65

2.1K 239 25
                                    

Mas langsung keluar dari mobil setelah memarkirkan mobil miliknya itu di basement RS Pondok Indah. Segera langsung masuk ke dalam rumah sakit dengan rasa khawatir dan perasaan takut. Setelah mendapat telfon dari istrinya, Mas langsung meminta izin sebentar kepada Bapak dan meninggalkan Istana Negara secepat mungkin.

Vanessa yang sesegukan ditelfon membuat Mas stress dan khawatir berlebihan. Tak jarang ia menjadi sedikit emosi diperjalanan karena kemacetan yang terlalu parah. Mas hanya memikirkan kondisi istrinya yang sedang membutuhkannya.

Mas segera naik ke lift dan menekan lantai paling atas atau rooftop rumah sakit. Keringatnya bercucuran dipunggungnya, didahinya, bahkan diseluruh tubuhnya hingga pakaian dinas hariannya hampir basah karena keringatnya sendiri.

Ketika suara lift sampai di rooftop, Mas langsung mencari cari keberadaan istrinya. Dari belakang, perempuannya yang menggunakan jas dokternya itu tengah duduk dan menundukkan kepalanya, jas dokternya itu banyak sekali berlumuran darah, sepertinya Vanessa masih nangis sesegukan.

Mas perlahan lahan melangkahkan kakinya mendekat ke istrinya, berlutut didepan istrinya yang menunduk dengan tatapan kosong namun air matanya masih berkaca kaca. Sesekali terus terjatuh dan mengenai celananya.

"Sayang.." Panggil Mas kelewat lembut.

Vanessa menatap kedua mata indah milik laki lakinya, terlihat suaminya sangat panik menemuinya, keringatnya yang bercucuran di pelipis dan wajahnya itu menandakan Mas setengah mati khawatir dengan keadaannya.

"Mas.. aku nggak becus banget jadi dokter." Suara istrinya itu bergetar. Vanessa menatap kedua telapak tangannya yang masih berlumuran darah, Mas juga melihat kedua tangan Vanessa yang gemetar dan meremasnya hingga kukunya yang tajam hampir melukainya.

Mas langsung mencegahnya, Mas tak peduli dengan darah yang masih menempel ditelapak tangan istrinya, ia mengenggam sekuat kuatnya memberi energi positif dan berharap Vanessa sedikit tenang.

"Mas, aku gagal banget. Aku gagal jadi dokter, Mas." Vanessa kembali menangis sesegukan.

"Mas aku bersalah banget, aku bikin pasien aku sendiri kehilangan nyawanya." Ucap Vanessa dengan suara yang hampir menghilang, sepertinya istrinya ini sempat nangis histeris hingga suaranya hampir hilang.

"Sayang, bukan salah kamu. Tolong jangan menyalahkan suatu keadaan yang bukan karena kamu. Kamu sudah berusaha, Vanessa. Lihat sekacau apa kamu sekarang, rambut kamu berantakan, wajah dan baju kamu berlumuran darah, kamu juga sudah banyak menghabiskan energi sendiri untuk menyelamatkan pasien kamu."

"Vanessa, kamu lebih tahu tingkat pasien kecelakaan maut itu berapa persen bisa diselamatkan, apalagi dengan pendarahan yang fatal di lokasi vital. Kamu sudah berjuang, tapi memang takdirnya dan ajalnya memang seperti itu. Kamu sudah berusaha melakukan CPR untuk mengatasi henti jantungnya." Mas terus berusaha menenangkan Vanessa agar pikiran istrinya bisa kembali jernih.

"Mas, kamu nggak ngerti. Ini pertama kalinya aku dapat pasien yang nggak bisa aku selamatkan. Bahkan aku udah pake Defibrillator sampai enerji maksimal. Tapi—tapi aku tetap nggak berhasil. Aku merasa bersalah saat keluarga pasien menangis dan berteriak lihat anggota keluarganya meninggal." Vanessa terus mengusap air matanya yang terus berjatuhan dengan kedua tangannya.

"Iya, Mas paham sayang. Pengalaman pertama kamu kehilangan pasien itu justru menjadi pembelajaran buat kamu kalau segala sesuatu itu, ketika kamu sudah berusaha tapi memang ada kalanya sudah ketetapannya seperti itu. Sekuat apapun kamu menyelamatkan pasien kamu, tapi kalau Tuhan berkata tidak bisa diselamatkan, kamu mau terus menyalahkan diri sendiri? Memang tangan kamu yang bekerja tapi kamu bukan Tuhan, kamu nggak selamanya bisa menyelamatkan pasien." Ucap Mas selembut mungkin karena takut Vanessa justru ketrigger jika dirinya agak tegas.

He Fell First and She Never Fell?Место, где живут истории. Откройте их для себя