34. Sebuah Kisah

3K 58 1
                                    

Suma Bing menjadi serba salah dan runyam keadaannya, tidak enak pula dia turut campur bicara.

Wajah Pit Yau ang yang pucat pasi itu mendadak berubah merah membara mengandung tekad yang besar, sekilas ia lirik Suma Bing, lalu berkata sepatah demi sepatah: "Peraturan ketiga berbunyi: Barang siapa sengaja melanggar harus dihukum mati!"

Tiba2 gemetar tubuh Suma Bing, apa Te kun sudah tidak peduli lagi akan hubungan antara ayah dan anak dan benar2 hendak menghukum Pit Yau ang menurut undang2 dari Te po. Kalau ini sampai terjadi, pangkal dari semua peristiwa ini adalah karena dia yang menjadi biang keladi, mana bisa dirinya tinggal berpeluk tangan saja.

Dengan nada suara yang mendebarkan orang Te kun berkata: "Kau sudah tahu itulah baik..."

"Yah, anak ada satu permintaan!"
"Katakan!"
"Anak rela dihukum karena batas2 undang2 perkampungan, tapi aku harap ayah dapat melepaskan Suma Bing, meskipun mati anak juga sangat berterima kasih..."
"Tidak mungkin terjadi!"
Suma Bing melangkah setindak, jengeknya dingin: "Akulah yang memaksanya berbuat demikian."
Te kun menggeser tubuh menghadapi Suma Bing, sinar matanya mencorong setajam ujung pedang, bentaknya bengis: "Kau yang paksa dia?"
"Tidak salah!"
"Cara bagaimana kau paksa dia?"
"Mengandal kekuatanku!"
"Tutup mulut, berani kau berbohong dihadapanku?"
"Apa yang kau anggap aku berbohong?"
Te kun mendengus lalu berkata: "Tentang ilmu silat kau masih terpaut sangat jauh dibanding budak kurangajar ini, setelah kau minum Te liong po hiat, meskipun tenaga dalammu bertambah berlipat ganda, tapi latihan dan kepandaian sejati kau masih bukan tandingannya. Berani kau membual hendak menipu aku, dengan kemampuanmu pasti tidak mungkin menundukkan dia, apalagi jalan rahasia ini penuh jebakan dan alat2 rahasia, dimana2 dipasang peluit tanda bahaya, kalau dia tidak sengaja hendak membangkang, seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat terbang keluar!"
Saking malu merah padam wajah Suma Bing bantahnya: "Lalu Te kun hendak apa?"
"Kedudukanmu saat ini sudah jadi salah satu dari kerabat perkampungan bumi, kalian berdua harus menjalani hukuman yang sama."
Suma Bing mengertak gigi, semprotnya: "Aku yang rendah sekarang hendak menentang"
"Sekali lagi kau berani mengatakan 'aku yang rendah' biar Pun te kun (aku sang raja) membunuhmu lebih dulu!"
"Aku yang..."
"Bedebah!" dibarengi bentakan makian ini, Te kun langsung memukul kearah Suma Bing.
Tercekat hati Suma Bing, baru saja tangannya diangkat...
"Ayah!" ditengah pekikan yang memilukan ini secepat kilat mendadak Pit Yau ang melesat menghadang dan memapak kearah angin pukulan Te kun.
Perbuatan nekad ini benar2 diluar dugaan siapapun. Dalam gusarnya Te kun melancarkan pukulan sepenuh tenaga mana mungkin dapat ditarik kembali.
'Blang!' terdengar pekik kesakitan yang menusuk telinga tubuh Pit Yau ang yang ramping itu kontan terbang jauh keluar halaman kelenteng.
Tampak sebuah bayangan berkelebat, ternyata Suma Bing gunakan gerak kelit dari Bu siang sin hoat, sekali berkelebat tiba diluar kelenteng dan tepat menyambuti tubuh Pit Yau ang yang hampir terbanting keras ditanah.
"Gerak tubuh yang hebat!"
Seorang tua berpakaian sebagai pertapa tiba-tiba muncul bagai bayangan setan!
"Engkoh Bing," panggil Pit Yau ang lantas mulutnya menguak menyemprotkan darah segar, orangnya juga segera jatuh pingsan.
Hati Suma Bing seperti di-sayat2, tubuhnya bergetar dan hampir mengejang.
"Pit lote, begitu tega kau turun tangan terhadap anakmu sendiri?"
Waktu Suma Bing berpaling, terlihat seorang tua berjenggot panjang menjulai sampai diperutnya, mengenakan baju bersulam patkwa, kepalanya diikat kain sutera, di tangannya menggenggam sebuah kipas, sikapnya angker laksana seorang pertapa sakti siapa berdiri lima kaki dibelakangnya.
Seruan memuji bernada kagum tadi agaknya keluar dari mulut orang tua ini. Sebab seluruh perhatiannya ditujukan kepada Pit Yau ang, maka dia tidak hiraukan seruan tadi. Dilihat dari cara orang berpakaian dan sikapnya ini diam2 benak Suma Bing tidak tentram.
Siapa dia? Te kun raja yang dipertuan agung dari Te po ternyata dipanggilnya saja sebagai Lote (adik tua).
Saat mana rona wajah Te kun tidak menentu susah diselami, dia berdiri mematung tanpa mampu buka suara.
Pikiran Suma Bing berkelebat cepat, batinnya, apa mungkin dia ini? Teringat olehnya waktu dulu si maling bintang Si Ban cwan menyamar menjadi Kang kun Lojin menggebah lari Si tiau khek itu.
Konon kabarnya bahwa Kang kun Lojin sudah meninggal dunia pada empat puluh tahun yang lalu, tapi bentuk wajah dan cara berpakaian orang tua ini benar2 serupa dan persis benar dengan penyamaran si maling bintang dulu. Apa mungkin kabar di kalangan Kangouw itu adalah bohong belaka, dan ternyata si orang tua ini masih sehat waalfiat hidup didunia ini? Karena pikirannya ini, tercetus seruan mulutnya: "Apakah nama julukan Lo cianpwe adalah Kang kun Lojin?"
Orang tua berjenggot putih itu bergelak tawa sekian lamanya, lalu ujarnya: "Buyung, pengalamanmu luas juga!"
Sebaliknya Suma Bing malah tertegun, tidak terduga olehnya bahwa orang tua ini ternyata betul2 adalah Kang kun Lojin yang sangat kenamaan diseluruh dunia.
Situasi ketegangan mulai mereda setelah Kang kun Lojin mendadak muncul.
Dengan tajam Kang kun Lojin pandang Pit Yau ang yang rebah dalam pelukan Suma Bing, lalu alis dikerutkan katanya kepada Te kun: "Lote, apakah yang telah terjadi?"
Te kun menghela napas panjang, sahutnya: "Loko (saudara tua), dia inilah menantu dan ahli waris raja Suma Bing yang terpilih menurut undang2 tradisi kita!"
"Tepat, berbakat dan bertulang bagus, pandanganmu benar2 hebat!"
"Budak itu sendirilah yang memilihnya!"
"O, jeli dan tajam benar pandangan budak ini!"
Agaknya Te kun enggan mempersoalkan semua apa yang sudah terjadi dihadapan Suma Bing, maka lantas digunakan ilmu Coan im jip bit bercerita kepada Kang kun Lojin yang terakhir baru dia berkata keras: "Loko urusan ini biarlah kuserahkan kepadamu bagaimana?"
Kang kun Lojin menggoyang2 kipas, katanya: "Aku juga ada sedikit urusan dengan engkoh kecil ini. Baiklah, biarlah urusan ini engkoh tuamu ini yang tanggung."
"Kalau begitu terima kasih!"
"Tidak perlu, bawalah budak kecil itu pulang, lukanya tidak ringan!"
Dari samping Suma Bing semakin keheranan, agaknya dengan beberapa patah kata saja Kang kun Lojin sudah dapat membujuk Te kun.
Kang kun Lojin maju memayang tubuh Pit Yau ang dengan sebuah tangannya dia raba pernapasannya sebentar lalu diserahkan kepada Te kun, berputar lalu menghadap Suma Bing, katanya: "Buyung, aku orang tua tidak memaksa kau, kalau kau rela, berlutut dan minta maaflah kepada mertuamu!"
Selamanya sifat Suma Bing sangat angkuh dari pembawaan lahir, sebenarnya hatinya hendak membangkang, tapi karena budi Pit Yau ang terhadapnya sedemikian besar serta memandang muka Kang kun Lojin maka terpaksa dia menurut berlutut dan berseru: "Harap Te kun suka memberi ampun!"
Dia tidak mau menyebut 'Gak tio' atau mertua dan menyebut diri pribadi sebagai siau say atau menantu. Terang bahwa permintaan maafnya ini adalah sangat terpaksa.
Te kun ulapkan sebelah tangan dan berseru: "Sudahlah, bangun!"
Kang kun Lojin mengebutkan kipasnya dan berkata: "Buyung, mari kita pergi!"
Habis berkata ringan sekali tubuhnya melayang keluar kelenteng.
Penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing kesima memandang bayangan punggung Kang kun Lojin. Lalu dipandangnya Pit Yau ang yang masih pingsan itu lekat2, sekali berkelebat tubuhnya juga melenting keluar kelenteng.
Kelenteng bobrok ini dibangun diatas gundukan tanah gundul dilamping sebuah gunung, empat penjuru adalah semak belukar, tempat ini benar2 sangat liar dan sunyi tersembunyi.
Kang kun Lojin sudah menanti diluar kelenteng tangannya menunjuk kepuncak sebelah kiri sana serta berkata: "Buyung mari kita kepuncak gunung itu untuk bicara!"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara.
Dua bayangan secepat kilat terbang menuju kepuncak gunung yang ditunjuk tadi. Dengan kehebatan ilmu ringan tubuh mereka dalam sekejap saja mereka sudah tiba di puncak gunung itu. Ternyata puncak ini merupakan puncak tertinggi dari puncak2 tetangga sekelilingnya.
Mereka mencari duduk diatas sebuah batu.
Suma Bing membuka mulut lebih dulu: "Entah Locianpwe ada petunjuk apa?"
Sambil me-ngelus2 jenggotnya, Kang kun Lojin berkata sungguh: "Buyung, apa kau tahu mengapa orang tua reyot seperti aku yang sudah lama mengasingkan diri ini, mau muncul lagi didunia Kangouw?"
"Hal ini wanpwe tidak tahu!"
"Karena masih ada sebuah angan2 yang belum terlaksana!"
"Angan-angan?"
"Benar, inilah buah yang kutanam secara tidak sengaja, sehingga sampai sekarang masih belum bisa dibikin terang, terpaksa maka aku harus berkelana lagi di Kangouw untuk menyelesaikan urusan itu. Ini boleh dikata suatu akibat, aku orang tua bukan dari agama Buddha, tapi mengenai hukum sebab dan akibat atau juga dinamakan hukum karma hitung2 sekarang aku sudah mulai melek dan dapat menyelaminya!"
Suma Bing manggut2 hampa, entah mengapa dia tidak tahu orang tua dihadapannya ini kok berbicara persoalan sebab musabab dengan dirinya.
Setelah merandek sebentar lantas Kang kun Lojin melanjutkan: "Buyung, apa kau sudi melakukan sesuatu untuk aku orang tua?"
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Urusan apakah yang harus wanpwe lakukan?"
"Menyelesaikan sebab dan akibat ini!"
"Coba Locianpwe terangkan!"
"Itulah tentang hilangnya Bu siang po liok dari Siau lim sie!"
Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Bu siang po liok?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Ini... wanpwe masih belum jelas!"
"Buyung, dihadapanku jangan kau pura2 main tidak tahu dan main sembunyi."
"Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Yang kumaksudkan adalah Bu siang po liok itu?"
"Hakekatnya memang wanpwe tidak mengetahui!"
Mata Kang kun Lojin dipentang lebar, sorot matanya nanap mengawasi wajah Suma Bing, sampai sekian lama tidak berkedip, agaknya tengah menyelami hati kecilnya, lama dan lama kemudian baru dia pejamkan mata dan berkata: "Apa benar2 kau tidak tahu menahu tentang persoalan ini?"
"Memang aku tidak tahu!" jawab Suma Bing sejujurnya.
Kang kun Lojin manggut2, seperti menggumam ia berkata seorang diri: "Ai, mungkin peristiwa itu belum pernah dia tuturkan kepada anak muridnya..."
Dari Bu siang po liok empat huruf ini sedikit banyak Suma Bing sudah dapat menebak persoalannya, maka tercetus pertanyaan dari mulutnya: "Siapakah yang Locianpwe maksudkan?"
Mendadak Kang kun Lojin berkata penuh haru: "Buyung bagaimanapun juga, urusan ini hanya kau seorang yang dapat menyelesaikan, sudah tentu, harus kulihat apakah kau rela melakukannya!"
"Mengapa Locianpwe tidak jelaskan lebih terang?"
Kang kun Lojin mendongak kelangit, janggut panjangnya bertebaran dihembus angin pegunungan, katanya dengan suara rendah: "Buyung, dengarkanlah sebuah cerita pada seabad yang lalu..."
Suma Bing mengangguk dengan bersemangat, dia maklum bahwa cerita itu pasti mengenai suatu kejadian rahasia di Bulim, mungkin ada sedikit atau banyak dirinya tersangkut didalamnya akibat dari ekor peristiwa itu.
Kedua mata Kang kun Lojin mendelong mengawasi langit, mulailah dia bercerita: "Seabad yang lalu, didunia persilatan muncul tiga muda mudi yang berkepandaian sangat tinggi dan malang melintang tiada tandingan, mereka dinamakan Bu lim sam ki. Sebenarnya Sam ki berpencar dan kenamaan didaerah masing2. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja Sam ki bertemu tanpa berjanji sebelumnya. Sungguh diluar dugaan bahwa salah satu dari Sam ki atau tiga aneh itu ternyata adalah seorang perempuan yang cantik..."
Sampai disini tidak tahan lagi segera Suma Bing ajukan pertanyaan: "Setelah Sam ki kenamaan, apa dalam dunia, persilatan masih belum ada yang tahu bahwa salah satu dari mereka adalah perempuan?"
"Kau berkata benar, sebelum Sam ki bertemu memang betul2 tiada seorang jua yang tahu, sebab biasanya dia menyamar sebagai pemuda!"
"Waktu dua yang lain mengetahui bahwa seorang yang lain ternyata adalah perempuan, mulailah mereka berlomba hendak mengambil hatinya maka terjadilah percintaan segitiga yang merisaukan. Kedua pemuda itu sama2 ganteng dan cakapnya, ilmu silatnya juga sudah sempurna. Maka perempuan itu susah mengambil keputusan positip diantara mereka berdua. Maka akhirnya kedua pemuda itu mengadakan perundingan rahasia untuk menyelesaikan urusan secara jantan dengan pertempuran adu silat, bagi yang kalah harus bersumpah untuk tidak muncul lagi didunia persilatan selama hidup ini...
"Waktu pertempuran berjalan dengan seru, masing2 bertempur mati2an untuk merobohkan lawannya, tiada salah satu pihak yang mau mengalah, hampir saja waktu mereka bakal gugur bersama, mendadak perempuan itu muncul dan menghentikan pertempuran berdarah itu akhirnya perempuan itu mengajukan cara2 bijaksana untuk menyelesaikan pertikaian ini..."
"Cara apakah itu?"
"Perempuan itu berharap dapat melatih semacam ilmu gerak tubuh yang hebat tiada taranya, untuk menambal kekurangannya sebagai perempuan. Menurut kabarnya bahwa dalam perpustakaan rahasia dikuil Siau lim si ada sejilid buku yang dinamakan Bu siang po liok, buku ini khusus mencatat tentang ilmu gerak tubuh yang diharapkan itu. Karena arti dalam buku catatan itu sangat dalam dan susah dimengerti, maka sampai pemiliknya sendiri yaitu para padri Siau lim si juga tiada seorang juga yang mampu mempelajari, sudah berabad lamanya tiada orang yang sempurna mempelajari ilmu ini. Justru perempuan itu minta kedua pemuda itu menuju ke Siau lim si untuk mencuri buku pelajaran itu, siapa mendapatkan lebih dulu, dia rela menjadi istrinya untuk se-lama2nya...
"Lalu bagaimana akhirnya?" tanya Suma Bing ketarik benar.
Agaknya Kang kun Lojin harus memeras keringat untuk mengenang lagi cerita masa silam itu, setelah berhenti sekian lamanya baru dia menyambung lagi: "Karena 'cinta' kedua pemuda itu rela dan tega melakukan perbuatan rendah yang paling dipandang hina oleh kaum persilatan, mereka menyamar dan mengenakan kedok, masing2 menggunakan caranya sendiri menuju ke Siau lim si..."
"Akhirnya salah satu diantara mereka mendapat hasil?"
"Memang, salah satu diantara mereka berhasil dengan gemilang, tapi salah seorang yang lain bukan saja tidak berhasil malah terkepung dan mendapat luka berat dibawah keroyokan padri2 Siau lim sie, walaupun akhirnya dapat melarikan diri tapi sejak itu dia menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup!"
Sudah tentu pemuda yang berhasil itu dengan perempuan..."
"Kau dengar saja ceritaku. Waktu pemuda yang berhasil itu mengetahui bahwa saingannya itu sampai terluka berat dan menjadi tanpa daksa, hatinya turut berduka dan menyesal, dia merubah tujuannya yang semula, bukan saja ia menyesal akan perbuatannya yang gila2an dan hina dina ini, disamping itu dia juga tidak puas akan sikap dan tindakan perempuan itu yang menggunakan cara demikian keji untuk menguji mereka. Maka diberikan Bu siang po liok yang berhasil dicurinya itu kepada pemuda saingannya yang cacat itu, terus tinggal pergi dan tidak pernah muncul lagi..."
Tanpa terasa Suma Bing memuji kagum: "Sungguh mengagumkan sikap gagah dan kebajikan hati pemuda itu."
"Ya, tapi waktu dia mengambil kepastian ini betapa pahit getir dan berduka hatinya"
"Selanjutnya bagaimana?"
"Sudah tentu pemuda cacat itu menikah dengan perempuan itu. Mereka mengundurkan diri untuk mempelajari isi dari pelajaran Bu siang po liok itu. Maka sejak itu kalangan Kangouw kehilangan jejak Bu lim sam ki, lambat laun ketenaran nama Bu lim sam ki menjadi luntur dan hilang dilupakan orang ditelan masa..."
Baru sekarang Suma Bing paham, pasti perempuan diantara Bu lim sam ki itu adalah Bu siang sin li itu. Maka tidak heran waktu dirinya meluruk ke Siau lim si hendak mencari ibunya tanpa sengaja ia pertunjukkan Bu siang sin hoat, para pendeta Siau lim si itu lantas hendak meringkus dan mengompresnya, mereka menuduh dirinya ada tersangkut paut dengan peristiwa ter-katung2 tanpa penyelesaian pada ratusan tahun yang lalu, ternyata semua ini ada latar belakang yang belum dimengerti oleh dirinya.
Kang kun Lojin merendahkan kepalanya, kedua matanya menatap tajam kearah Suma Bing, katanya: "Setelah pemuda dan perempuan itu menikah, setahun kemudian lahirlah seorang anak perempuan. Tidak lama setelah anak itu lahir, terjadi perpecahan diantara suami istri itu lantas masing2 berpisah hidup sendiri2. Dan selanjutnya lantas muncul didunia persilatan seorang perempuan yang misterius dia menyebut dirinya sebagai Bu siang sin li..."
"Selama puluhan tahun tidak henti2nya pihak Siau lim si mengutus para jagoan silatnya untuk mengejar dan mencari jejak Bu siang sin li, mereka berharap dapat merebut kembali buku pelajaran yang paling berharga itu. Tapi, Bu siang sin li sendiri sudah merupakan teka teki, munculnya dikalangan Kangouw hanya merupakan bayangan belaka."
Tergerak kesadaran Suma Bing, tanyanya mencari tahu: "Jadi karena urusan ini maka Locianpwe merasa menyesal dan mengganjal dalam sanubari?"
"Ya, memang begitulah!"
"Kalau begitu pasti Locianpwe adalah salah satu dari Bu lim sam ki itu, yaitu pemuda yang berhasil mendapatkan buku Bu siang po liok itu?"
Mata Kangkun Lojin memancarkan sinar aneh, sahutnya penuh haru: "Sedikitpun tidak salah, memang akulah orang tua adanya!"
"Lalu bagaimana wanpwe harus membantu?"
"Apa sangkut pautmu dengan Bu siang sin li?"
"Tiada sangkut paut apa2." sahut Suma Bing tertegun.
"Lalu Bu siang sin hoatmu itu kau pelajari darimana?"
"Ini, mungkin karena jodoh secara kebetulan aku memperoleh pelajaran ini!"
"Siapa orang itu?"
Mengingat sumpahnya kepada Giok li Lo Ci, terpaksa dia menjawab: "Dalam hal ini maaf wanpwe tidak bisa menerangkan!"
Agaknya Kangkun Lojin sangat terpengaruh oleh perasaannya sendiri, tiba2 ia bergegas berdiri, katanya keras: "Buyung, katakan alasanmu?"
Suma Bing juga bangkit berdiri, sikapnya ragu2 dan serba susah, sahutnya: "Locianpwe, wanpwe pernah bersumpah untuk tidak menceritakan persoalan ini kepada siapapun"
"Tapi, terhadap aku orang tua..."
"Sungguh aku sangat menyesai!"
"Apa kau betul2 bukan anak murid Bu siang sin li"
"Hal ini dapat wanpwe jawab sejujurnya, bukan!"
Janggut panjang Kangkun Lojin ber-gerak2, perasaan harunya masih belum lenyap katanya menegasi: "Jadi jelasnya kau menolak membantu aku orang tua untuk menyelesaikan urusan ini?"
"Wanpwe tidak akan mampu melakukannya."
"Baiklah, coba katakan dimana Bu siang sin li mengasingkan diri?"
"Ini..." sebetulnya Suma Bing hendak mengatakan bahwa Bu siang sin li sudah meninggal dunia pada sepuluh tahun yang lalu, tapi teringat akan sumpahnya akhirnya ia telan kembali maksudnya.
"Bagaimana?"
"Maaf wanpwe tidak dapat memberitahu!"
"Kenapa?"
"Karena sumpah!"
"Buyung, kau harus beritahu kepada aku orang tua!" seru Kangkun Lojin gugup sambil mencengkram pergelangan tangan Suma Bing, begitu jarinya mengerahkan tenaga seketika Suma Bing rasakan tubuhnya lemah lunglai, hawa murni dalam tubuhnya buyar lenyap.
"Buyung, katakan!"
"Wanpwe takkan menurut!"
Jari2 Kangkun Lojin mencengkram semakin keras, gertaknya bengis: "Katakan!"
Suma Bing rasakan seolah2 tulang2 dan seluruh nadinya sungsang sumbel dan terlepas dari ruas2nya, hawa murni susah dihimpun, keringat dingin sebesar kacang merembes keluar. Tapi dasar wataknya memang keras kepala, sedikitpun dia tidak kerutkan alis atau mengeluh kesakitan, malah katanya menjengek dingin: "Apa Locianpwe memaksa wanpwe melanggar sumpah dan kepercayaan?"
"Mengingat akan nama kebesaranku, pasti Bu siang sin li tidak akan salahkan kau."
"Tidak mungkin terjadi."
"Kau... harus katakan dimana alamat Bu siang sin li?"
"Tidak!"
"Kau ingin mati?"
Suma Bing mendengus ejek, katanya: "Kalau Locianpwe beranggapan begitu, silahkan turun tangan, aku Suma Bing tidak akan mengerut alis."
Akhirnya Kangkun Lojin menghela napas panjang dan melepaskan cengkramannya, sikapnya lesu dan tidak bersemangat, tangannya diulapkan seraya berkata: "Kau boleh pergi."
Kini ganti Suma Bing sendiri merasa tidak enak dan risi, hitung2 ia adalah seorang Cianpwe angkatan tua, malah dari cerita itu dapatlah dinilai sepak terjang orang tua ini sangat gagah perwira, hatinya sangat mengaguminya. Tapi seorang laki2 harus menepati janji dan sumpahnya mana dia boleh menjilat ludahnya sendiri akan sumpahnya kepada Giok li Lo Ci dan membocorkan rahasia lembah kematian, maka berkatalah ia sejujurnya: "Locianpwe, meskipun wanpwe tidak dapat sepenuhnya membantu, tapi dalam batas2 tertentu dimana wanpwe dapat melakukan, mungkin kelak aku bisa memberikan jawabanku!"
"Buyung, kau pergilah!"
Suma Bing membungkuk hormat terus memutar tubuh lari turun gunung, hatinya terasa seperti kehilangan sesuatu. Mendadak terpikirkan suatu akal dalam benaknya, diam2 ia manggut2 girang.
Pikirnya saat ini memang dirinya tengah akan menuju ke Lembah kematian, mengandal Pedang darah dia hendak minta Bunga iblis. Jikalau Kangkun Lojin menguntit dirinya dan menemukan rahasia lembah kematian itu, ini tidak terhitung dirinya melanggar sumpah. Tapi dengan kedudukan dan ketenaran nama Kangkun Lojin, apa dia bakal berbuat begitu?
Memang besar hasratnya hendak melakukan sesuatu untuk membantu kesukaran orang tua ini, namun hakikatnya kenyataan ini tidak mengijinkan ia berbuat begitu.
Pengalamannya kali ini se-akan2 dialami dalam mimpi belaka. Bahwa dirinya bisa terpilih sebagai ahli waris Raja didalam perkampungan bumi benar2 suatu hal yang aneh diluar tahunya.
Ber-hari2 kemudian tibalah dia dijalan raya, setelah mencari tahu baru diketahui tempat dimana sekarang dia berada kira2 terpaut ribuan li jauhnya dari tempat pertempuran waktu melawan Rasul penembus dada dulu, diam2 ia melelet lidah.
Setelah menimang2 bergegas dia mengambil jalan yang langsung menuju ke Bu kong san. Membekal Pedang darah untuk mohon Bunga iblis, ini bukan saja tujuan utama yang tengah di-impi2kan, juga merupakan pesan terakhir dari Gurunya Sia sin Kho Jiang sebelum ajal, dan yang lebih tepat boleh dikatakan sebagai cita2 yang belum terlaksana oleh ayahnya yaitu Su hay yu hiap Suma Hong.
Setelah Pedang darah dan Bunga iblis dapat disatu padukan pasti dirinya dapat mempelajari ilmu yang tiada taranya, kelak pastilah terkabul cita2nya untuk menuntut balas dendam perguruan dan sakit hati orang tua pasti dapat dihimpas. Lantas dari sini terpikir juga akan ibundanya San hoat li Ong Fan lan yang belum diketahui mati hidupnya. Jikalau ibundanya belum ketemu, maka para musuhnya yang dulu kala ikut mengeroyok ayahnya pasti susah diselidiki jejaknya.
Sumber berita yang paling utama dapat diandalkan hanya Iblis timur seorang, namun Iblis timur sudah mati dibawah cundrik Rasul penembus dada. Dan orang kedua adalah Loh Cu gi. Tapi saat ini mungkin dirinya masih bukan tandingannya Loh Cu gi. Apalagi Loh Cu gi belum tentu mau memberi keterangan siapa2 saja yang ikut serta dalam pengeroyokan dan perebutan Pedang darah itu, ini merupakan suatu soal juga.
Teringat akan Loh Cu gi, mendidih darahnya, murid murtad perguruan, algojo pembunuh ayahnya, bajingan besar yang memperkosa ibundanya, rasanya hanya dibunuh saja manusia durhaka ini masih belum dapat melunasi kejahatan yang sudah diperbuatnya.
Tengah kakinya melangkah, tiba2 teringat olehnya akan tiga cangkir darah pusaka naga bumi yang telah diminumnya itu, menurut kata Pit Yau ang Lwekangnya sekarang sudah bertambah dalam seumpama berlatih enam puluh tahun. Jikalau menurut Lwekangnya sekarang dikombinasikan sebagai landasan dari ilmu Kiu yang sin kang entah dapat mencapai tingkat keberapa, apakah dapat menandingi latihan Loh Cu gi?
Otaknya bekerja matanya pun menjelajah keempat penjuru, tampak rimba lebat disebelah depan sana membelakangi sebuah bukit kecil, maka segera ia putar haluan menuju kepinggir bukit, disitu ia hendak mencari suatu tempat tersembunyi, untuk melebur kekuatan dari darah pusaka naga bumi kedalam Kiu yang sin kang.
Tidak lama kemudian tibalah dia diluar rimba lebat itu, sekian lama dia belak belok menerobos semak belukar didapatinya dibawah bukit sebelah sana terdapat sebuah gua, pikirnya, tempat ini sangat tersembunyi tentu tiada sembarangan orang dapat menerobos datang mengganggu.
Sekali berkelebat tubuhnya melesat kearah mulut gua. Mendadak Suma Bing menjerit kaget dan menghentikan luncuran tubuhnya, matanya mendelong mengawasi lepotan darah yang berceceran menjurus kedalam gua.
Darah manusia ataukah darah binatang?
Dilihat dari warnanya, darah yang berlepotan diatas tanah ini pasti belum lama ini saja.
Se-konyong2 terdengar suara napas ngos2an dari dalam gua diselingi keluhan kesakitan yang luar biasa, karena ditekan maka suara itu hampir tidak terdengar.
Itulah suara manusia! Pasti seseorang terluka berat didalam gua ini, begitulah setelah me-nimbang2, kakinya melangkah maju dan berseru keras kearah gua: "Sahabat manakah yang berada didalam gua?"
Suara keluhan dan napas memburu itu seketika berhenti, tapi tanpa terdengar reaksi apa2.
Sekali lagi Suma Bing berseru: "Siapa itu yang didalam?"
"Siapakah yang diluar?" terdengar suara penyahutan yang lirih tapi nyaring.
Tanpa terasa Suma Bing melengak, ternyata orang didalam itu adalah seorang perempuan. Entah bagaimana dia terluka didalam gua di tengah2 hutan belukar begini? Maka serunya lagi lebih lantang: "Agaknya nona terluka berat?"
"Tidak!"
"Tidak? Bukankah kau tadi mengeluh kesakitan dan darah..."
"Aku..."
"Kau bagaimana?"
"Tidak... apa2, silahkan kau menyingkir."
Karena tertarik dan ingin tahu, Suma Bing berkeputusan hendak mengetahui kejadian sebenarnya secara jelas, alisnya dikerutkan, katanya: "Dapatkah kiranya aku yang rendah menyumbangkan tenagaku?"
Ber-kali2 terdengar pula suara keluhan dan gerengan sakit yang tertahan, se-akan2 dia sangat menderita menahan rasa sakitnya itu. Maka lebih besar rasa curiga Suma Bing, lantas serunya sekali lagi: "Sudah terang kalau nona terluka berat, mungkin cayhe dapat membantu?"
Suara perempuan itu terdengar agak mendongkol: "Ketahuilah... bukan... terluka. Kau! Mengapa begitu cerewet... bertanya saja?"
Suaranya lemah menggagap ter-putus2, ini menandakan suara hatinya bertentangan dengan keadaannya, tapi mengapa dia menolak bantuan orang lain? Ini tentu ada latar belakangnya yang mencurigakan?
Orang itu adalah seorang perempuan, sudah tentu Suma Bing tidak bisa memaksa harus berbuat bagaimana. Walaupun hatinya penuh tanda tanya, tapi apa boleh buat. Maka pikirnya, kalau kau menolak bantuanku, baiklah aku tinggal pergi saja!
Baru saja ia hendak mengundurkan diri, tiba2 suara perempuan itu balik bertanya: "Siapakah tuan ini?"
"Cayhe Suma Bing!"
"Apa? Jadi kau adalah Suma Siau hiap yang kenamaan itu?"
"Tidak berani aku terima puji sanjunganmu yang berlebihan itu, memang itulah Cayhe."
"Kalau begitu..."
"Nona siapa?"
"Aku bernama... Thong Ping..." lalu disusul suara keluhan dan gerengan yang menghebat.
Alis Suma Bing dikerutkan semakin dalam, tak tertahan lagi ia bertanya: "Apakah nona terluka berat?"
"Ti... dak..."
"Lalu apakah yang terjadi?"
"Aku... aku..."
"Kau kenapa?"
"Aku... aduh..."
"Bolehkah cayhe masuk untuk memeriksa?"
"Jangan... sekali2 kau... jangan masuk... aduh!"
Suma Bing menjadi serba susah dan garuk2 kepala. Entah perempuan yang mengaku bernama Thong Ping ini tengah bermain sandiwara apa.
"Sebenarnya nona kenapa?"
"Tidak... apa!"
"Kalau nona memang ada kesukaran yang sulit untuk dibantu, terpaksa cayhe minta diri..."
"Tidak... Suma Siau hiap, kau... jangan pergi!"
"Tapi nona harus menjelaskan yang sebenarnya kepada..."
"Aduh... Suma Siau hiap... harap kau... menunggu sebentar diluar... aku... aduh!"
lagi2 terdengar suara pekik kesakitan lebih keras, sedemikian menusuk hati suara kesakitan itu sehingga mendirikan bulu roma.
Terpaksa Suma Bing berdiri diluar gua dengan bingung keadaannya serba runyam.
Se-konyong2 terdengar suara tangis bayi yang nyaring dari dalam gua.
Seketika merinding seluruh tubuh Suma Bing. Ternyata perempuan bernama Thong Ping ini bersembunyi dalam gua untuk melahirkan. Lalu dia minta dirinya menunggu sebentar untuk apa? Ya, betul, mungkin dia akan minta dirinya panggil dokter dan beli obat, atau mungkin...

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now