genggaman. "Duh, kaget saya. Kenapa?".

"Eh, maaf, Mas". Ucap Ansara refleks, kemudian buru-buru menarik kembali tangannya dari pundak Bumi. "Itu.. Kamu, pasti bosen ya dari tadi sendirian disini? Maaf ya, aku gak ngeh dari tadi urus Bapak, sampai lupa temenin kamu".

Bumi bermaksud merespon dengan sanggahan, namun Ansara sudah lebih dulu menyambung kalimatnya. "Sebagai gantinya, gimana kalo.. Kita jalan-jalan, Mas?".

"Jalan-jalan? Kemana?". Balas Bumi bertanya.

Ansara tersenyum. "Hmm, kalo kamu mau.. Kita bisa makan diluar, sekitar sini banyak makanan enak loh, Mas. Nanti, bisa naik mobil Bapak".

Bumi menaikkan sebelah alisnya. "Memang gak apa-apa kalo kita pergi-pergi?".

Ansara ikut menaikkan sebelah alisnya, bingung. "Boleh aja. Memang kenapa, Mas?".

"Kan.. Bapak lagi sakit?". Tanya Bumi lagi.

Ansara lantas tersenyum. "Oh. Itu malah tadi Bapak yang suruh kita jalan-jalan keluar. Biar gak suntuk katanya".

Bumi terdiam sejenak, seakan berpikir. Hingga sesaat kemudian, ia menyetujui. Lelaki itu menunjuk ke arah suatu benda di halaman rumahnya. "Oke kita pergi. Tapi, itu punya siapa?".

"Motor, Mas?". Tanya Ansara balik, menuai anggukan dari sang lelaki. "Itu motornya Talla. Kenapa?".

Bumi sempat melipat bibirnya kedalam, seakan ragu mengucap kalimat selanjutnya. "Itu.. Kita bisa pinjam?".

"Kamu mau naik motor? Sebenarnya sih boleh aja, Talla juga kan tadi berangkat bareng temennya ke kampus. Memang gak apa-apa kamu naik motor?". Ansara bertanya kritis.

Sedangkan Bumi menunjukkan raut inginnya. "Gak apa-apa. Saya.. Pengen, An".

Melihat raut penuh harap dari wajah tampan itu, nyatanya membuat Ansara luluh dalam hitungan detik. Gadis itu kemudian menyembunyikan kekehannya. "Ya udah. Tunggu sebentar ya. An ambilin kunci, helm sama jaketnya. Bandung dingin soalnya, gak bisa kaosan begitu kamu, Mas, nanti masuk angin".

ANSARAWhere stories live. Discover now