27

2.7K 190 31
                                    

Vanessa memaksa Mayted untuk membawanya pergi dari rumah. Walaupun sudah dibujuk Kakek, ketiga sepupunya, bahkan Bundanya sendiri, ia tidak mau di rumah ini. Jika ia menetap di rumah ini, entah apa yang akan terjadi karena ia sudah merasa sangat sesak. Mayted akan menurutinya asal luka robek di kedua telapak tangan Vanessa harus diobati dulu.

"Mbak sayang.. diobati dulu ya? Nanti kita keluar kemana pun kamu mau." Ucap Mayted berusaha membujuknya.

"Nggak mau, Pak. Aku nggak mau diobatin disini!" Ucap Vanessa keras.

"Kamu bisa kehilangan banyak darah. Sebentar saja nanti kita langsung keluar ya?" Mayted tetap berusaha, karena bisa parah nanti.

"Nggak mau, Pak Teddy!! Diobatinnya diluar aja! Aku udah muak disini!" Vanessa tetap menentangnya.

Mayted menghela napas, ia tahu Vanessa memang sangat keras kepala sekali, tapi ini bukan situasinya. Akhirnya, Mayted hanya terdiam dan berpikir sesaat.

"Yaudah, saya obatin di mobil mau?" Tanya Mayted karena seingatnya kotak P3K miliknya juga ada disana.

Vanessa mengangguk, ia langsung berdiri dan meninggalkan semuanya disana tanpa berkata apapun. Bahkan ketika Kakek dan Bundanya memanggilnya, ia melewati mereka tanpa mengacuhkannya.

Bapak paham, ia mengerti situasi Vanessa. Cucunya itu tak akan menggubris siapapun disaat dirinya sedang emosi dan marah. Ia akan membiarkan cucunya itu untuk menenangkan diri.

"Ted, tolong jaga cucu saya ya? Maafin saya di waktu malam begini kamu seharusnya pulang untuk istirahat. Saya tidak menduga hal ini akan terjadi. Tolong temani cucu saya, ya? Bawa saja Vanessa ke rumah kamu, biarkan dia tenang disana, saya juga merasa tenang karena ada orang tua kamu yang mungkin bisa mengajak Vanessa berbicara." Bapak memegang pundak Mayted.

"Nggak papa Pak, tidak usah meminta maaf. Saya akan berusaha bikin Mbak Vanessa tenang." Ucap Mayted.

"Pak Teddy, maafin saya. Tolong titip Vanessa dulu ya?" Ucap Bunda Vanessa.

Mayted mengangguk. "Nggak papa Mbak Yanti, saya izin pamit ya?"

Bapak dan Bunda Vanessa mengangguk paham lalu Mayted pamit untuk pulang bersama Vanessa. Bapak mengajak anak bungsunya itu untuk berbicara, entah Bapak akan memarahi anaknya atau tidak, tapi Bapak juga butuh penjelasan alasan kedatangan Mbak Yanti ke Indonesia tanpa pemberitahuan.

Keduanya sudah di mobil, ketika Mayted masuk ke dalam ia melihat Vanessa menatap kedua tangannya yang terluka karena dirinya sendiri. Kedua tangannya gemetar, mungkin gadis itu baru sadar apa yang sudah ia lakukan kepada dirinya sendiri.

"Sini, lihat saya." Ucap Mayted lembut.

"Udah lega?" Tanya Mayted, ia menghapus air mata yang sesekali turun dari kedua mata Vanessa.

Vanessa hanya terdiam, ia tidak tahu sebenarnya apakah sudah lega atau belum dengan mengeluarkan semua unek uneknya tadi.

"Pak, aku durhaka ya tadi ke Bunda?" Tanya Vanessa, ia malah bertanya.

Mayted menggeleng pelan. "Nggak mbak, setiap manusia wajar mengeluarkan emosi sesaat yang menyakitkan. Setiap manusia berhak mengekspresikan kesedihannya, termasuk kamu. Dengan seperti itu kamu juga menghargai diri kamu karena kamu sudah berani untuk mengungkapkannya. Kamu sudah hebat mbak, saya yakin pasti selama ini kamu sudah mempertimbangkan banyak hal kalo akan kejadian seperti tadi."

"Jangan lupa ya, minta maaf ke kedua tangan kamu ini. Mereka nggak salah apa apa loh, tapi kamu lukai mereka." Mayted fokus mengobati kedua tangan Vanessa satu persatu.

"Tapi nggak kerasa tadi Pak, kayaknya semua emosi aku tersalurkan kesana." Ucapnya pelan.

"Lain kali jangan gitu ya? Lebih baik kamu pukul saya saja, kamu calon dokter mbak. Tangan itu nyawanya dokter." Mayted menasehatinya.

He Fell First and She Never Fell?Where stories live. Discover now