51. Ular Sakti Penghisap Darah

3K 41 0
                                    

"Alasan? Bu khek bun adalah aliran putih yang menjunjung tinggi keadilan, siapa duga dengan cara keji demikian kau menumpas seluruh penghuni Bu khek po, buyung masihkah kau berperikemanusiaan?"

Baru sekarang Suma Bing paham duduk perkaranya, kiranya tentang perihal dirinya menuntut balas di Bu Khek po tempo hari, maka si maling bintang ini meluruk datang membuat perhitungan kepada dirinya. Entah ada hubungan apakah antara mereka. Tapi kan secara terang gamblang dirinya menuntut balas kepada Bu khek sianglo...

Maka sahutnya dengan tenang: "Cianpwe, terpaksa wanpwe harus berbuat begitu!"
"Jadi menurut hematmu kau harus berbuat begitu?"
"Ya, tak perlu banyak mulut lagi, selama hidup ini meskipun si maling tua ini belum pernah melakukan kejahatan dan berbuat dosa, tapi juga belum pernah menyebar kebajikan, sekarang diambang kematian karena usia tua ini, baik juga melakukan pembasmian demi kesejahteraan kaum persilatan!"
Kata2 membasmi sangat menusuk telinga dan perasaan Suma Bing, jikalau tidak memandang hubungan yang terdahulu, siang2 dia sudah turun tangan menampar mulut orang.
Si maling bintang Si Ban cwan maju lagi semakin dekat, kini jarak kedua belah pihak kurang dari dua tombak.
Apa boleh buat karena didesak sedemikian rupa, akhirnya Suma Bing nekad: "Tegasnya Cianpwe benar-benar hendak turun tangan!"
"Sudah tentu!"
"Kuharap Cianpwe suka berpikir dua kali sebelum bertindak?"
"Sudah lama si maling tua ini memikirkan secara masak akan segala akibatnya!"
"Tapi aku tidak ingin melukai Cianpwe!"
"Buyung, sebaliknya bagi aku si maling tua, hari ini bagaimana juga kau harus kulenyapkan."
Membaralah sifat pembawaan Suma Bing, saking dongkol keluar juga jengekannya: "Mungkin tujuan tuan takkan dapat terlaksana!"
"Kurcaci, marilah coba ini!" demikian gertak si maling tua Si Ban cwan sambil menubruk maju, habis suaranya serangannyapun sudah merangsang tiba.
Suma Bing tetap tenang dan diam saja berdiri tegak tanpa bergerak, mengandal kekebalan ilmu pelindung badannya, si maling tua ini takkan mampu melukai seujung rambutnya.
Tak terduga begitu melesat tiba dihadapan Suma Bing si maling tua membatalkan serangannya, sedemikian dekat jarak mereka sekali ulur tangan saja cukup meranggeh lawannya. Mendadak si maling tua malah bergelak tawa gila2an, tapi suara tawanya tidak seperti suara tawa umumnya, agaknya si maling tua ini sudah terbawa oleh perasaan hatinya, rasa sedih dan jengkel dilampiaskan dengan tawanya ini...
Tanpa terasa giris perasaan Suma Bing, susah diterka apakah yang tengah dimainkan oleh si maling tua yang terkenal susah dilayani dan diajak berembuk ini.
Mendadak sebuah bentakan keras terdengar dari sebelah samping sana: "Maling tua jangan!"
Disusul bayangan beberapa orang berdatangan memasuki gelanggang.
Heran dan kaget Suma Bing dibuatnya, yang muncul ini adalah istrinya Pit Yau ang beserta semua kerabat dari Perkampungan bumi, diantaranya terdapat juga Coh yu Hu pit serta Teng Tiong cwan dan lain2. Sedang yang membentak merintangi tadi adalah Coh hu Si Kong teng.
Dengan pandangan rasa kuatir dan takut2 Pit Yau ang berempat mengawasi si maling bintang.
Suma Bing semakin tidak mengerti...
"Maling tua." kata Si Kong teng tertekan: "Apa faedahnya kau berbuat begitu?"
Si maling bintang hentikan tawanya, setelah menyapu pandang kearah mereka berempat jengeknya dingin: "Keputusan si maling tua ini selamanya harus terlaksana!"
"Jadi kau si maling tua ini bersedia gugur bersama?" tanya Yu pit Ciu Eng tiong.
"Benar!"
"Kau ini..."
"Untuk melenyapkan bencana di kalangan persilatan!"
Tergerak hati Suma Bing, apa artinya dengan ucapan gugur bersama tadi, apa... belum lenyap pikirannya, mendadak dilihatnya si maling tua menggenggam sesuatu benda ditangan kanannya, entah barang apa yang disembunyikan itu. Kini dia paham, mengenai ilmu silat sudah pasti si maling tua takkan mampu melukai dirinya, sedemikian lantang dia sesumbar hendak melenyapkan dirinya pasti ada apa2nya dibelakang perkataannya ini.
Turun tangan atau tidak? Dia menjadi ragu2. Kalau saat itu mendadak dia menyerang pasti si maling tua takkan luput dari kematian, tapi agaknya hatinya kurang tega.
Agaknya si maling tua dapat mengerti isi hati Suma Bing, jengeknya sambil menyeringai: "Buyung, kau turun tangan atau tidak sama saja pasti mati. Jiwa tua si maling tua ini sudah kutaruhkan. Kau tahu apa yang kugenggam ditanganku ini? Ketahuilah, sekali aku lepas tangan Sip hiat leng kong (ular sakti penghisap darah) ini, seumpama kau tumbuh sayap juga takkan dapat lolos. Buyung meski kau ada kesempatan membunuh aku, tapi kau tiada kesempatan lagi untuk terhindar dari kejaran ular sakti penghisap darah ini..."
Berdiri bulu kuduk Suma Bing, sungguh diluar sangkanya bahwa si maling tua menggunakan binatang aneh yang dikabarkan sebagai penghisap darah itu untuk menghadapi dirinya.
Selama ratusan tahun sukar dicari seekor saja ular sakti penghisap darah ini. Ular semacam ini merupakan raja ular diantara ular, badannya kebal senjata tajam, besarnya hanya sebesar jari manis, ditengah tubuhnya tumbuh sepasang sayap sehingga dia dapat terbang dengan pesat sekali, begitu membaui darah manusia, segera dia memecah kulit terus mengerong kedalam tubuh orang dan masuk kedalam jalan darah, sambil menyedot darah sembari dimuntahkan kembali sampai orang itu darahnya dihisap habis dan mati.
Wajah Pit Yau ang pucat ketakutan bersemu kehijauan, takut dan gugup merangsang benaknya, teriaknya tersendat: "Si cianpwe, aku adalah istrinya..."
"Lohu sudah tahu!"
"Bolehkah Siau li bicara beberapa patah kata dulu?"
"Silahkan!"
"Cianpwe menggunakan cara sedemikian keji untuk menghadapi dia, pasti mempunyai alasan yang kuat?"
"Sudah tentu!"
"Wanpwe minta penjelasan?"
"Menggunakan cundrik penembus dada dia membunuh Bu Khek sianglo, ini demi menuntut balas, hal itu dapat dimaklumi. Tapi tidak semestinya dia membanjirkan darah dan membabat seluruh Bu khek po seakar2nya sampai ayam dan itik juga tidak ketinggalan telah dibunuhnya semua. Malah yang paling keterlaluan dengan kekerasan dia merebut Kipas batu pualam."
Keterangan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, darimana soal ini harus dijelaskan, serunya menegasi: "Apa membanjirkan darah di Bu khek po?"
"Masa kau berani menyangkal?" bentak si maling bintang beringas.
"Memang, aku menyangkal!"
"Bu khek Ciangbun sendiri yang mengatakan kepadaku sebelum ajal, ini bukti yang paling kuat kau takkan luput dari tuntutan keadilan ini!"
"Ingin kutanya, kapan peristiwa itu terjadi?"
"Setengah bulan yang lalu!"
"Setengah bulan yang lalu?"
Si maling bintang membenarkan dan menegaskan sekali lagi.
Legalah hati Suma Bing, ujarnya: "Aku mendampingi pusara disini sudah satu bulan lebih, setindak juga belum pernah tinggal pergi."
"Siapa yang menjadi saksi bahwa kau belum pernah tinggal pergi setindakpun?" desak si maling bintang.
"Ini..."
"Buyung, mungkin dijagad ini ada dua Suma Bing?"
Sebuah bayangan berkelebat mendatangi pula, itulah seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek berkelebihan, dia bukan lain adalah Ong Fong jui bibinya Suma Bing.
Semua hadirin tertegun dibuatnya.
"Bibi!" seru Suma Bing kegirangan.
Napas Ong Fong jui agak memburu, wajahnya agak kumal dan sedikit pucat, sekilas ia menyapu pandang keseluruh hadirin lalu matanya melotot kearah Suma Bing dan berkata: "Anak Bing, apakah kau sudah gila?"
Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya: "Aku..."
"Secara kekerasan kau merebut Ce giok pe yap benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay malah kau lukai dan bunuh Ong Tionglo salah satu dari ketiga pelindung mereka."
Suma Bing merasa adanya sesuatu keganjilan dalam urusan ini, sangkalnya gemetar: "Bibi, aku belum pernah berbuat demikian!"
"Kau tidak" desak Ong Fong jui mengangkat alis.
"Ya, selama sebulan lebih, setindakpun aku belum pernah pergi dari sini!"
"Apa benar?"
"Tiada perlunya keponakan berbohong, apa kau juga berpendapat keponakanmu bisa berbuat hal2 yang demikian itu?"
"Engkoh Bing." sela Pit Yau ang dengan wajah berobah, suaranya juga gugup: "Katamu selama satu bulan kau tidak meninggalkan tempat ini?"
Dirangsang berbagai pertanyaan ini Suma Bing menjadi pusing tujuh keliling, sahutnya keras saking jengkel: "Tidak salah!"
"Kau... benarkah..."
"Adik Ang, apa artinya ini?"
"Duapuluh hari yang lalu bukankah kau kembali ke Perkampungan..."
Pit Yau ang menyangka karena untuk menghindari tuntutan yang mendesak ini baru dia mengeluarkan kata2 seperti diatas tadi, maka perkataannya hanya diucapkan setengah2 saja untuk mengawasi reaksinya.
Lain halnya dengan Suma Bing, memang hatinya putih bersih dan tiada ganjalan apa2, begitu mendengar perkataan Pit Yau ang yang diucapkan setengah2 ini, lantas dia merasakan kalau persoalan ini pasti ada latar belakangnya. Kejadian ini terjadi mendadak dan semua menimpa keatas bahunya, ini pasti bukan terjadi secara kebetulan saja. Maka dengan mendelikkan mata ia bertanya: "Adik Ang, apa yang kau katakan?"
"Aku..."
"Katakan!"
"Duapuluh hari yang lalu, bukankah kau pernah kembali ke Perkampungan secara ter-gesa2 untuk mengambil Kiu im cinkeng..."
"Kiu im cinkeng?"
"Ha, kau..."
"Demi Allah setindakpun aku belum pernah meninggalkan tempat ini!"
Semua hadirin berobah airmukanya.
Si maling bintang Si Ban cwan mundur beberapa langkah serunya terheran2: "Buyung, jadi bukan kau yang membabat habis seluruh penghuni Bu khek po?"
"Cianpwe, masa kau tidak percaya kepadaku?"
"Aneh..."
"Pasti ada seseorang yang menyamar seperti bentukku untuk menyebar kejahatan ini."
"Ya, selain ini tiada keterangan lain yang dapat menjelaskan. Tapi siapakah dia? Dan apa maksud tujuannya?"
Mendadak Ong Fong jui membentak keras: "Siapa itu main sembunyi2!" tubuhnya juga lantas melenting dengan kecepatan bagai kilat keluar hutan.
"Bujung," ujar si maling bintang penuh penyesalan, "aku si maling tua terlalu sembrono."
Suma Bing tertawa, sahutnya: "Cianpwe tak usah gelisah dan jangan pikirkan lagi hal ini, yang sudah lalu tak perlu dipersoalkan lagi."
Pit Yau ang tampil kehadapan Suma Bing, suaranya gugup, gelisah: "Engkoh Bing, buku Kiu im cin keng itu adalah kepunyaan ayah..."
Kata Suma Bing dengan gemas: "Adik Ang, aku akan mencarinya kembali sekuat tenaga, orang yang menyaru sebagai aku itu, aku bersumpah akan menghancur leburkan!"
"Eh, engkoh Bing, pusara ini..."
"Phoa Kin sian telah meninggal," kata Suma Bing pilu, "sebab kematiannya biarlah kelak kuceritakan kepadamu!"
Meskipun pernikahan Pit Yau ang dengan Suma Bing dirayakan dengan peraturan adat istiadat yang resmi, tapi kalau diselami secara mendalam hakikatnya Phoa Kin sian adalah istri pertama yang sah, jadi mau tak mau Pit Yau ang hanya sebagai istri kedua. Setelah mengetahui saingannya itu telah meninggal, entah bagaimana perasaan hatinya susahlah diutarakan. Maka ter-sipu2 ia maju kedepan kuburan dan berlutut memberi penghormatan terachir serta mengheningkan cipta sekian lamanya baru berdiri lagi.
Suma Bing berpikir bolak-balik, serunya tegas: "Sebetulnya aku hendak mendampingi pusara ini selama seratus hari, dengan adanya kejadian diluar dugaan ini, terpaksa kubatalkan janjiku kepada almarhum!"
"Engkoh Bing, aku..."
"Adik Ang, lebih baik kau kembali saja ke Perkampungan!"
"Aku ingin ikut kau..."
"Adik Ang, untuk mencegah kejadian yang terjadi seperti ini, lebih baik kau pulang saja."
Perkataan ini membuat tergetar perasaan Pit Yau ang, terpaksa dia manggut2.
Mendadak Suma Bing teringat sesuatu, sikapnya serius: "Adik Ang, letak Perkampungan kita sedemikian rahasia, orang yang menyamar sebagai aku itu bagaimana bisa masuk?"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tiba2 bertekuk lutut dan menyahut tersenggak: "Lapor Huma, karena kesalahan hamba yang ceroboh tanpa penelitian yang seksama, maka kusuruh seorang Hiangcu untuk mengundang serigala itu masuk kedalam rumah..."
"Coba kau tuturkan secara jelas!"
"Anak buah hamba Toan Bu jiang Hiangcu bergilir piket untuk memeriksa daerah sekitar seratusan li, secara tiba2 dia ketemu dengan orang yang menyamar sebagai Huma itu, kita tak dapat menduga antara tulen dan palsu, maka diundang masuk..."
"Aku sudah paham!" kata Suma Bing terus berputar menghadap Pit Yau ang katanya pula: "Adik Ang, selanjutnya bagaimana?"
Kata Pit Yau ang penasaran: "Bajingan itu pura2 sedang sakit selesma, hingga suaranya berobah serak. Karena tak menduga sehingga aku kurang periksa dan terjebak kedalam tipu dayanya. Begitu ketemu dia lantas menanyakan Kiu im cinkeng katanya ada keperluan yang sangat mendesak. Lalu cepat2 dia pergi lagi membawa Kiu im cinkeng, setelah kejadian itu aku baru sadar dan merasa adanya hal2 yang ganjil, maka buru2 aku keluar menyusul kau untuk menanyakan kebenaran ini!"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tampil kedepan lagi dan berkata: "Anak buah hamba Toan Hiangcu bertugas secara lalai, nanti setelah kembali pasti akan dihukum secara setimpal sesuai dengan peraturan dan undang2 kita. Tentang hamba sendiri harap Huma suka jatuhi hukuman yang setimpal juga."
Suma Bing mengulap tangan, katanya: "Teng congkoan silahkan bangun, kejadian ini terjadi diluar dugaan, kesalahan bukan terletak pada kau seorang, sejak kini tidak perlu dipersoalkan lagi, hanya untuk selanjutnya kalian harus hati2 dan waspada!"
"Terima kasih akan kemurahan hati Huma!"
"Adik Ang, kau dan mereka bertiga segeralah pulang!"
"Tapi kau hanya seorang diri mana bisa aku lega hati..."
"Kau tidak perlu banyak kuatir tentang diriku."
"Biar kutugaskan Sim tong serta tiga orang Hiangcu untuk menjadi pengawalmu..."
"Ini juga tidak perlu!"
"Aku hanya tugaskan mereka mengikuti secara diam2, kalau perlu mereka bisa memberi kabar kepada kita"
Tak enak Suma Bing selalu menolak kebaikan istrinya, terpaksa dia manggut2: "Begitu juga baik."
"Engkoh Bing jagalah dirimu baik2, setelah segalanya selesai segeralah kembali."
"Aku pasti kembali, Adik Ang kau juga hati2!"
"Hamba beramai menghaturkan selamat berpisah!" Coh yu hu pit dan Teng Tiong cwan berbareng membungkuk memberi hormat.
Suma Bing sedikit membungkuk sebagai balasan serta katanya: "kalian tak perlu banyak peradatan!"
Dengan rasa berat yang menekan, Pit Yau ang ambil berpisah.
Dengan nada berat si maling bintang Si Ban cwan berkata kepada Suma Bing: "Buyung, menghadapi tipu muslihat yang rendah ini kau mempunyai perhitungan yang bagaimana?"
"Terutama harus menangkap pentolannya dulu."
"Menurut anggapanmu siapakah orangnya yang telah berbuat semua ini?"
"Saat ini susah dikatakan!"
"Eh, kenapa bibimu pergi lantas tidak kembali lagi?"
Sejenak Suma Bing melengak, lantas sahutnya: "Mungkin mengejar musuh!"
Dimulut dia berkata demikian, namun dalam batin ia berpikir: bibi sudah mewarisi seluruh kepandaian Pek kut Hujin, betapa tinggi kepandaiannya, susah dicari tandingan didalam Bulim, keselamatannya tak perlu dikuatirkan.
Kata si maling bintang lagi: "Ciangbunjin Bu khek bun yang terdahulu adalah sahabat karibku yang paling kental, perguruannya tertimpa bencana sedemikian mengenaskan, dapatlah atau tegakah aku menggendong tangan menonton saja..."
Baru sekarang Suma Bing paham mengapa si maling tua tadi mentang2 dan sesumbar hendak menuntut balas tanpa memikirkan resikonya malah rela untuk gugur bersama. Mendadak teringat olehnya waktu dirinya membunuh Bu khek Sianglo tempo hari, gadis remaja bernama Tio Keh siok itu, kepandaiannya jarang dicari tandingannya diBulim. Masa orang yang menyamar sebagai dirinya itu berkepandaian sampai puncak yang tertinggi, kalau tidak masa sedemikian gampang dia membabat habis seluruh Bu khek po?
Sebelum dirinya datang, pihak Bwe hwa hwe juga telah meluruk kesana dan sesumbar hendak menumpas habis seluruh Bu khek po, tujuannya yang utama adalah Kipas batu pualam itu. Sedang si durjana yang menyamar sebagai dirinya itu, telah merebut Kipas pualam itu juga, kedua belah pihak ini bertujuan sama, semua untuk mendapatkan Kipas pualam itu. Apakah bukan perbuatan orang yang diutus oleh pihak Bwe hwa hwe?
Tapi darimana datang tokoh silat sedemikian lihay dari Bwe hwa hwe? Seumpama Loh Cu gi sendiri Lwekangnya juga tidak unggul banyak dibanding Tio Keh siok. Dalam jangka satu bulan, Perkampungan bumi kehilangan Kiu im cinkeng, Ce giok pe yap benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay juga direbut orang, ini benar2 suatu berita yang menggemparkan, juga merupakan suatu tipu daya yang menakutkan.
Untuk memecahkan tabir rahasia ini, pertama2 harus menemukan dulu orang yang menyamar sebagai dirinya itu. Siapakah dia? Karena pikirannya dengan gelisah ia pandang si maling bintang serta tanyanya: "Cianpwe, ada beberapa pertanyaan aku minta petunjukmu?"
"Coba kau katakan!"
"Kipas pualam dan daon giok ungu itu dikatakan sebagai mestika pelindung perguruan mereka, dimanakah letak kemujijatannya?"
"Konon kabarnya. Kipas pualam dari Bu khek po dan daon Giok ungu dari Ngo bi pay itu adalah benda2 mestika yang jarang didapat didunia ini, Kipas itu dibuat dari batu pualam yang sudah berusia laksaan tahun, sedang daon giok ungu itu dibuat dari batu giok hangat yang diukir berusia laksaan tahun juga. Jikalau kedua kipas dan daon ini digabung timbullah antara hawa negatif dan positip lalu dua hawa ini dapat membantu seseorang tokoh silat untuk menembus jalan darah mati dan hidup, sehingga bisa mencapai titik paling sempurna!"
Suma Bing manggut2 paham.
"Ada pertanyaan lain?"
"Dalam Bulim masa ini, siapakah kiranya yang paling pandai dalam ilmu rias?"
"Ini... terutama dari aliran Pek Kut Hujin yang mempunyai ilmu Hian goan tay hoat ih sek!"
Diam2 Suma Bing mengangguk, lalu katanya lagi: "Menurut apa yang cayhe ketahui, ilmu Hoan goan tay hoat ih sek hanya dapat merobah bentuk badan sendiri tapi tak dapat untuk menyamai bentuk rupa orang lain..."
"Ya, memang begitulah!"
"Adakah tokoh yang lain?"
"Sin liong kay Ho Heng salah satu tertua Tianglo dari Kaypang adalah seorang ahli dalam bidang ini".
"Sin liong kay Ho Heng? Tiada orang lain lagi?"
"Agaknya tidak ada lagi yang perlu diketengahkan!"
Alis Suma Bing mengerut semakin dalam, dua sumber yang dikatakan si maling bintang ini agaknya kurang tepat dan tak mungkin terjadi. Betapa tenar dan mulia Kaypang Tianglo itu sudah tentu dia takkan mau melakukan perbuatan rendah yang terkutuk itu. Sedang aliran dari Pek Kut Hujin, adalah bibinya Ong Fong jui dan muridnya, mereka tidak perlu dikuatirkan dan tak perlu dicurigai lantas tanyanya lagi: "Apa benar2 tidak ada yang lain?"
Sekian lama si maling bintang pejamkan mata berpikir, tiba2 dia membuka mata dan berkata ragu2: "Ada sih ada, tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Iblis itu sudah puluhan tahun yang lalu tidak muncul di Kangouw..."
Tergerak hati Suma Bing, tercetus seruan dari mulutnya: "Pek bin mo ong?"
"Tidak salah!"
"Benar tentu dia!" teriak Suma Bing berjingkrak.
"Apa benar dia?"
"Tak perlu disangsikan lagi!"
"Buyung, dengan alasan apa kau berani memastikan?"
Suma Bing berdiam diri, dia tengah tenggelam dalam pemikiran untuk menyusun rasa kecurigaannya yang mengalutkan pemikirannya. Menurut apa yang dikatakan bibinya tempo hari katanya bahwa Pek bin mo ong sudah muncul lagi didunia persilatan, mungkin dia inikah yang diangkat sebagai Maha pelindung oleh pihak Bwe hwa hwe. Sedang Pek Chio Lojin sendiri juga pernah mengatakan, bahwa gabungan antara Kiu im cinkeng dengan Kiu yang sinkang dapat melatih suatu ilmu digdaya yaitu Bu khek sinkang.
Sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe adalah Loh Cu gi, siapa telah dapat melatih Kiu yang sinkang sampai tingkat kedua belas, kalau dia mengincar dan ingin mendapatkan pula Kiu im cinkeng adalah jamak dan tak perlu dibuat heran.
Pek chio Lojin adalah ayah mertua Loh Cu gi. Sedang Raja iblis seratus muka adalah Suheng Pek chio Lojin, menurut sumber dari aliran ini, mungkin analisanya ini takkan salah dan luput.
Dirinya adalah musuh bebuyutan dari Bwe hwa hwe, kalau pihak musuh menyamar dirinya untuk menyebar maut berbuat kejahatan ini berarti satu kali panah mendapat dua ekor burung, bukan saja tujuan dapat tercapai, malah mendatangkan musuh menimpakan bencana ini kepada dirinya.
Tak tertahan lagi, ia membuka kata: "Tepat pasti perbuatan raja iblis itulah!"
"Buyung." ujar si maling bintang gelisah, "coba terangkan secara ringkas!"
Secara ringkas Suma Bing terangkan analisanya tadi, ber-ulang2 si maling tua membanting kaki dan menggaruk kepala: "Buyung, ini mungkin terjadi, mungkin terjadi!"
"Cayhe masih ada sedikit kecurigaan."
"Tentang apa?"
"Bu khek Ciangbun Tio Leng wa mempunyai seorang anak perempuan bernama Tio Keh siok..."
"Ya, memangnya kenapa?"
"Kepandaiannya tidak lemah!"
"Budak itu semasa kecilnya ketemu rejeki, dia bukan terhitung anak murid Bu khek bun lagi, tapi asal-usul perguruannya kurang jelas, setiap tahun jarang pulang untuk menilik orang tuanya. Waktu peristiwa yang mengenaskan itu terjadi kebetulan dia tengah pergi keluar!"
"O, tidak heran, kalau tidak dengan kelihayan kepandaiannya pasti sedikitnya dia dapat mencegah atau merintangi ketelengasan musuh!"
"Ini sudah kehendak Allah, dan tak perlu penjelasan lagi, Buyung, dia... Cara bagaimana Phoa Kin sian bisa meninggal?"
Sekali lagi Suma Bing harus menghadapi kenyataan yang merenggut hati dan menyedihkan ini, sambil menahan airmata, secara ringkas ia bercerita.
Si maling bintang menggeleng2 kepala sambil berdiam diri, gumamnya: "Takdir!"
Suma Bing ganda tertawa pahit.
Kata si maling bintang sungguh2: "Buyung, bagaimana tindakanmu selanjutnya?"
"Mencabut rumput sampai seakar2nya!"
"Bwe hwa hwe maksudmu?"
"Tepat sekali!"
"Dapatkah kau memasuki barisan pohon bunga Bwe itu?"
"Cayhe sudah mempunyai perhitungan, sekarang juga aku harus mengerjakan satu urusan besar!"
"Urusan besar apa?"
"Aku hendak menyambangi Si gwa sianjin, akan kuminta petunjuk tentang cara pemecahan barisan itu!"
"Kalau begitu, biarlah kita berpisah lagi melakukan kerjaan masing2!"
"Cianpwe silahkan!"
Tubuh si maling tua yang tambun bergolek seperti mentok berjalan, sebentar saja tubuhnya yang bundar itu sudah menghilang dibalik hutan sana.
Menghadapi pusara Phoa Kin sian Suma Bing mengheningkan cipta dan memanjatkan doa serta ambil berpisah, air mata meleleh deras tanpa terasa.
Setiap tiga tindak pasti dia menoleh dan berat untuk tinggal pergi, tapi toh akhirnya dia pergi juga sambil membekal hatinya yang sudah hancur luluh. Gundukan tanah itu memendam istri serta anaknya yang belum lahir.
Tidak jauh dari letak kuburan itu, diluar rimba sebelah sana adalah jalan raya. Kuda yang membedal keras dan para kaum persilatan yang melesat lewat dari sampingnya secepat terbang, lambat laun membangunkan semangatnya yang sudah lesu sekian lama ini sadarlah dia dari kesedihan yang mencekam sanubarinya, tanpa terasa gerak kakinya juga semakin cepat dan akhirnya dia berlari dengan pesatnya.
Bu eng san, sesuai dengan namanya atau gunung tanpa bayangan, untung tempo hari Suma Bing pernah datang satu kali, sedikit banyak dia sudah apal akan jalanan yang harus ditempuhnya, tanpa banyak memakan waktu ia langsung menuju ketempat tujuan.
Tidak lama kemudian tibalah dia dilereng gunung dipinggir sebuah batu besar yang berbentuk lancip. Disinilah letak tempo hari dia bertanding dengan Si gwa sianjin. Tempat yang lebih tinggi sebelah depan sana dia belum pernah datang. Kini dia menjadi ragu2, haruskah dia terus menerjang keatas?
Karena keraguannya ini segera dia gunakan ilmu gelombang suara memancar ribuan li, dia salurkan seluruh hawa murninya terus berseru lantang kearah puncak: "Si gwa Cianpwe, cayhe Suma Bing ada sedikit persoalan ingin bertemu!"
Sudah ber-kali2 ia ber-kaok2 tanpa reaksi atau penyahutan. Beruntun lima kali dia menggembor sangat keras, setelah dinanti selama sepeminuman teh dan masih tanpa reaksi, timbullah rasa heran dan curiganya. Sifat Si gwa sianjin sangat ganjil dan suka menyendiri. Bagaimana juga dia takkan mau meninggalkan tempat pertapaannya ini, tapi mengapa keadaan tetap sunyi senyap tanpa reaksi apa? Apa mungkin orang tua aneh ini tidak mau menemui orang yang belum dikenalnya? Atau... sekian lama dia ragu2 dan bimbang, akhirnya diambil keputusan untuk langsung meluruk keatas saja.
Kabut dipuncak lebih tebal, keadaannya sangat gelap pekat, tapi Suma Bing sekarang lain dengan Suma Bing tempo hari waktu pertama kali datang, kejelian matanya dapat memandang sejauh sepuluh tombak. Tak lama kemudian tibalah dia diatas sebidang tanah datar, pemandangan disini lain dari yang lain, dihadapannya berdiri tiga bangunan rumah gubuk, kira2 tiga tombak diluar rumah gubuk itu berserulah Suma Bing lantang: "Suma Bing mohon bertemu dengan Cianpwe!"
Sungguh aneh masih tetap tiada penyahutan. Tanpa terasa merinding tubuh Suma Bing jikalau si orang tua itu tinggal pergi entah kemana, tentu telah terjadi sesuatu...
Dengan rasa was2 dia pandangi ketiga bangunan gubuk itu, kedua pintunya hanya dirapatkan saja sehingga ber-gerak2 keluar masuk dihembus angin pegunungan mengeluarkan suara kereyat-kereyot, suara ini menimbulkan suasana giris dan seram.
Akhirnya dengan memberanikan diri dia beranjak maju mendorong pintu terus melangkah masuk, dimana pandangannya menyapu, tanpa terasa dia berseru kejut heran.
Tampak seorang tua berambut ubanan yang mengenakan jubah kuning, dengan tenang dan kerengnya, duduk diatas sebuah bale2, dia bukan lain adalah Si gwa sianjin yang ingin ditemuinya.
Tersipu2 Suma Bing membungkuk tubuh memberi hormat serta sapanya: "Cayhe sembrono menerjang masuk kemari, harap Cianpwe suka memaafkan!"
Sepasang bola mata Si gwa sianjin yang berkilat2 itu memancar memandang Suma Bing tanpa berkesip, lama kemudian baru dia mengeluarkan suara dengan ogah2an: "Buyung kau inikah Sia sin kedua Suma Bing?"
Pertanyaan ini membuat hati Suma Bing melonjak kaget, bukan untuk pertama kali orang tua ini pernah bertemu dengan dirinya, bagaimana bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini, apalagi nada suara itu agaknya berlainan, cuma yang terang bahwa orang itu memang Si gwa sianjin adanya...
Maka sambil mengerut alis ia menyahut: "Agaknya Cianpwe seorang pelupa, bukankah dulu cayhe pernah datang mohon sebatang rumput ular, masa..."
"0, lantas apa, maksud kedatanganmu kali ini?"
Suma Bing semakin tertegun heran, suara ini benar2 bukan keluar dari mulut Si gwa sianjin yang masih dalam ingatannya. Maka dengan seksama penuh, rasa kecurigaan ia tatap wajah Si gwa sianjin, hatinya tengah berpikir keras.
Terdengar Si gwa sianjin berkata dingin: "Suma Bing tempat kediaman Lohu ini selamanya dilarang siapapun sembarangan terobosan disini?"
Mendadak Suma Bing mendapat satu akal, cepat2 ia angkat tangan sembari berkata: "Cianpwe harap sukalah kau memberi lagi sedikit rumput ular itu..."
Si gwa sianjin mengekeh tawa ejek, serunya: "Buyung rumput ular adalah barang berharga yang tidak ternilai, darimana aku punya begitu banyak untuk diberikan kepada bocah seperti kau ini yang serakah."
Penyahutan ini seketika menghilangkan rasa kecurigaan Suma Bing, katanya pula memutar: "Sebetulnya cayhe masih ada satu urusan minta petunjuk!"
"Coba katakan!"
"Urusan ini mengenai Bwe lim ki tin (barisan hutan bunga Bwe yang aneh)..."
"Apa?"
"Barisan hutan pohon Bwe!"
"Selamanya belum pernah Lohu dengar tentang barisan semacam itu!"
Suma Bing bungkam menelan ludah, memang dirinya sendiri yang menamakan barisan itu sebagai Bwe lim ki tin. Sebab Bwe hwa hwe menggunakan pohon2 Bwe itu untuk membentuk barisan, hakikatnya dia sendiri tidak mengetahui barisan apakah ini namanya, cuma sembarangan saja dia namakan Bwe lim ki tin, kini setelah diberondong pertanyaan dia sendiri menjadi geli, maka segera ia menambahkan: "Barisan ini terbentuk dari pohon2 bunga Bwe secara..."
"Lantas kau sendiri yang menamakan begitu?"
"Ya, begitulah!"
"Berapa banyak perobahan semua barisan dikolong langit ini takkan dapat meninggalkan dari sumbernya semula. Semua tidak akan lepas dari Ngo heng, Im dan yang atau aturan2 Kiu kong pat kwa, hanya caranya saja yang penuh variasi dari sang pencipta sendiri. Lohu sendiri belum pernah melihat barisan macam apakah itu, sudah tentu tidak dapat memecahkan barisan apakah itu?"

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang