41. Masa Depan yang Hampa

2.9K 49 0
                                    

Setelah memikirkan timbal balik untung ruginya, segera Loh Siau ling berkata lantang dan tegas: "Racun diracun, baiklah aku menyetujui jual beli ini!"

"Kita sudah saling tukar, maka antara kau dengan Suma Bing sudah tidak ada utang piutang lagi?"

"Baiklah."

"Ini adalah obat pemunah, ambillah, setelah tiga li dari sini baru kalian telan, bagikan setiap orang satu butir, jumlahnya tepat dan tidak kurang!" 

Lantas dilontarkan sebuah botol kecil kearah Loh Siau ling.

Enteng sekali Loh Siau ling ulurkan tangan menyambuti terus berpaling kearah perempuan cantik setengah umur seraya berkata: "Mah, mari kita pergi!"

Maka terlihat bayangan orang berkelebat dalam sekejap mata saja semua jagoan anak buah Bwe hwa hwe berloncatan menghilang dari pandangan mata...

Tampak Sim tong Tongcu Song Liep hong, anak buah dari Perkampungan Bumi ter-sipu2 tampil kedepan menghadap Suma Bing serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk!"
Suma Bing menghela napas panjang2, dan berkata: "Biarkan mereka pergi, setelah itu kalian juga boleh pulang!"
"Hamba menerima perintah dari Te kun, untuk menyertai dan melindungi Huma!"
"Tidak perlu lagi, kalian boleh pergi!"
"Ini..."
Melotot mata Suma Bing, semprotnya: "Aku ingin kalian pergi!"
"Baik", sahut Song Liep hong sambil membungkuk tubuh mengundurkan diri.
Tak lama kemudian semua orang sudah pergi, keadaan gelanggang menjadi sepi tinggal Racun diracun berhadapan dengan Suma Bing, mereka tenggelam dalam pikiran masing2 tanpa buka suara sekian lamanya.
Akhirnya Racun diracun membuka kesunyian, katanya: "Suma Bing, kau anggap sepak terjangku tadi sangat menyinggung perasaan dan harga dirimu bukan?"
Kata2 ini langsung menusuk kelubuk hati Suma Bing, semangatnya menjadi lesu, katanya masgul: "Mengapa tuan berbuat demikian?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati secara konyol dan penasaran!"
"Mengapa?"
"Kelak kau akan paham!"
"Apa benar daerah ini adalah tempat terlarang tuan?"
"Ini... hehe, hanya menggertak supaya mereka pergi!"
"Silahkan tuan juga pergi!"
"Kau tidak ingin bicara dengan aku?"
Terlintas hawa membunuh pada air muka Suma Bing, desisnya dingin: "Pertemuan yang akan datang mungkin aku harus membunuhmu!"
Tawar2 saja Racun diracun berkata: "Terserah apa yang hendak kau perbuat, asal kau mampu melakukan!"
"Dan lagi, cayhe masih dapat membedakan antara budi dan dendam, memang hutangku terlalu banyak kepadamu, nanti setelah semua urusan pribadiku selesai kukerjakan, biarlah aku menebus hutangku itu dengan kematian jiwaku!"
"Untuk ini rasanya tidak perlu!"
"Silahkan, tuan boleh pergi!"
Sambil bersuit melengking tinggi laksana jeritan setan, tiba2 tubuh Racun diracun melayang jauh terus menghilang.
Suma Bing termangu memandangi bayangan manusia misterius yang menakutkan itu menghilang dari pandangan matanya, entah bagaimana perasaan hatinya. Kawankah? Musuhkah? Berbudi atau berdosa? Tak dapat dia membedakan dan menganalisa termasuk orang macam apakah Racun diracun ini. Tapi bagaimanapun juga, dasar keinginannya hendak membunuhnya takkan goyah atau berubah.
Ia telah menerima budi dan kebaikan seorang lain, ingin benar dia membalas budi atau kebaikan orang itu. Tapi alasan lain yang lebih kuat, mau tak mau mengharuskan dia membunuh orang yang menanam budi ini, perasaan dan perang batin yang kontras ini, sungguh sangat menyedihkan dan menekan jiwanya. Apalagi bagi seorang yang jelas dapat membedakan antara budi dan dendam atau kejahatan, kekontrasan ini akan lebih mendalam. Begitu juga keadaan Suma Bing pada waktu itu, berada dalam kekontrasan yang mencekam sanubarinya.
Mendadak ia tergugah dari lamunannya, teringat olehnya keadaan bibinya yang masih sangat kritis didalam solokan, dan istrinya Phoa Kin sian sedang pergi menolongnya. Entah Hoan hun tan yang diperolehnya itu ada manjur atau tidak? Dalam berpikir itu, kakinya segera ber-lari2 mengembangkan ilmu ringan tubuhnya terus melayang bagai terbang masuk kedalam solokan yang curam itu.
Kira2 ratusan tombak kemudian, terdengar olehnya suara bentakan dan makian yang riuh rendah dari balik rimba sebelah depan sana. Tanpa terasa tergerak benak Suma Bing. Tempat ini tidak jauh dari solokan tak bernama itu, siapakah yang tengah bertempur disini. Sedikit merandek, terus dia putar haluan dan berlari kearah datangnya suara bentakan.
Semakin dekat suara bentakan dan pertarungan semakin nyata dan jelas. Kiranya disebuah rimba yang membelakangi sebuah kaki bukit, samar2 terlihat berkelebatnya bayangan beberapa orang.
Begitu mengencangkan kaki, seenteng burung walet tubuhnya terbang menerobos hutan terus hinggap dipinggir gelanggang pertempuran. Waktu melihat tegas siapa2 yang tengah bertempur itu, seketika mendidih darah panasnya. Tampak dua orang Rasul penembus dada tengah bertempur seru dan sengit melawan Phoa Kin sian kakak beradik, malah masih ada dua Rasul lainnya yang berdiri menonton dipinggiran.
Phoa Kin sian kakak beradik tengah mati2an melawan seorang Rasul penembus dada, keadaannya sudah terdesak dibawah angin, tidak lama lagi pasti keduanya dapat dikalahkan oleh musuh2nya ini.
Terdengar salah seorang Rasul yang menonton dipinggiran itu berseru mengancam: "Phoa Cu giok, serahkan Pedang darah kepada kami, supaya kuampuni jiwa anjingmu itu!"
Seketika berkobar semangat Suma Bing, naga2nya Pedang darah masih berada ditangan Phoa Cu giok. Maka segera ia tampil kedepan seraya menghardik: "Berhenti!"
Bentakan yang keras bagai geledek ini kontan menggetarkan perasaan mereka yang tengah bertempur. Serta merta mereka menghentikan pertempuran.
Wajah Suma Bing membeku bagai es, sorot matanya memancarkan sinar kebuasan yang mengandung nafsu membunuh, selangkah demi selangkah kakinya bertindak maju memasuki gelanggang.
"Sia Sin kedua!" tercetus seruan kaget berbareng pada keempat Rasul penembus dada.
Begitu memasuki gelanggang pertama2 yang diperhatikan oleh Suma Bing adalah Phoa Kin sian, tanyanya penuh kuatir: "Adik Sian bagaimana keadaanmu. Bagaimana pula keadaan bibi..."
"Aku tidak apa2. Suhu sudah siuman, tapi keadaannya masih sangat lemah, saat ini tengah bersamadi memulihkan tenaga!"
"O," sahut Suma Bing terhibur lega. Lantas pandangannya menatap kearah Phoa Cu giok, katanya dengan nada rendah berat: "Cu giok, yang sudah lalu tidak perlu dipersoalkan lagi. Sekarang kembalikan Pedang darah itu kepadaku!"
"Adik Giok." sambung Phoa Kin sian, suaranya gemetar: "Keluarkanlah!"
Dengan rasa kikuk dan malu sambil melirik kepada Suma Bing, akhirnya Phoa Cu giok merogoh keluar Pedang darah dari dalam kantongnya...
Dimana terlihat bayangan berkelebatan, mendadak keempat Rasul penembus dada berbareng menubruk maju. Dua diantaranya menerjang kearah Suma Bing, sedang dua yang lain menyerang kepada Phoa Cu giok dan Phoa Kin sian. Maka angin pukulan bagai gelombang badai segera menerjang tiba dengan dahsyatnya.
Timbul kemurkaan Suma Bing, sambil menggertak keras kedua tangannya bergerak sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyongsong serbuan musuh.
Terdengar dentuman dahsyat yang memekakkan telinga. Kedua Rasul yang menerjang kearah Suma Bing terpental balik dengan jungkir balik, namun Suma Bing sendiri juga tidak dapat berdiri tegak, beruntun kakinya terhuyung lima tindak.
"Pedang darah!" tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir Phoa Cu giok.
Maka terlihat sebuah bayangan orang melesat keluar dari gelanggang pertempuran terus berlari dengan kencang sekali. Tanpa banyak pikir lagi, segera Suma Bing kembangkan ilmu Bu siang sin hoat, bagai bayangan setan iblis, tahu2 dia sudah menghadang didepan bayangan yang lari tadi, begitu tangan kiri bergerak membabat, tangan kanan juga ikut membalik terus mencengkram kedepan. Berkelebat sambil menyerang sungguh kecepatannya susah diukur seumpama kilat menyambar.
Terdengar seruan tertahan, lantas terlihat bayangan itu limbung sempoyongan beberapa langkah. Dari perawakannya dapat diketahui, bahwa yang merebut Pedang darah itu adalah pentolan dari keempat Rasul itu. Tiga bayangan yang lain lagi sudah menubruk tiba lagi dengan kecepatan bagai bintang meluncur.
Pandangan Suma Bing menatap tajam Rasul yang berada dihadapannya, tiba2 kedua tangannya bergerak ber-putar2 terus disodokkan kedepan dengan kekuatan Kiu yang sin kang. Bau terbakar dan hawa panas segera merangsang kedepan bagai gelombang badai gurun sahara. Kontan ketiga bayangan orang itu berloncatan minggir menyelamatkan diri.
"Serahkan!" desis Suma Bing sambil mendesak maju dua langkah kearah Rasul penembus dada, wajahnya membesi diliputi hawa pembunuhan.
Tiba2 selarik sinar terang yang menyilaukan mata meluncur memapak kedatangan Suma Bing, kiranya itulah cundrik Rasul penembus dada yang disambitkan langsung mengancam dadanya. Sambil menggeram gusar Suma Bing mengelak kesamping sambil mengirim sebuah pukulan. Ternyata kepandaian Rasul penembus dada juga bukan olah2 hebatnya, hanya dalam waktu sedetik itu saja tiba2 tubuhnya juga sudah berkelit sejauh lima tombak.
"Seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat lari!" belum habis suara Suma Bing, tahu2 dia sudah berada dihadapan lawan lagi, terus beruntun kirim lima serangan berantai yang dahsyat. Maka terlihat Rasul penembus dada terhuyung mundur sambil mulutnya menguak, terlihat kerudung putihnya itu kini berobah berwarna merah.
Pedang darah bagi Suma Bing adalah sangat penting, lebih penting dari jiwa sendiri, bagaimana juga harus direbut kembali, maka bentaknya bengis: "Kau mau serahkan tidak?"
"Suma Bing," seru Rasul penembus dada gemetar, "Kau akan mati tanpa tempat liang kubur yang layak."
"Serahkan!"
"Tidak bisa!"
"Jadi kau ingin mati!" — sambil membentak, Kiu yang sin kang sudah dilancarkan menyerang lagi.
'Blang!' terdengar Rasul penembus dada mengeluh tertahan, tubuhnya pelan2 jatuh terkulai.
Disamping sana keadaan Phoa Kin sian dan adiknya juga dalam bahaya, mereka juga kewalahan menghadapi Rasul yang berkepandaian lihay diatas mereka, berulang kali mereka sudah terpukul dengan telak sehingga muntah darah, tinggal tunggu waktu saja mereka berdua bakal roboh tanpa nyawa lagi.
Sementara itu Suma Bing sudah mengulur tangan hendak mencengkram pinggang Rasul yang telah roboh itu...
Tiba2 sejalur angin kencang terasa menyerang punggung Suma Bing. Terpaksa Suma Bing harus miringkan tubuh sambil balas menyerang sekuatnya. Betapa cepat serangan bokongan ini maka Suma Bing juga harus melayani sama cepat, tapi toh tidak kuasa berkelit.
'Bum!' karena getaran yang kuat ini, Suma Bing sampai terpental sempoyongan.
Menggunakan peluang ini, Rasul yang membokong ini gesit sekali melejit tiba terus meraup Pedang darah yang berada dipinggang kawannya terus loncat jauh hendak lari...
Bola mata Suma Bing merah membara, kedua tangannya diayun bergantian, gelombang panas yang dahsyat segera mendera maju ditengah udara, dibarengi tubuhnya juga ikut melesat maju mencegat jalan lari musuh. Kontan Rasul yang lari itu terpukul balik oleh angin pukulannya itu. Dirangsang nafsu membunuh, serangan Suma Bing semakin deras dan dahsyat, lagi2 dua kali pukulan dilancarkan untuk merobohkan musuhnya.
Maka terdengarlah lolong panjang yang menyayatkan hati memecah kesunyian dalam rimba raya. Tampak Rasul penembus dada itu terbang me-layang2 dan terbanting keras dua tombak jauhnya. Pedang darah yang dipegangnya juga terlempar jauh dari cekalan tangannya.
Sebat sekali Suma Bing meraup Pedang darah itu terus dimasukkan kedalam kantong bajunya, baru sekarang dia dapat menghela napas panjang yang melegakan. Sekali lagi tubuhnya berkelebat, tahu2 dia sudah tiba ditempatnya semula dimana Rasul penembus dada yang lain rebah tak berkutik lagi, terus mencengkram mukanya...
Begitu kedok dimuka Rasul penembus dada tertanggalkan, tanpa terasa Suma Bing berteriak kejut sambil mundur dua langkah.
Kiranya Rasul penembus dada yang kenamaan dan sangat disegani diseluruh Kangouw itu ternyata adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita.
Keruan hal ini benar2 sangat mengejutkan dan diluar dugaan Suma Bing.
Dua pasangan lain yang tengah bertempur juga lantas berhenti sendirinya tanpa diminta, mereka maju mendekat.
Pimpinan dari keempat Rasul itu kini sudah pelan2 merayap bangun, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, katanya ber-api2 penuh kebencian: "Suma Bing, kalau kau mau segeralah bunuh aku. Kalau tidak akan datang satu hari aku membunuhmu!"
Setelah Pedang darah dapat direbut kembali, lapang dan legalah hati Suma Bing, apalagi setelah diketahui kalau lawan ini ternyata seorang gadis rupawan, nafsu membunuhnya telah menghilang tanpa bekas. Mendengar ancaman orang ini, segera ia bergelak tertawa, ujarnya: "Mengandal ucapanmu ini, biarlah kulepaskan kalian pergi. Kalau ingin membalas dendam, se-waktu2 aku nantikan kedatangan kalian di kalangan Kangouw!"
"Kau jangan menyesal?"
"Omong kosong yang menggelikan!"
Maka tiga Rasul yang lain memayang salah seorang Rasul yang terluka paling berat terus tinggal pergi tanpa banyak mulut lagi.
Suma Bing berpaling kearah Phoa Kin sian kakak beradik, tanyanya: "Adik Sian, apa kau tahu perkumpulan apakah Jeng siong hwe itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi kekejaman dan banjir darah yang ditimbulkan oleh Jeng siong hwe kini benar2 telah menimbulkan gelombang kemarahan kaum persilatan!"
"Diukur dari kepandaian keempat Rasul ini, dapatlah dipastikan pemimpin dari Jeng siong hwe itu pasti seorang misterius yang sangat menakutkan!"
"Itu sudah dapat dibayangkan!"
"Kenapa Cu giok bisa bersua dengan keempat Rasul penembus dada..."
Phoa Cu giok tunduk ke-malu2an.
Agaknya Phoa Kin sian sangat terhibur, juga sangat menderita, katanya: "Dengan membawa Pedang darah Cu giok merana di kalangan Kangouw, hampir saja dia dipukul mati oleh Kangkun Lojin. Untung dia mau bicara secara jujur, sehingga Kangkun Lojin mengampuni jiwanya dan memerintahkan dia mengembalikan Pedang darah itu. Tak terduga ditengah jalan bertemu dengan Rasul penembus dada, dengan kepandaian mereka yang aneh itu dilihatnya Cu giok menyimpan Pedang itu, maka mereka terus mengejar dan menguntit sampai disini. Kalau kebetulan kau tidak muncul, susahlah dibayangkan akibatnya!"
Se-konyong2 Suma Bing ingat sesuatu, tanyanya: "Adik Sian, kuingat kau pintar menggunakan racun?"
"Kenapa?" balas tanya Phoa Kin sian, wajahnya berubah.
"Kenapa kau tidak gunakan racunmu itu menghadapi Rasul penembus dada?"
"Kejadian ini sungguh sangat ganjil. Ternyata kali ini para Rasul itu tidak takut lagi menghadapi racunku!"
"Ada kejadian begitu?"
"Kalau tidak buat apa kau memperingatkan!"
"Marilah kita kembali kedalam lembah solokan itu?"
"Kau tidak perlu kesana lagi!"
Suma Bing melengak, tanyanya: "Mengapa?"
"Suhu yang menyuruh begitu!"
"Tapi aku harus menilik keadaan bibi!"
"Tidak perlu lagi, paling lama satu bulan dia sudah akan sembuh kembali!"
"Kenapa dia tidak izinkan aku pergi melihatnya lagi?"
"Mana aku tahu!"
Suma Bing membatin dan menimbang, menurut kisikan Kangkun Lojin bahwa Phoa Kin sian bakal mengalami bencana, menurut niatnya ia hendak minta bantuan bibinya untuk menjaga istrinya ini. Tak terduga bibinya tidak ingin menemui dirinya lagi, urusan ini agaknya harus berlarut berkepanjangan...
"Engkoh Bing." kata Phoa Kin sian lembut. "Agaknya kau ada omongan yang hendak kau katakan."
"Ya, memang kau menerka betul!"
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Aku ada satu permintaan kepadamu!"
"Katakanlah!"
"Aku minta sukalah kau dalam jangka seratus hari ini tidak meninggalkan tempat tinggalmu ini barang selangkahpun juga?"
Phoa Kin sian heran dan tak mengerti, tanyanya: "Mengapa?"
"Kelak biar kuberitahu kepadamu!"
Kata Phoa Kin sian berpaling kearah Phoa Cu giok: "Dik, kau kembalilah dulu!"
Phoa Cu giok mengiakan terus memutar tubuh tinggal pergi.
"Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian, "Katakanlah kenapa?"
Suma Bing menjadi serba susah, tidak mungkin dia menutur apa yang bakal menimpa istrinya sehingga menambah beban penderitaan batinnya. Oleh karena pikiran ini maka ia menyahut putar haluan: "Sebab kau tak lama bakal menjadi ibu, jangan banyak bergerak sehingga melelahkan badanmu!"
Phoa Kin sian mengulum senyum bahagia, tapi secepat itu tawanya lantas menghilang, tanyanya: "Mengapa harus dibatasi dalam seratus hari. Aku bakal... melahirkan... setelah seratus hari lagi?"
"Sudah tentu ada alasannya, tidak peduli bagaimana nanti, dalam seratus hari ini aku pasti datang menjenguk kau!"
"Baiklah, aku lulusi permintaanmu ini."
"Nah, inilah baru istriku yang baik!"
Phoa Kin sian tersenyum malu, tangannya mencubit sambil mencemooh: "Cerewet!"
"Masa perkataanku tadi salah!"
Mendadak Phoa Kin sian menutup kedua matanya, terus membentang kedua lengannya dan berkata: "Engkoh Bing, ciumlah aku!"
Sikapnya ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Sifat Phoa Kin sian selamanya putih bersih dan dingin kaku. Pernikahan mereka juga terjadi dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tatkala itu kalau bukan karena terkena tutukan jari Hian bu cui yang ci dari si mawar beracun Ma Siok ceng, itu pelindung Bwe hwa hwe yang terkenal cabul, tentu Phoa Kin sian tidak bakal kehilangan kesuciannya, maka mereka tidak mungkin bisa menjadi suami istri.
Walaupun sekarang dia sudah resmi menjadi istrinya. Tapi kehendak yang merangsang minta dicium ini benar2 baru pertama kali ini terjadi. Namun bagaimana juga mereka berdua adalah suami istri. Maka setelah tertegun sejenak, Suma Bing lantas memeluknya kencang2 sambil mencium dengan mesra.
Phoa Kin sian tenggelam dalam rangsangan penuh nafsu, timbul suatu perasaan tak menentu dibenak mereka, tatkala itu, se-akan2 sang waktu sudah berhenti, selain terasa getaran jantung dan dengusan napas serta isapan yang menggelora, segalanya se-olah2 sudah tidak hidup dan berada lagi.
Lama dan lama sekali baru kedua suami istri ini sadar dari kenyataan ini. Serta merta Suma Bing merasa sesuatu keanehan yang menakutkan sanubarinya. Peringatan Racun diracun serta kisikan Kangkun Lojin itu, laksana duri yang tidak berbekas me-nusuk2 hati kecilnya sehingga membuatnya tidak tenang berdiri dan tidak enak duduk.
"Engkoh Bing," ujar Phoa Kin sian penuh kasih mesra, "Kau merasa diluar dugaan bukan?"
"Ini... ah, tidak!"
"Kau mengelabui aku. Dari air mukamu dapat kulihat kau berbohong!"
"Apa pikirmu mungkin demikian. Kau adalah istriku..."
"Engkoh Bing, aku selalu merasa segala sesuatu didunia ini dapat terjadi diluar sangka, tiada yang abadi dan kekal. Terutama bagi kaum persilatan, yang hidup dan terjun dikilatan ujung senjata, dengan bekal permusuhan dan dendam sakit hati. Siapa akan tahu malapetaka apa bakal menimpa dirinya secara mendadak."
Suma Bing bergidik, memang ini kenyataan, tapi juga pertanda alamat benih petaka.
"Adik Sian, mengapa timbul pikiranmu yang tidak genah itu?"
"Masa kau tidak mengakui akan kemungkinan ini?"
"Memang harus kuakui, tapi pasti ini tercetus dalam perasaan batinmu!"
"Benar, engkoh Bing. Pikiran semacam ini sudah lama timbul sejak perkawinan kita dulu, selalu berputar dan mengganjal dalam pikiranku."
"Adik Sian, dapatkah kau tidak berpikiran begitu? Kenapa tidak kau pikirkan kelak dan masa depan kita, pikirkanlah tunas muda yang bakal lahirkan itu..." Mendadak kata2 Suma Bing terputus sampai disitu. 'Masa depan' kedua kata ini membuatnya bergidik, teringat olehnya akan janjinya kepada Racun diracun — "...kelak bila bertemu lagi, aku pasti membunuhmu, tapi hutang budiku terlalu banyak, biarlah aku membayar budimu itu dengan kematianku..." Pertemuan yang bakal datang itu, betapa menakutkan. Kalau begitu dapatkah dirinya menanggung dan menyangkal akan pandangan Phoa Kin sian yang masuk akal itu.
"Adik Sian, kita tidak perlu me-nerka2 kejadian apa yang bakal terjadi dimasa depan, paling perlu kita tinjau masa kini!"
"Sekarang ini? Engkoh Bing, apa yang telah diberikan kepada kita sekarang? Namanya saja kita sebagai suami istri, tapi tiada waktu untuk kita hidup berdampingan secara kasih mesra, kau ketimur aku kebarat, masing2 berkelana demi kepentingan sendiri..."
Suma Bing tertawa ewa, ujarnya: "Adik Sian, memang akulah yang salah, nanti setelah semua sakit hati dan dendamku sudah terhimpas beres, pasti kutambal kekuranganku..."
"Engkoh Bing, kita setali tiga uang, tapi..."
"Kenapa?"
"Apa yang bakal terjadi kelak, siapapun susah meramalkan!"
"Adik Sian, mengapa kau melulu mengatakan kata2 yang tidak baik saja?"
"Tidak, engkoh Bing, se-olah2 aku merasa mala petaka selalu menyertai disampingku..."
Perasaan Suma Bing semakin tenggelam, dipeluknya istrinya erat2 serta katanya: "Adik Sian, aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Tidak, jangan engkoh Bing, kau sendiri tahu ini tidak mungkin terjadi!"
"Tapi aku rela meninggalkan semua itu!"
"Kau salah, jangan kau mengingkari arti terbesar dalam jiwa hidupmu ini. Keluarga, perguruan dan beban yang kau pikul itu, adalah satu2nya tujuan terakhir yang harus kau laksanakan!"
"Adik Sian, cintaku kepadamu bukan termasuk..."
"Aku maklum, kau berangkatlah!"
Suma Bing lepaskan pelukannya terus mundur dua langkah, tanyanya: "Kau ingin aku pergi?"
"Sudah tentu, apa kau hendak selalu mengeram disini?"
"Tapi..."
"Engkoh Bing, Pedang darah sudah kembali pada pemiliknya, kau harus menyelesaikan rencana dan mengejar cita-citamu..."
Tergetar perasaan Suma Bing, bangkitlah semangat jantannya, membekal Pedang darah memohon Bunga iblis untuk melatih ilmu tiada taranya didunia ini, supaya dapat menuntut balas. Karena pikirannya ini maka katanya murung: "Adik Sian, aku akan selalu berterima kasih akan cinta murnimu yang suci ini!"
Phoa Kin sian berseri, serunya: "Engkoh Bing jagalah dirimu baik2!"
"Adik Sian, ingat apa yang kau luluskan padaku. Dalam jangka seratus hari jangan kau tingggalkan tempat kediamanmu ini."
"Pasti selalu kuingat!"
"Kau juga harus hati2 dan baik2 menjaga diri!"
Phoa Kin sian mengiakan. Begitulah setelah berpelukan dan berciuman pula lantas mereka berpisah tanpa banyak kata lagi.
Begitu bayangan Suma Bing menghilang, dua titik air mata mengalir membasahi kedua pipi Phoa Kin sian. Mengapa dia menangis? Berat meninggalkan Suma Bing? atau...
Baik kini kita mengikuti perjalanan Suma Bing yang meninggalkan istrinya dengan perasaan duka nestapa, langsung ia menuju ke Lembah kematian.
Memang letak Lembah kematian sangat curam dan misterius, bagi siapa yang berani memasuki hanya kematianlah bagiannya. Namun bagi Suma Bing tempat yang kramat dan ditakuti ini dianggap seperti tempat datar yang lurus saja, dicarinya jalan dimana dulu dia bersua dengan Giok li Lo Ci terus mengembangkan Bu siang sin hoat meluncur turun.
"Nak, akhirnya kau tiba juga!"
Waktu pandangan Suma Bing menyapu sekitarnya, tampak Giok li Lo Ci sudah berdiri tegak didepan gua, maka ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat serta sapanya: "Wanpwe menghadap Cianpwe!"
"Tidak perlu, mari ikut aku!"
Tak lama kemudian tibalah mereka diruang tempat pengobatan tempo hari, setelah mencari tempat duduk, lalu Giok li Lo Ci membuka mulut: "Nak, kau sudah memperoleh Pedang darah?"
Suma Bing mengiakan dan dirogohnya keluar Pedang darah, dengan kedua tangannya terus dipersembahkan, ternyata kedua tangannya itu agak gemetar, betapa haru dan senang hatinya saat itu, bahwa impian selama ini bakal menjadi kenyataan bagaimana dia tidak akan terharu dan gembira.
Setelah menyambuti Pedang darah, sekian lama Giok li Lo Ci mengamat2i dan memeriksa, lalu katanya sambil manggut2: "Nak, sungguh besar rejekimu, kudoakan setelah kau dapat mempelajari ilmu mujijat itu, kau dapat mendharma baktikan kepandaianmu ini kepada sesama hidup yang tertindas."
"Terima kasih akan nasehat Cianpwe!"
"Membekal Pedang darah adalah syarat pertama. Sekarang dengarlah syarat yang kedua!"
"Akan wanpwe perhatikan!"
"Setelah keluar dari pintu ini berputar kekanan disitu ada sebuah kamar batu, dengan tenaga murnimu sendiri kau tembusilah jalan darah mati hidupmu..."
Suma Bing tercengang, katanya: "Jalan darah mati hidup wanpwe sudah tembus!"
"Apa, jalan darah mati hidupmu sudah tembus?"

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now