36. Tabib Terkenal

3.1K 42 1
                                    

"Terletak dimanakah kamar dalam itu?" tanya Suma Bing penuh was2.

"Kau geser dipan ini tiga senti kekanan, pintu kamar dalam itu akan membuka sendiri, kalau digeser lima senti kekiri dia akan menutup sendiri pula..."

"Kenapa ini..."

"Dengar, setelah kau pindahkan aku dikamar sebelah, kau harus segera keluar dari selokan ini pergilah ke Yok ong bio di Seng toh. kepada Pek Chio Lojin kepala dari biara itu, mintalah sebutir Hoan hun tan. Dalam jangka waktu sepuluh hari kau sudah harus kembali disini, masukkan Hoan hun tan itu kedalam mulutku, lalu dengan Kiu yang sin kang kau bantu bekerjanya obat itu, mungkin aku bisa selamat tanpa kurang suatu apa..."

Suma Bing berkuatir: "Untuk aku bibi Jui hendak menempuh bahaya?"
"Mana bisa aku melihat kau mati setelah cacat begini?"
"Masa tiada jalan lain?"
"Tidak ada!"
"Biarpun mati aku juga tidak setuju!"
"Omong kosong, kau sudah lupa dendam dan, sakit hatimu, masih berapa banyak kebahagiaan orang lain tergantung diatas tubuhmu, mana boleh kau pandang kematian begitu ringan!"
Suma Bing semakin berduka, airmata mulai meleleh keluar, katanya: "Tapi kau bibi Jui..."
"Asal dalam sepuluh hari kau bisa mendapatkan Hoan hun tan, aku tidak bakal mati."
"Kalau terjadi sesuatu..."
"Serahkan saja nasib kita kepada Tuhan!"
"Tidak!"
Wajah Ong Fong jui berobah kaku membengis: "Jangan kau membawa adatmu sendiri."
"Bibi, jangan, jangan kau..."
"Jangan bergerak, sekarang mulai!"
Beruntun Ong Fong jui memukul se-keras2nya diduabelas jalan darah suma Bing, lalu duduk bersila disamping Suma Bing, kedua tangannya menekan jalan darah Bing bun dan Thian leng, maka arus hawa hangat mulai disalurkan.
Bagaimana juga Suma Bing tidak rela Ong Fong jui menempuh bahaya demi jiwanya namun dia tak kuasa melawan dan mendebat, terpaksa dia mandah saja menerima pengobatan. Sedemikian keras dan derasnya arus hawa hangat itu mengalir bagai banjir air bah terus menerjang dan menjebol segala apa saja yang merintang didepannya demikian juga semua jalan darah Suma Bing yang buntu bobol pertahanannya.
Setelah menjebol tiga jalan darah besar, karena benturan hawa hangat ini terlalu keras tak tahan lagi Suma Bing jatuh pingsan.
Waktu dia siuman kembali terasa jalan darahnya sudah normal dan berjalan seperti biasa, hawa murninya penuh sesak bergairah, ternyata semua tenaga murninya sudah terbaur didalam Kiu yang sin kang, dalam berpikir2 itu gelombang panas masih mengalir deras dalam tubuhnya.
Waktu pandang bibinya disamping, tampak wajahnya pucat pias, tubuhnya rebah kaku tanpa bergerak, waktu diraba pernapasannya sudah berhenti, kaki tangan juga sudah dingin, tinggal jantungnya saja yang masih sedikit berdetak.
Betapa perih perasaan Suma Bing kala itu, sungguh dia tidak berani membayangkan, kalau bibinya meninggal karena dirinya...
Mematuhi pesan bibinya dia geser dipan itu kekanan, mendadak dinding sebelah kiri terbuka sebuah pintu, dimana terlihat sebuah kamar lagi lebih besar dan lebih mentereng, tanpa banyak pikir segera ia pindah tubuh bibinya kekamar dalam ini dan direbahkan diatas ranjang lalu mulutnya menggumam: "Bibi, dalam sepuluh hari, seumpama harus mengorbankan jiwa juga obat itu pasti dapat kubawa kembali!"
Memandang awan yang terapung bebas ditengah udara hatinya terasa kecut dan sedih. Sejak dirinya berkelana semua tugas yang harus dikerjakan satupun belum ada yang membawa hasil. Entah kapan tugas suci dan angan2nya bisa terkabul.
Perjalanan kali ini sebetulnya hendak menuju ke Lembah kematian, dengan Pedang darah minta Bunga lblis, besar harapannya dapat melatih ilmu sakti yang tiada taranya, supaya leluasa dia menuntut balas, untuk menyumbangkan tenaganya juga bagi kepentingan dan kesejahteraan kaum persilatan. Akan tetapi, kenyataan semua berlawanan dengan kekendaknya, selalu terjadi rintangan2 yang menjengkelkan ini, bukan saja dia kehilangan Pedang darah, malah jiwa sendiri juga hampir melayang.
Saking marah istri tercinta lari mengejar adiknya yang tidak berbakti dan banyak melakukan kejahatan, entah bagaimana keadaannya sekarang?
Sekian lama dia terpekur mengenangkan pengalamannya yang pahit getir itu, baru akhirnya dia tersadar akan tugas barunya ini, menuju ke Seng toh minta sebutir Hoan hun tan di Yok ong bio. Begitu Bu siang sin hoat dikembangkan seenteng burung dia terbang keluar dari solokan terus menuju jalan raya langsung menuju ke Seng toh.
Tidak jauh diluar kota Seng toh terdapat sebuah bukit kecil, diatas bukit ini, dibangun sebuah biara yang kini sudah rusak dan bobrok tidak terurus. Ditengah belandar diatas pintu terpancang sebuah papan besar yang bercat merah dan sudah luntur, samar2 diatas papan ini tertulis 'Yok ong bio' tiga huruf besar warna kuning.
Waktu matahari sudah doyong kebarat, burung gagak mulai cecowetan kembali kesarangnya, didepan Yok ong bio ini mendatangi seorang pemuda berwajah dingin kaku.
Dia bukan lain adalah Suma Bing yang datang hendak minta sebutir obat.
Berdiri diluar biara Suma Bing termangu dan ber-tanya2 dalam hati, biara ini sudah bobrok tidak terurus masa ada orang yang mau datang bersembahyang disini, mungkinkah ada orang mau mengurus biara bobrok ini?
Tapi ucapan bibinya pasti tidak salah, kedatangannya ini adalah minta bantuan orang tidak boleh berlaku sembrono dan kurang adat, maka dari tempatnya dia berseru kearah dalam. "Apakah ada orang didalam, aku Suma Bing minta bertemu!" beruntun tigakali ia berseru tanpa ada penyahutan.
Dingin perasaan Suma Bing, setelah bimbang segera ia berkelebat memasuki pintu biara.
Biara ini tidak begitu besar, hanya terdapat sebuah ruang sembahyang dan dua emperan samping yang memanjang kebelakang. Rumput alang2 dipekarangan sudah setinggi pinggang orang, malah undakan batu juga sudah berlumut, suara burung gagak yang riuh rendah menambah keseraman keadaan sekelilingnya.
Hati Suma Bing kebat-kebit dan berdetak keras, naga2nya perjalanannya ini menemui kegagalan lagi, sebab agaknya biara ini tanpa penghuni. Kalau perjalanannya ini benar2 gagal tamatlah riwayat hidup bibinya. Tengah berpikir itu tubuhnya melesat menuju ruang tengah tempat sembahyang, begitu tiba melihat apa yang terpancang didepan matanya, seketika dia menyedot hawa dingin, tanpa terasa dia mundur satu langkah besar, badannya gemetar dan merinding.
Ditengah ruang sembahyang ini terletak sebuah peti mati warna merah, didepan meja peti mati ini tersulut sebuah pelita minyak, sinar pelita yang redup ber-goyang2 hampir padam terhembus angin lalu, beberapa batang hio masih tersumat. Waktu pandangannya menjelajah keringat dingin membanjir keluar, ternyata didepan peti mati itu menjulai kertas putih yang bertuliskan: Layon ketua biara Pek chio Lojin.
Habis sudah segala pengharapannya. Ternyata bahwa Pek chio Lojin sudah mati.
Menghadapi layon Pek chio Lojin ini Suma Bing berdiri mematung seperti orang linglung yang sakit ingatan, terpikir olehnya akibat yang menakutkan, bibinya bakal tertidur terus untuk se-lama2nya.
Se-konyong2 timbul sepercik harapan dalam keputus-asaannya, dilihat dari pelita dan hio yang terpasang itu, ini membuktikan bahwa masih ada orang lain dalam biara ini, mungkin anak murid Pek chio Lojin, meskipun Pek chio Lojin sudah meninggal, obat2annya tentu masih tersimpan dan masih ada harapan dirinya bisa memperolehnya.
"Adakah orang didalam?" dia berteriak lantang.
"Siapa itu?"
Sebuah suara dingin mendadak terdengar dari samping sebelah sana. Girang hati Suma Bing, dimana pandangannya menyapu, terlihat dipintu samping pojok sana pelan2 berjalan seorang gadis jelita berpakaian serba hitam.
Suma Bing tertegun, gadis ini berpakaian sedemikian mentereng, wajahnya ayu jelita, keadaan ini sangat kontras dengan situasi yang tengah dihadapinya ini.
Mata gadis baju hitam itu dipentang lebar menatap kearah Suma Bing, tiba2 berobah airmukanya, serunya kaget.
"Tuan adalah Sia sin kedua?"
Suma Bing melengak, sebat sekali ia melesat masuk keruang tengah, diam2 ia heran darimana dia bisa mengetahui dirinya, terdengar mulutnya menyahut: "Benar, itulah cayhe harap tanya nama nona yang harum?"
Nona serba hitam ini mengerut alis, biji matanya berputar2, jawabnya: "Aku bernama Siau ling!"
"Siau ling!"
"Ya, kenapa?"
"Apa nona tidak punya she?"
"Siapa bilang aku tidak punya she?"
"Minta, bertanya..."
"Aku tidak ingin memberitahu!"
Suma Bing tertawa kecut, sikapnya rada risi entah apa yang harus dikatakan.
Nona serba hitam itu berkata lagi: "Untuk apa tuan datang kemari?"
"Mengunjungi seorang Cianpwe."
"Siapa?"
"Pek chio Lojin!"
"Apa kau tidak melihat peti mati ini?"
"Sudah lihat, harap tanya apa hubungan nona dengan Pek chio Lojin?"
"Mendiang guruku."
Berjingkrak girang hati Suma Bing, namun lahirnya tetap bersikap dingin, katanya: "Sungguh tidak terduga gurumu sudah mangkat?"
Sepasang mata jeli nona serba hitam ini ber-putar2 menatap kepada Suma Bing, tanyanya: "Maksud kedatangan tuan..."
"Cayhe ingin minta sebutir Hoan hun tan kepada Pek chio Cianpwe!"
"Hoan hun tan?"
Suma Bing mengiakan.
"Darimana kau tahu kalau mendiang suhu ada membikin Hoan hun tan?"
"Ini... cayhe hanya menerima pesan orang lain."
"Pesan dari siapa?"
"Bibiku Ong Fong jui!"
"Untuk apa?"
Mau tak mau Suma Bing harus berpikir, sudah tentu dia tidak bisa memberi penjelasan se-terang2nya, maka samar2 saja dia menjawab: "Untuk menolong orang!"
"Tapi suhu sudah meninggal!"
"Dapatkah kiranya nona memberi satu butir saja?"
"Setelah mengalami jerih payah selama hidup suhu hanya membuat tiga butir Hoan hun tan, obat ini dipandang barang berharga dalam Bu lim..."
"Maksud nona..."
"Selamanya kita belum berkenalan, mengandal ucapanmu dapatkah aku lantas memberikan Hoan hun tan peninggalan suhu yang sangat berharga itu?"
Sikap Suma Bing berobah sungguh2: "Tiada halangannya Nona mengajukan syarat penggantian!"
"Syarat?"
"Begitulah!"
"Dapatkah syarat yang kuajukan kau kerjakan?"
"Coba saja nona sebutkan?"
"Diganti dengan batok kepalamu, bagaimana syarat ini?"
"Dengan batok kepalaku untuk mengganti sebutir Hoan hun tan?"
"Kau sendiri mengatakan aku boleh mengajukan syarat sesuka hatiku."
Sekian lama Suma Bing bimbang dan serba salah, namun demi menolong jiwa bibinya, akhirnya dia menjadi nekad, katanya: "Apakah nona sedang bergurau?"
"Suma Bing, kau ingin minta Hoan hun tan, ini juga berkelakar bukan?"
Suma Bing benar2 nekad, sahutnya: "Baik, aku setuju!"
Sedikit berobah rona wajah gadis serba hitam ini, agaknya jawaban tegas Suma Bing ini benar2 diluar sangkanya, tanpa terasa tercetus seruannya: "Kau setuju?"
"Aku setuju, tapi..."
"Tapi apa?"
"Kusertai sebuah permintaan!"
"Permintaan ana?"
"Kepala cayhe ini setengah tahun kemudian baru bisa kupersembahkan!"
"Mengapa?"
"Masih banyak urusan yang harus cayhe selesaikan!"
Nona serba hitam mendengus, katanya dingin: "Kalau aku tidak setuju!"
Suma Bing tertegun dan mundur selangkah, katanya terharu: "Tabib pandai harus mengobati, obat mujarab untuk menolong orang, bukan untuk membunuh orang?"
"Hm, jadi kau menyesal dan menarik balik ucapanmu?"
"Cayhe tidak bermaksud demikian!"
"Kalau begitu ketahuilah, begitu aku sudah serahkan Hoan hun tan itu kau harus segera serahkan kepalamu."
"Nona memaksa keterlaluan!"
"Kalau kau beranggapan syarat ini terlalu kejam. Kau tidak perlu adakan jual-beli ini?"
"Cayhe sudah bertekad harus mendapatkan Hoan hun tan itu!"
"Bagaimana tuan harus mendapatkan?"
Sejenak ragu2, lantas Suma Bing berkata dengan nada tegas: "Aku minta dengan hormat, kalau terpaksa yah apa boleh buat!"
"Itu berarti tuan hendak menggunakan kekerasan?"
"Bila memang terpaksa apapun akibatnya akan kulakoni!"
Tatkala itu sang surya sudah silam kebarat, sang malam sudah mulai mendatang, keadaan sekelilingnya sudah mulai gelap remang2.
Mendadak terlihat si gadis baju hitam berubah air mukanya tubuhnya menggeser maju mendekati layon, matanya mendelong mengawasi keluar dengan ketakutan.
Suma Bing heran dan tak mengerti dibuatnya menurut arah pandangan si gadis baju hitam dia melihat seketika bergejolak darahnya seakan jantungnya hampir pecah, hawa membunuh menyelubungi wajahnya. Kiranya diatas belandar sebelah barat sana berdiri seorang berpakaian serba putih dengan kedok kepala putih pula, sebilah cundrik merah darah tergambar didepan dadanya, dia bukan lain adalah Rasul penembus dada.
Mata Rasul penembus dada bersinar tajam menyapu keadaan ruang sembahyang lalu perdengarkan suara lengkingnya yang menyedot sukma orang: "Pek chio anjing tua, keluarlah serahkan jiwamu!"
"Tuan orang kosen darimana?" tanya gadis baju hitam itu gemetar.
"Akulah Rasul penembus dada!"
"Ada permusuhan apakah kau dengan mendiang guruku?"
"Kau tiada harganya bertanya, suruh anjing tua itu menggelinding keluar!"
"Suhu sudah meninggal dunia!"
"Apa anjing tua sudah mati?"
"Tuan bicaralah kenal sopan santun!"
"Cara bagaimana dia mati?"
"Sakit keras!"
"Hahahaha... Mati sakit? Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan yang pandai pengobatan, mana bisa dia mati karena sakit?"
"Kalau memang sudah ajal, betapapun mustajap obat dewa juga tidak mungkin dapat menyembuhkan orang sakit. Seumpama Hoa toh (tabib kenamaan pada jaman Sam kok) sendiri juga tidak bisa hidup sepanjang masa."
"Kau ini muridnya!"
"Benar, akulah muridnya!"
"Jenazahnya berada didalam peti mati itu?"
"Ya."
"Bongkar kembali!"
"Tidak mungkin!" seru gadis baju hitam beringas.
"Terpaksa aku sendiri turun tangan!" hilang suaranya tiba pula tubuhnya, bagai bayangan malaikat secepat kilat dia melayang tiba didalam ruang sembahyang.
Sementara itu Suma Bing sendiri sudah tidak kuat menahan sabar, serta mendengar ucapan orang, pikirnya, 'aku sendiri malah tidak berpikir sampai disitu, mungkin Pek chio Lojin memang pura2 mati, mengapa aku tidak menonton saja mengikuti suasana.' Karena pikirannya ini segera ia melejit mundur menyingkir lima kaki.
Sekilas Rasul penembus dada pandang Suma Bing dengan sorot mata yang me-nyala2, lalu mengalihkan pandangannya kepeti mati itu. Tiba2 sebelah tangannya diangkat mengarah kepeti mati itu dan berseru dingin: "Lebih baik kau tahu diri dan buka peti mati itu?"
Gadis berbaju hitam menggigit gigi sambil mendengus: "Orang mati dendamnya himpas, apa kau hendak merusak jenazahnya?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Kau berani?"
Rasul penembus dada menyeringai seram: "Kau tidak akan mampu merintangi aku!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring tangannya diayun memukul kearah gadis baju hitam, pukulannya ini betul2 hebat dan menakjubkan, diam2 Suma Bing melelet lidah melihat kelihayan serangan ini. Kontan gadis baju hitam itu terpental mundur terdesak sampai mepet dinding.
'Blang!' dimana terlihat kayu hancur ber-keping2 begitu peti itu hancur terlihat sesosok mayat rebah didalam peti mati itu, itulah seorang tua ubanan yang berbadan kurus kering bagai kayu.
"Iblis laknat, biar nonamu adu jiwa dengan kau!"
Gadis baju hitam menubruk maju sambil melancarkan sembilan kali pukulan berantai yang menggila. Sekaligus sembilan pukulan ini dilancarkan perbawanya bagai gelombang badai dan kilat menyambar. Dibawah serangan lawan yang nekad ini Rasul penembus dada terdesak mundur lima langkah.
"Kau cari mati!" bentak Rasul penembus dada. Sambil membentak beruntun ia balas menyerang tiga hantaman. Memangnya kepandaian gadis baju hitam ini kalah jauh, lagi2 ia terdesak mundur ber-ulang2.
Dimana terlihat sinar putih berkelebat, tahu2 Rasul penembus dada sudah mencekal sebilah cundrik yang kemilau bersinar dingin.
Tampak kedua tangan gadis baju hitam bergantian diayun, seketika berhamburan kabut warna hitam melayang tiba mengurung Rasul penembus dada.
Tapi sebelum kedua tangan gadis baju hitam berhenti bergerak terdengar dia berpekik kesakitan terus roboh terkapar tanpa bergerak lagi.
Kiranya kabut hitam itu adalah pasir beracun yang disambitkan. Sungguh bukan olah2 hebat kepandaian Rasul penembus dada, sebelum pasir2 beracun itu mengenai tubuhnya, sebat sekali tubuhnya berkelebat keluar dari kurungan taburan pasir beracun lawan lalu sekaligus dia kirim sebuah tutukan menutuk jalan darah gadis baju hitam. Kepandaian, seperti ini benar2 sangat mengejutkan.
Suma Bing ter-longong2 memandangi peti mati yang sudah pecah berantakan itu. Terbayang olehnya sewaktu dirinya untuk pertama kali terjun didunia persilatan. Mendapat perintah gurunya untuk membunuh Bu lim sip yu. Keadaan waktu berada di Ngo ou pang persis benar seperti hari ini. Kala itu dirinya juga tidak percaya kalau Ngo ou pangcu Coh Pin sudah mati dengan kukuh dia minta peti mati dibuka kembali untuk diperiksa. Sekarang bukan saja Rasul penembus dada sudah memecah peti mati juga akan merusak jenazah itu.
Bersamaan waktu gadis baju hitam roboh terkapar. Rasul penembus dada langsung berkelebat tiba dipinggir peti mati, dimana cundriknya yang kemilauan sudah terangkat.
Benak Suma Bing berputar cepat, tak peduli Pek chio Lojin benar2 mati atau pura2 mati. Yang benar dirinya hendak minta obat kepada orang, Rasul penembus dada ini juga merupakan musuh besarnya, mana bisa dibiarkan saja...
Karena pikirannya ini gesit sekali tubuhnya mendesak maju mendekati Rasul penembus dada, bentaknya sinis: "Letakkan cundrik itu!"
Rasul penembus dada melotot gusar kearah Suma Bing sambil membanting kaki, tanpa terasa dia turunkan cundrik yang sudah terangkat tinggi itu, katanya: "Suma Bing, kau hendak berbuat apa?"
"Membuat perhitungan!"
"Nanti setelah kerjaanku selesai, seumpama kau tidak mencari aku, malah aku akan mencarimu!"
"Tidak kuizinkan kau menyentuh jenazah itu."
"Tidak boleh? Apa kau bisa?"
"Silahkan kau coba2."
Rasul penembus dada mendesis geram, sinar tajam berkelebat cundrik ditangannya itu tahu2 sudah menyelonong mengarah ulu hati Suma Bing. Cara tusukan ini benar secepat kilat dan aneh sekali. Suma Bing insaf dirinya tak bakal dapat melawan tusukan maut ini, gesit sekali badannya melayang berkelit, kalau tidak mengandal kehebatan Bu siang sin hoat, sudah siang2 cundrik musuh itu sudah bersarang didadanya.
Memang sudah terhindar dan selamat dari serangan maut itu. Tapi tak urung jantungnya berdetak keras, keringat dingin membasahi jidatnya.
Baru saja Suma Bing berkelebat menyingkir. Mendadak Rasul penembus dada membalik tubuh, cundriknya lagi2 menusuk kearah peti mati!
"Cari mati!" Suma Bing membentak sengit, segulung angin pukulan bagai gugur gunung langsung menerjang tiba, sejak dia minum Darah pusaka naga bumi, betapa tinggi dan dalam kekuatan tenaga dalamnya, sukar dicari tandingan di Bu lim.
Rasul penembus dada membalik sebuah tangan untuk menangkis. Ternyata kali ini dia tidak kuat bertahan, beruntun mundur lima tindak.
Mendapat peluang ini cepat2 Suma Bing mendesak maju merintang didepan peti mati.
Pada saat itulah kebetulan gadis baju hitam kebetulan berdiri, tanpa buka suara tangannya diangkat terus menghantam kepunggung Rasul penembus dada.
"Menyingkir!" Lalu disusul seruan kejut yang ketakutan.
Dengan kecepatan bagai kilat Rasul penembus dada membalik tangan menangkis lalu disusul cundriknya berkelebat menusuk. Gadis baju hitam itu tak mampu lagi menyingkir. Baju didepan dadanya seketika dedel dowel, buah dadanya yang putih montok itu membal keluar, sambil berseru kaget cepat2 kedua tangan disilangkan didepan dada untuk menutup sambil mundur sampai dipojokan.
Kontan merah jengah wajah Suma Bing melihat adegan yang lucu menggelikan ini.
"Cundrik penembus dada hanya khusus untuk membunuh para durjana, kau tidak tercatat dalam daftar, maka kuampuni jiwamu!"
Gadis baju hitam tidak berani banyak tingkah dan bercuit lagi.
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, apa maksud dengan daftar yang tercatat itu? Naga2nya Jeng siong hwe mengutus Rasul penembus dada membunuh dan menimbulkan banjir darah dikalangan Kangouw merupakan kejadian yang sudah direncanakan terlebih dulu. Mungkin mereka membunuh karena menuntut balas, atau mungkin juga ada latar belakang lainnya. Tapi tak peduli bagaimana, hari ini dirinya harus merintangi perbuatan keji Rasul penembus dada. Kalau tidak jikalau Hoan hun tan tidak bisa diperoleh bukanlah berarti jiwa bibinya Ong Fong jui akan melayang. Maka hardiknya keras: "Rasul penembus dada, perhitungan kita selesaikan dalam pertemuan selanjutnya. Sekarang silahkan kau menggelinding pergi!"
Rasul penembus dada ganda mendengus ejek: "Suma Bing, kau sedang bermimpi!"
"Kau enyah tidak?"
"Kau hendak menjual jiwamu untuk Pek chio Lojin?"
"Kalau benar kau mau apa?"
"Apa hubunganmu dengan setan tua itu?"
"Kau tidak perlu tahu!"
"O, mungkin kau ketarik dengan muridnya ini?"
"Kau kentut apa?"
"Suma Bing, jiwamu hanya sementara saja kutitipkan diatas badanmu. Cundrik penembus dada setiap saat bisa melobangi dadamu. Ketahuilah diatas daftar pencabutan jiwa namamu masih tercantum dan belum kucoret!"
Suma Bing menggerung gusar, semprotnya: "Meski cundrikmu itu tajam, takkan mempan menusuk dadaku!"
"Boleh kau tunggu saja!"
"Sekarang aku ingin kau enyah!"
"Suma Bing, jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, masih banyak lagak menjual jiwa bagi kepentingan orang lain?"
"Belum tentu!"
"Coba kau berpaling!"
Suma Bing agak terkejut, waktu ia berpaling seketika merinding bulu tengkuknya, diarah dekat pintu biara sebelah luar berjajar berdiri empat orang serba putih dan berkedok putih pula, jubah didepan dada mereka bergambarkan sebuah cundrik merah darah.
Benar2 Suma Bing merinding dibuatnya, sungguh diluar sangkanya dalam waktu bersamaan ini sekaligus muncul lima Rasul penembus dada.
Jikalau kepandaian dan Lwekang kelima Rasul penembus dada ini sama tinggi dan lihaynya, hari ini mungkin dirinya susah menang, kalau untuk merat saja tidak menjadi soal, tapi untuk melindungi Pek chio Lojin guru dan murid agaknya tidak gampang.
Tapi pembawaan wataknya yang keras dan sifat2 sesat gurunya yang sudah menular dan berdarah daging itu membuat dia tidak tahu apa artinya mundur, sekilas ia menyapu pandang para musuhnya, wajahnya membeku dingin tanpa mengunjuk reaksi, jengeknya dingin: "Mengandal kekuatan kalian berlima?"
"Masa belum cukup untuk mengantar kematianmu?"
"Mari segera dimulai!"
Rasul penembus dada yang berhadapan dengan Suma Bing itu ulapkan tangan, segera empat rasul lainnya yang berdiri diambang pintu serentak menubruk kearah Suma Bing sambil kirim serangan gabungan, empat gelombang badai pukulan menerpa mengurung seluruh tubuh Suma Bing.
Suma Bing insaf kalau dirinya berkelit menyingkir meninggalkan peti mati ini, pasti Rasul yang seorang itu menggunakan peluang ini untuk turun tangan. Maka terpaksa dia tetap berdiri ditempatnya dan kerahkan tenaga dikedua belah tangan untuk menyambut serangan tenaga gabungan empat musuhnya secara keras.
Dar... ditengah benturan yang menggeledek ini, terjadilah hujan abu dan pecahan genteng berhamburan, seluruh bangunan kelenteng itu tergetar ber-goyang2 hampir ambruk. Kalau Suma Bing masih berdiri tanpa bergeming dengan muka pucat, sebaliknya keempat musuhnya itu tergetar mundur sempoyongan.
Sementara itu gadis baju hitam sudah membetulkan letak pakaiannya, dengan sorot mata yang susah dijajaki dia tengah mengawasi Suma Bing.
Begitu dapat berdiri tegak lagi keempat Rasul itu segera merangsang maju lagi lebih hebat dari jurusan yang berlainan, masing2 lancarkan sebuah pukulan lagi.
Seketika terlihat bayangan pukulan berkelebat bagai bentuk gunung, perbawanya bagai gelombang lautan yang tidak kenal putus. Sedemikian keras dan deras samberan angin pukulan itu seumpama keserempet saja pasti kulit manusia bisa terkupas, bukan saja perlawanan Suma Bing ini sangat aneh dan ajaib kecepatan bergerak juga bagai kilat. Seluruh tokoh silat pada masa itu yang kuat bertahan dari kepungan empat Rasul sekaligus mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pertempuran para tokoh silat yang berkepandaian sempurna, kalah menang hanya tergantung dalam waktu sedetik saja, hampir boleh dikata tiada kesempatan untuk berpikir.
Tanpa sadar terpaksa Suma Bing gunakan gerak kelit dari ilmu Bu siang sin hoat berkelebat keluar dari kepungan para musuhnya, dan hampir dalam waktu yang bersamaan Rasul penembus dada yang membekal cundrik terhunus itu dengan kecepatan kilat terus menubruk maju kearah peti mati.
Suma Bing berpekik kalap: "Berani kau!"
Seluruh kekuatan dihimpun untuk melancarkan pukulan Kiu yang sin kang yang dahsyat.
Sejak minum darah pusaka naga bumi, dan sudah membaurkan kekuatan tambahan ini kedalam Kiu yang sin kang, perbawa kekuatan pukulan Kiu yang sin kangnya sekarang sudah berlipat ganda lebih hebat dari sebelumnya. Meskipun belum bisa mencapai tingkatan Loh Cu gi yang dapat sekali pukul membumi hanguskan benda tapi juga sudah sangat mengejutkan.
Gelombang panas bagai lahar gunung berapi segera menggulung tiba, kecepatannya juga sangat mengejutkan.
Terdengar jerit panjang yang mengerikan, tampak Rasul penembus dada terbang sejauh satu tombak lebih, kedok putih yang menutup mukanya berobah warna darah.
Belum lenyap suara jeritan pertama disusul lagi jeritan kedua, kini Suma Bing sendiri yang terpental terbang kebelakang menumbuk dinding, dan 'Bum' tubuhnya melorot jatuh lagi dikaki tembok.
Yang turun tangan membokong Suma Bing ini bukan lain adalah keempat Rasul lainnya itu.
Sambil menggigit bibir Suma Bing merangkak bangun, ujung bibirnya berlepotan darah segar, baju depan dadanya juga basah kuyup oleh darah.
Melihat keadaan Suma Bing ini, keempat Rasul itu agak gugup dan kesima, mereka mundur ketakutan.
Wajah Suma Bing sedemikian pucat menakutkan, sorot matanya memancar buas menggiriskan bulu roma, dengan langkah lebar dia menghampiri kearah peti mati, lalu berputar menghadapi keempat Rasul itu lagi.
Agaknya keempat Rasul itu sesaat terpengaruh oleh sorot mata dan sikap gagah Suma Bing, mereka berdiri terlongong tanpa bergerak lagi.
Rasul yang terpukul oleh hantaman Suma Bing saat itu juga sudah terhuyung bangun, tangannya masih tetap menggenggam cundriknya itu, sorot matanya menembus keluar dari balik kedoknya menatap wajah Suma Bing, keadaan ini benar2 membuat merinding bagi yang menyaksikan.
Walaupun malam semakin larut, keadaan sekelilingnya hitam pekat, tapi bagi mereka tokoh2 silat kelas tinggi, kegelapan malam tidak menjadi halangan, mereka masih tetap dapat melihat seperti disiang hari.
Sementara gelanggang pertempuran hening senyap, tapi mengandung nafsu membunuh yang me-luap2 dan setiap saat dapat meledak.
Agaknya Rasul yang mencekal cundrik itu adalah kepala dari kawanan Rasul itu, sedang empat yang lain hanya pembantunya saja.
"Maju!" Rasul yang mencekal cundrik itu memberi aba2, keempat Rasul lainnya bagai tersadar dari lamunannya, serempak mereka maju mendesak.
Saat mana Suma Bing juga menghimpun kekuatannya pada kedua lengannya siap menghadapi setiap serangan.
Setelah maju beberapa langkah, berbareng keempat Rasul itu lancarkan sebuah pukulan.

Pedang Darah Bunga Iblisحيث تعيش القصص. اكتشف الآن