1. Banjir Darah di Kuil Kuno

14.2K 195 9
                                    

Darah yang mengalir memanjang sudah membeku seperti beratus ekor ular hitam yang mati kaku di bawah terik matahari.

Mayat-mayat dengan anggota tubuh yang tidak lengkap bergelimpangan di puncak Hou-thou-hong (puncak kepala harimau) di gunung Tiam-tjong-san; kepala, tangan atau kaki berserakan dimana-mana mengeluarkan bau amis yang memualkan.

Satu jam yang lalu beberapa ratus gembong silat dari berbagai aliran atau golongan hitam dan putih telah melakukan suatu upacara penyembelian besar-besaran di puncak gunung ini, sekarang keadaan sudah tenang, namun bau darah dan keseraman masih meliputi bekas gelanggang jagal manusia ini.

Seorang wanita yang mengemban seorang anak kecil kira-kira berusia tiga bulan berjalan keluar sempoyongan dari balik batu gunung sana, walaupun rambutnya awut-awutan tubuhnya penuh luka dan berlepotan darah, bajunya koyak-koyak tak karuan, namun semua itu masih belum dapat menutupi wajahnya yang ayu molek dan tubuh yang langsing menggiurkan, di belakangnya muncul pula seorang laki-laki pertengahan umur berdagu panjang dan berwajah putih halus sambil berjalan dia sedang merapikan celana dan bajunya.

Si wanita langsung mendekati sesosok mayat yang penuh luka-luka dan susah dikenal lagi, perlahan-lahan ia berlutut disamping mayat dan menggumam dengan suara igauan seperti orang bermimpi, "Hong-ko, aku tidak minta agar kau memaafkan aku, tapi kau harus mengerti, demi keturunan keluarga Suma, demi darah dagingmu dan dendam kesumat ini, terpaksa aku berbuat demikian, aku...."

Anak kecil dipelukannya mendadak menggigil gemetar dan mengejang, mulutnya yang kecil megap-megap, bibirnya gemetar tapi sedikitpun tidak mampu mengeluarkan suara.

"Nak, apakah kau sangat menderita, ibumu ingin menggantikan kau, oh ibumu rela menderita segala kesengsaraan dalam dunia fana ini asalkan dapat menggantikan jiwamu nak.... kau.... kau jangan mati...." demikian ratap si wanita.

Anak itu tetap membisu, kedua matanya terpejam, tubuhnya basah kuyup oleh keringat, wajahnya penuh diliputi hawa hijau, bibirnya mulai membiru dan tubuhnya tak henti-hentinya berkelejetan, naga-naganya jiwa kecilnya tengah berontak dari renggutan elmaut. 

Mendadak si wanita angkat kepala dan berseru kepada laki-laki pertengahan umur yang tengah berdiri kira-kira dua tombak jauhnya, "Kumohon padamu, tolonglah jiwa anakku ini."

"Menolong dia?" sahut si lelaki pertengahan umur sambil menyeriangi.

Suara si wanita penuh mengandung permintaan dan harap, "kau sendiri pernah berjanji hendak menolong jiwanya...."

"Nadi pengantanya sudah putus, kalau aku menolong jiwanya dengan menggunakan Kiu-yang –sin-kang, tenaga murniku akan susut terlalu banyak, dalam jangka waktu lima tahun aku tidak dapat bergebrak dengan orang, padahal tahun depan tibalah waktunya mengadu kepandaian di puncak Hoa-san, aku tidak mau kehilangan kesempatan memegang simbol teragung sebagai tokoh silat nomor satu di dunia...!"

Wajah si wanita yang memang pucat kini semakin pucat keabu-abuan, dengan suara hampir menggila ia berseru, "Tadi kau mengatakan mau menolong anakku, kau menginginkan tubuhku, aku sudah berikan padamu. Oh.... kumohon padamu, tolonglah jiwanya, aku rela selama hidup ini melayani kau, akan kupersembahkan segala milikku, termasuk jiwa ragaku...."

"Tidak bisa!"

"Kau.... kau tidak boleh begitu, tolonglah, tolonglah jiwanya...."

"Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu!"

Seketika kedua mata si wanita mendelik, sambil menuding laki-laki pertengahan umur itu dengan suara melengking menyeramkan ia memaki, " Loh Tju-gi, binatang kau, anjing.... kau manusia hinda dina, tubuhku sudah kau nodai tapi kau...."

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang