Mas pulang setelah melewati berbagai pekerjaan yang cukup sulit. Mulai dari kesibukkannya di batalyon menangani beberapa pelatihan, rapat internal dengan para petinggi di Mabes, dan menemani Panglima rapat di DPR. Dengan kelelahan banyaknya pekerjaan itu, Mas semakin lelah setelah mendengar Naira terlibat pertengkaran di sekolahnya. Hal itu Mas ketahui saat dirinya tengah menemani Panglima rapat di DPR. Betapa stress dan paniknya Mas mendengar anak perempuannya itu bertengkar dengan teman sekelasnya saat praktikum mata pelajaran IPA. Anak perempuan satu-satunya itu juga memecahkan beberapa alat praktikum karena temannya menyontek hasil laporan praktikumnya.
Saat itu, yang bisa menjemput Naira hanyalah ajudannya, Prada Gilang. Tak hanya itu saja kelakuan Naira hari ini, anak gadisnya itu juga mengerjai Prada Gilang karena takut ajudan Papanya itu akan mengadu kepada Mas. Naira mengambil kunci mobil yang berada di tangan Prada Gilang dan berlari hingga ia berhasil kabur menuju stasiun MRT.
Apa lagi alasannya kabur ke stasiun MRT selain mencari perlindungan kepada Vanessa? Anak perempuannya itu menyusul Bundanya di rumah sakit dan pada akhirnya menunggu Vanessa selesai operasi dan melakukan beberapa penanganan darurat.
"Bun.."
"Takut deh, Papa pasti marah, ya?" Tanya Naira kepada Bundanya setelah mendengar mobil Mas terparkir sempurna di garasi rumah mereka.
"Lagian, kamu kenapa juga mecahin alat-alat labor dan kabur bawa kunci mobil ajudan Papa?" Tanya Vanessa dengan tertawa. Setelah mengetahui anaknya tiba-tiba di rumah sakit Pondok Indah dan menceritakan semuanya, bukannya marah, justru Vanessa tertawa mendengar kenakalan anak gadisnya. Justru terlintas langsung di otaknya jika suaminya itu akan menghela napasnya dan pasrah karena ternyata kenakalan saat Naira SD bukanlah akhir dari segalanya. Justru Naira melanjutkannya hingga kini sudah duduk di kelas 2 SMP.
"Iya.. lagian teman aku enak aja nyalin jawaban laporan aku, Bun. Aku susah payah ngerjain praktikum itu dengan otak aku ini. Terus aku takut juga ajudan Papa ngadu." Rengek Naira.
"Percuma, Naira. Mau kamu bawa kabur kunci mobilnya atau nggak, pasti tetap dikasih tahu. Tuh buktinya, Papa kamu tahu, kan?" Sahut Vanessa.
Setelah memarkir mobilnya, Mas membuka pintu rumah dengan langkah tegas. Di ruang keluarga, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Naira yang sudah berlindung di sebelah Vanessa. Gadis kecil itu dengan cerdiknya memeluk lengan Bundanya erat-erat, wajahnya menunjukkan campuran rasa takut dan keinginan untuk menghindari amarah Papanya.
Vanessa yang duduk di sofa hanya tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski ia sendiri tahu bahwa ini akan jadi momen yang sedikit menegangkan. Naira tampak sangat tahu cara menghadapi Papanya, dan salah satu trik andalannya adalah berlindung di balik kelemahan terbesar Mas, yaitu Vanessa.
"Kesini, Naira." Perintah Mas dengan sangarnya.
Naira menggeleng pelan.
"Jennaira Prinselia Dwijaya! Dengar Papa, tidak?!" Mas langsung mengeras.
"Naira, kenapa kamu selalu tahu cara bikin Papa nggak bisa ngomong, ya?" Ucap Mas akhirnya, menyerah pada siasat cerdik anaknya. Vanessa terkekeh pelan, sementara Naira hanya tersenyum manis tanpa melepas pelukannya.
"Kamu nggak sekali dua kali aja seperti ini ya! Ini udah ketiga kalinya!" Mas mendekat dan membuat Naira semakin mengeratkan tangannya memeluk lengan Vanessa.
"Pecahin alat labor sekolah dan ngerjain Prada Gilang! Kelewatan sekali kelakuan kamu, Naira." Ucap Mas dengan helaan napasnya.
"Jawab Naira!" Hardik Mas, ia tidak akan menganggap sepele kenakalan Naira walaupun itu anak perempuan satu-satunya. Semakin Mas mewajarkan kelakuan Naira, anak gadisnya itu semakin tidak tahu batasan.

KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fiksi Penggemar"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer!⚠️ Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru ceri...