39. Duta Menara Iblis

3.2K 42 1
                                    

"Tentang urusan apa?"

"Tentang asal-usul perguruanmu!"

Phoa Kin sian bersikap serba susah dan tertawa pahit, katanya: "Engkoh Bing, maaf Siau moay tidak bisa beritahukan kepadamu!"

"Mengapa?"

"Karena peraturan perguruan, sangat keras!"
Suma Bing menghela napas, ujarnya: "Kalau demikian, aku tidak memaksa kau!"
Habis berkata lalu dia berpaling kearah Pit Yau ang dan berkata: "Adik Ang, kenapa kau tinggalkan Perkampungan Bumi..."
"Perkampungan Bumi? Hahahahahahaha..."
Terdengar suara gelak tawa yang keras dan berat sampai menggetarkan telinga.
Kontan tergetar perasaan ketiga orang ini. Ditengah suara gelak tawa itu tampak seorang tua gagah kereng mengenakan jubah merah, pelan2 menghampiri kearah mereka bertiga.
"Tuan ini orang kosen darimana?" tanya Suma Bing dingin!
Orang tua jubah merah seakan tidak mendengar, langsung dia berlenggang sampai didepan mereka kira2 berjarak satu tombak baru menghentikan langkahnya, kedua matanya bagai mata elang memancarkan sinar terang menatap tajam kearah Pit Yau ang.
Melihat kelakuan orang tua yang kurang ajar ini, bangkitlah kemarahan Suma Bing bentaknya keras: "Hei, tuan tidak tuli bukan?"
Pelan2 baru orang tua jubah merah ini mengalihkan pandangannya, tanyanya: "Buyung, kau ini gembar-gembor terhadap siapa?"
"Terhadap kau!"
"Buyung seperti kau ini memanggil aku dengan sebutan tuan?"
"Karena kupandang kau seorang laki2!"
Mata elang si orang tua jubah merah melotot besar, memancarkan cahaya kehijauan yang berjelalatan, katanya sambil tertawa kering: "Siapa namamu?"
"Suma Bing!"
"Dari perguruan mana?"
"Tiada perlu kuberitahu kepada tuan!"
"Kau inikah buyung yang kenamaan dikalangan Kangouw sebagai Sia sin kedua?"
"Itulah cayhe adanya!"
"Kedua anak jelita ini apamu?"
"Istriku!"
"Heehe, besar keberuntunganmu, sayang mujur tapi kurang abadi!"
Suma Bing mendengus dingin, semprotnya: "Tuan apa maksudmu itu?"
"Kau tetap memanggil Lohu sebagai tuan?"
"Bagaimana anggapan tuan aku harus memanggil?"
"Locianpwe!"
"Kau tidak sembabat!"
"Kenapa?"
"Pokoknya tidak sembabat!"
"Hm, kau pintar membual dan pintar putar lidah!"
"Dalam Bulim mengutamakan keluhuran dan budi pekerti, tiada perbedaan antara tua dan muda."
"Buyung agaknya kau terlalu fanatik akan kekuatan ilmu silatmu?"
"Ini juga kurang benar, silat atau kekuatan tidak lepas dari pengertian kebajikan".
"Jadi anggapanmu aku ini tidak pandai silat juga kurang bijaksana?"
"Tepat sekali, terhadap kedua pengertian itu sedikitpun tuan tidak menonjolkan bahwa tuan sudah paham dan tuan sebagai seorang tua yang harus dijunjung puji!"
"Nanti sebentar akan Lohu tunjukkan kepada kalian." — lalu dia berputar menghadapi Pit Yau ang, tanyanya: "Pit Gi itu apamu?"
"Orang tuaku!"
"Bagus sekali, kau ikut Lohu saja, aku tidak perlu kuatir lagi Pit Gi bakal mengeram diri terus seperti bulus."
"Kau ini mengoceh apa?" semprot Pit Yau ang marah.
"Budak, berani kau berkata kurang ajar?"
"Akan kumaki kau ini orang tua tidak tahu mampus..."
"Cari mati!"
"Belum tentu?"
Pit Yau ang tidak tahu ada permusuhan apa antara orang tua jubah merah ini dengan ayahnya, namun kata2 'mengeram diri sebagai bulus' benar2 menusuk dalam pendengarannya. Baru saja selesai perkataannya, kelima jarinya dipentang terus mencengkram kearah batok kepala si orang tua jubah merah.
Kedua mata orang tua jubah merah melotot keluar bagai kelereng, sedikitpun dia tidak bergerak atau berkelit.
Tadi sekali cengkram dengan mudah sadja Pit Yau ang mencengkram mati Bau bong khek salah satu dari empat setan gantung yang kenamaan, maka dapatlah diukur betapa hebat serangan cengkraman ini. Begitu melihat orang tua jubah merah tidak menyingkir dan tidak bergerak, segera ia tambah tenaganya berlipat ganda pada kelima jari2 tangannya langsung mengarah batok kepala orang.
Sudah dalam dugaan bahwa orang tua jubah merah ini bakal pecah dan tercengkram hancur batok kepalanya.
Tapi lantas terdengar seruan kaget tertahan, tampak Pit Yau ang mundur terhuyung beberapa langkah, wajahnya menunjukkan keheranan. Karena waktu tangannya menyentuh batok kepala orang, yang terasa tangannya mencengkram selapis besi baja yang kokoh kuat, karena terlalu besar tenaga yang dia gunakan untuk mencengkram, sampai tangan sendiri yang terasa tergetar linu.
Keruan bukan kepalang kejut Suma Bing dan Phoa Kin sian. Entah darimana asal-usul orang tua jubah merah ini.
Sedemikian hebat dan tinggi kepandaiannya sampai berani terang2an mandah dicengkram batok kepalanya tanpa kena cidera sedikitpun jua.
Orang tua jubah merah menyeringai puas, katanya: "Budak kecil, kau masih terpaut sangat jauh, cengkramanmu ini hanya menggaruk2 gatal diatas kepalaku, lebih baik kau menurut saja ikut Lohu pergi, atau kau ingin Lohu turun tangan?"
Sudah kejut dirangsang amarah lagi, saking dongkol sampai tubuh Pit Yau ang gemetar, bentaknya: "Siapa kau sebenarnya?"
Orang tua jubah merah ngakak dingin, serunya: "Setelah melihat ini pasti kau akan tahu."
Baru saja lenyap suaranya entah cara bagaimana dia bergerak tahu2 pergelangan tangan Pit Yau ang sudah digenggam keras olehnya. Gerak tubuh dan cara turun tangan yang begitu aneh benar2 luar biasa dan tiada bandingannya.
"Tangan setan!" tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulut Phoa Kin sian.
Orang tua jubah merah manggut2: "Terhitung kau yang luas pengalaman!"
"Kalau tidak salah dugaanku." kata Phoa Kin sian bersikap sungguh2, "Tuan pasti adalah Ang go ngo tang salah satu dari Kui tha siang go bukan?"
"Tepat sekali memang itulah Lohu adanya"
Tergetar perasaan Suma Bing, tidak nyana, bahwa si orang tua jubah merah ini ternyata adalah anak buah Kui tha itu salah satu tempat keramat yang disegani oleh kaum persilatan. Entah ada permusuhan atau pertikaian apakah antara Kui tha(menara iblis) dan Perkampungan bumi? Atau mungkin antara Ang go ngo tang dengan raja bumi yaitu Pit Gi mempunyai ganjelan hati pribadi?
Dilihat cara orang turun tangan, agaknya ilmu silat Kui tha juga sangat mengejutkan dan tidak kalah hebatnya.
Namun Pit Yau ang adalah istrinya, mana bisa dirinya berpeluk tangan tinggal diam, maka segera dia tampil kedepan dan berseru, mengancam: "Lepaskan dia!"
Ang go ngo tang atau gandarwa merah Ngo Tang mengekeh iblis, serunya: "Buyung, ringan benar ucapanmu!"
Desis Suma Bing dengan geramnya: "Tuan hendak berbuat apa kepada dia?"
"Tersangkut-paut apa dengan kau buyung kecil ini?"
"Dia adalah istriku, kenapa tiada sangkut-pautnya dengan aku?"
"Lalu kau buyung kecil ini hendak apa?"
"Lepaskan dia!"
Sebagai putri kesayangan Perkampungan bumi, selama hidup baru pertama kali ini Pit Yau ang merasa dihina dan direndahkan, betapa malu dan gusarnya, namun karena jalan darah sendiri dicengkram oleh lawan, tenaga untuk bergerak saja tidak ada, saking gugup dan gelisah keringat membanjir keluar membasahi tubuh.
Terdengar si gandarwa merah Ngo Tang menjengek acuh tak acuh: "Buyung, kalau kau adalah suaminya, tentu kau adalah salah satu anggota dari Perkampungan bumi juga, baiklah kupinjam mulutmu untuk memberi kabar kepada Pit Gi, katakan kepadanya; dalam satu bulan dia harus tiba ditelaga hitam dalam perbatasan Kui ciu dan Sucwan, untuk menyelesaikan urusan lama. Dalam jangka sebulan ini kujamin keselamatan putrimasnya ini, selewatnya..."
"Selewatnya satu bulan bagaimana?"
"Keselamatannya susah diramalkan!"
Suma Bing tertawa hambar, serunya: "Aku minta kau lepaskan dia!"
"Mengandal kau masih belum mampu!"
"Baiklah biar kucoba!" — ditengah suara bentakannya secepat kilat ia turun tangan, langsung kirim sebuah pukulan mengarah dada si gandarwa merah ini.
'Blang.' — kontan gandarwa malah Ngo Tang tergetar mundur tiga langkah. Terdengar dia malah bergelak tawa, serunya: "Buyung, hebat juga tenaga dalammu, tapi masih belum mampu mengapakan Lohu?"
Berobah airmuka Suma Bing, kecut perasaan hatinya, secara keras, si gandarwa merah mandah digenjot dadanya, ternyata tanpa kurang suatu apa. Betapa dahsyat himpunan kekuatan tenaga dalamnya ini, kenyataan si gandarwa merah ini hanya tergetar mundur tiga langkah. Naga2nya memang dirinya bukan tandingan orang, tapi mana ia mau menyudahi begitu saja. Maka begitu mengerahkan hawa murninya, terus disalurkan kearah jari tengah tangan kanan, kontan cincin iblisnya memancarkan cahaya terang menyilaukan mata.
Agaknya gandarwa merah ini insaf akan kekuatan cincin iblis yang hebat itu, air mukanya sedikit berubah tegang.
Wajah Suma Bing penuh diselimuti kekejaman, seringainya dingin: "Kau lepas tangan tidak?"
"Tidak!"
"Kalau tidak kukremus kau hidup-hidup!"
"Kau tidak akan mampu!"
"Lihat saja nanti!" — dimana sorot cahaya cincin Iblisnya berkelebat, tenggorokan gandarwa merah Ngo Tang yang diincar.
Gandarwa merah mengelak kesamping, sambil bergerak itu, tubuh Pit Yau ang dibawa berputar untuk memapaki cahaya serangan cincin iblis...
Diam2 Suma Bing mengumpat dan mencaci kelicikan lawan, ter-sipu2 ia harus mendoyong tubuh sambil menekuk lengan tangannya sehingga sorot cahaya cincin iblis mencong kesamping, terpaut serambut hampir saja Pit Yau ang kena terlukakan.
Dalam saat itulah seumpama berkelebatnya sinar kilat, secara diam2 Phoa Kin sian mengayunkan sebelah tangannya tanpa mengeluarkan suara menghantam kearah gandarwa merah Ngo Tang. Serangan bokongan secara tiba2 ini betapa tinggi dan kosen kepandaian orang yang diserang juga susah menghindari diri lagi...
Dimana terlihat bayangan merah berkelebat, tahu2 gandarwa merah Ngo Tang bagai bayangan setan, sudah menggeser tempat sejauh satu tombak lebih, lalu seringainya sambil berpaling. "Mengandal hasil latihanmu ini masih kurang cukup sempurna."
Bukan saja serangannya gagal malah diejek lagi, keruan gusar dan malu Phoa Kin sian bukan buatan, wajahnya sampai pucat dan gemetar. Betapa cepat cara gandarwa merah ini menghadapi reaksi bokongan musuh sungguh sangat mengejutkan.
Sekali membanting kaki, tiba2 bayangan Suma Bing menghilang...
"Bu siang sin hoat!" terdengar gandarwa merah berseru kaget. Tiba2 badannya berputar cepat seperti gangsingan...
"Lepaskan dia!" — tahu2 sebelah tangan Suma Bing sudah mencengkeram jalan darah Kian kin hiat sebelah kanan. Tapi betapa kaget dan herannya sungguh susah dilukiskan. Ternyata dimana tangannya menyentuh ternyata badan orang sedemikian keras bagai besi baja, keruan ia tertegun. Dan pada detik2 ia tertegun itulah, gandarwa merah Ngo Tang sudah berkelebat selicin belut lolos dari cengkeramannya.
Keruan gemes dan dongkol Suma Bing bukan main.
Tampak gandarwa merah Ngo Tang mengunjuk rasa kejut2 heran, katanya: "Buyung, sabar sebentar, Lohu ada sedikit omongan!"
"Lekas katakan!"
"Benar2 kau adalah murid Sia sin Kho Jiang?"
"Apa perlunya aku membual?"
"Lalu darimana kau peroleh pelajaran Bu siang sin hoat tadi?"
"Darimana, kau juga tidak perlu tahu!"
"Buyung, kuharap kau suka bicara secara terus terang, jangan kau nanti menyesal sudah terlambat!"
"Menyesal, apa maksudmu?"
"Apa hubunganmu dengan Bu siang Hujin?"
Suma Bing me-nimang2, apakah musuh gentar dan takut menghadapi ketenaran nama Bu siang Hujin, atau ada sebab lain?
Maka sahutnya sinis: "Tiada sangkut-paut apa2!"
"Lalu Bu siang sin hoat yang kau kembangkan tadi kau pelajari darimana?"
"Tidak perlu kuberitahukan kepadamu!"
Wajah tua gandarwa merah berkerut membesi, katanya sungguh2 dengan nada berat: "Benar2 tiada sangkut-paut apa2?"
"Tidak salah!"
"Bagus sekali. Masih tetap seperti yang kukatakan tadi, beri kabar kepada Pit Gi dalam satu bulan dia harus tiba di Telaga air hitam untuk menyelesaikan urusan lama dan mengambil pulang putri kesayangannya ini. Selewatnya satu bulan, segala akibatnya susahlah dikatakan sekarang!" habis berkata sambil mengempit Pit Yau ang, tubuhnya berkelebat sepuluh tombak lebih jauhnya.
"Lari kemana kau!"
Betapa sakti Bu siang sin hoat sambil membentak gusar itu, tubuh Suma Bing sudah berkelebat mencegat dihadapan orang.
Gandarwa merah mengekeh gila2an, serunya: "Buyung, kalau kau tidak rela dia segera mati, lebih baik kau tahu diri." sambil berkata sebelah tangannya yang lain menekan jalan darah Tay yang hiat di pelipis Pit Yau-ang, lalu ancamnya lagi: "Hanya dengan tenaga jari Lohu..."
"Kau berani!"
"Bukan soal berani atau tidak berani!"
"Ingin kutanya, kau ini tengah menjalankan tugas atau sedang..."
"Ya, Lohu tengah menjalankan tugas!"
"Menerima tugas dari siapa?"
"Majikan dari Menara iblis!"
"Ada pertikaian apa antara Menara iblis dengan Perkampungan bumi?"
"Bocah kecil seperti kau tidak perlu tahu."
"Justru aku ingin bertanya!"
"Lohu juga tidak akan beritahu kepada kau."
Saking murka kepala Suma Bing sampai menguap, ingin rasanya sekali keremus telan musuh ini bulat2. Tapi bagaimanapun dia tidak bisa sembarangan turun tangan, karena Lwekang sendiri masih kalah jauh dengan musuh. Maka mulutnya saja yang dapat bekerja, ejeknya: "Ngo Tang, betapa tenar dan besar nama majikan menara iblis kalian, sungguh tak nyana bisa menyuruh anakbuahnya melakukan perbuatan rendah yang memalukan ini?"
Wajah gandarwa merah mengelam biru, sahutnya sinis. "Habis kalau tidak begini, Pit Gi selamanya akan mengeram diri seperti bulus..."
"Kentut!"
"Keparat kau memaki siapa?"
"Memaki kau, kau mau apa?"
"Kau cari mati!" orangnya bergerak mengikuti hilangnya suara makiannya, dengan kecepatan yang paling cepat, langsung ia mencengkram kedada Suma Bing, serangan cengkraman ini bukan saja aneh, lihay juga sangat ajaib jarang terlihat sebelum ini. Seumpama tokoh silat kosen juga susah dapat menghindar diri...
Tapi hanya sekali menggeser kaki dan berkelebat menghilang dengan mudah Suma Bing melepas diri dari ancaman musuh. Sudah tentu kalau tidak mengandal keampuhan Bu siang sin hoat, tak mungkin Suma Bing mampu meluputkan diri dari serangan cengkraman setan ini.
Gandarwa merah menyeringai seram, ujarnya: "Buyung, kalau kau mau menerangkan dimana letak Perkampungan bumi berada, segera Lohu melepas dia!"
Selama diringkus oleh musuh itu, sampai detik itu belum pernah Pit Yau ang membuka mulut. Sekarang mendadak dia bersuara: "Engkoh Bing, biarkan saja, dia takkan dapat berjalan sejauh lima li!"
Tanpa terasa Suma Bing melengak sendiri, entah apa maksud perkataan istrinya ini, apa mungkin...
Gandarwa merah ter-loroh2 sikapnya sangat angkuh, katanya: "Justru Lohu tidak percaya akan bualanmu!"
Pada saat itulah sebuah suara serak dingin yang keras menyahut: "Bualannya ini kau harus percaya betul!"
Begitu mendengar penyahutan ini, semua orang terperanjat, waktu memandang kearah datangnya suara. Tampak seorang tua yang memegang kipas, dengan ikat kepala sutra dan jubah panjang bergambar patkwa didepan dadanya, sikapnya tak ubahnya seperti malaikat dewata. Entah kapan kedatangannya, tahu2 sudah berdiri terpaut dua tombak dari mereka.
Begitu melihat orang tua ini, bergegas Suma Bing maju memapak terus membungkuk tubuh memberi hormat sambil sapanya: "Menghadap pada Locianpwe!"
Cepat2 Phoa Kin sian juga maju turut memberi hormat.
Ternyata si pendatang ini tak lain tak bukan adalah Kang kun Lojin yang kenamaan itu.
Kata Kang kun Lojin sambil menunjuk Phoa Kin sian: "Dia ini..."
"Istriku!" sahut Suma Bing cepat.
Sekian lama Kang kun Lojin mengamat2i Phoa Kin Sian, wajah tuanya mendadak mengelam dalam sambil geleng2 kepala. Gerak geriknya ini membuat Suma Bing tidak habis mengerti. Adalah Phoa Kin sian sendiri juga berpaling kearah lain sambil tunduk terpekur.
Baru saja Suma Bing hendak membuka mulut bertanya, terdengarlah sebuah suara halus lirih seperti bunyi nyamuk terkiang dalam telinganya: "Buyung, Lohu ada sedikit paham ilmu meramal. Dalam jangka seratus hari ini istrimu bakal tertimpa suatu bencana, maka ber-hati2 dan waspadalah!"
Berobah airmuka Suma Bing. Seorang aneh dan kenamaan seperti Kang kun Lojin pada jamannya dulu, sudi menggunakan ilmu coan im jip bit untuk memperingati dirinya, sudah tentu bukan bualan belaka. Entah mala petaka apakah yang bakal menimpa diri Phoa Kin sian, sebab saat ini dia tengah mengandung, kalau ada kejadian apa2, bukankah... Karena batinnya ini tanpa terasa tubuhnya bergidik dan merinding.
Pandangan Kang kun Lojin beralih menyapu kepada gandarwa merah Ngo Tang, katanya: "Lepaskan dia!"
Kata2nya ini seolah2 mengandung suatu kekuatan yang tidak terbendung, gandarwa merah Ngo Tang mundur ketakutan, hilanglah sikap angkuh dan kegarangannya tadi, sahutnya tergagap: "Apakah cianpwe ini yang bernama Kang kun Lojin?"
"Hm, tepat sekali!"
Lagi2 berobah airmuka gandarwa merah, kata Ngo Tang: "Wanpwe menerima tugas dan terpaksa..."
"Kau lepaskan dia dulu!"
"Baiklah!"
Segera Gandarwaa merah melepaskan Pit Yau ang.
Karena sedikit teledor maka Pit Yau ang sampai teringkus oleh lawan, gemes dan dongkol benar hatinya. Maka begitu dirinya dilepas tanpa tanggung2 lagi segera tangannya diayun terus menggablok membalik. 'Plak' kontan gandarwa merah terhuyung lima langkah sambil meringis kesakitan.
"Siau ang kau mundur!" seru Kang kun Lojin sambil mengulapkan tangan.
Ter-sipu2 Pit Yau ang mengundurkan diri kesamping Suma Bing.
Wajah Kang kun Lojin berobah serius, katanya kepada gandarwa merah Ngo Tang: "Aku orang tua bekerja selamanya tidak kepalang tanggung, dalam jangka sebulan. Pit Gi pasti menepati janjinya pergi ke Telaga air hitam. Sekarang kau boleh pergi!"
Tanpa banyak bercuit lagi, segera gandarwa merah melejit tinggi terus menghilang.
Alis Pit Yau ang berkerut dalam, katanya: "Paman, sebenarnya ada pertikaian apakah antara ayah dengan majikan Menara iblis?"
Sahut Kang kun Lojin sambil mengipas2: "Tentang itu kau tanya sendiri kepada ayahmu."
"Selamanya tidak pernah dengar dia menyinggung tentang urusan ini?"
"Sudah tentu tidak semua urusan terus bercerita kepada kau. Sekarang segera kau kembali ke Perkampungan bumi, suruh ayahmu dalam sebulan ini menepati janji. Kalau aku orang tua sudah mewakilinya berkata, janji ini tidak dapat tidak harus, ditepati.
"Akan tetapi..."
"Bagaimana, berat meninggalkan suami mudamu ini?"
"Tua2 keladi, semakin tua semakin jadi!" semprot Pit Yau ang dengan muka merah dan malu.
Suma Bing sendiri juga merasa mukanya panas.
Kata Kangkun Lojin sungguh2: "Kalau majikan Menara iblis mengutus orang untuk meringkus kau buat memaksa ayahmu keluar, pasti urusan ini bukan sembarang urusan, kau harus segera kembali, supaya dia bisa bersiap sebelumnya!"
"Biar Titli mengutus orang memberi kabar..."
"Tidak boleh, sekarang juga kau harus pulang sendiri."
Keadaan Pit Yau ang serba susah dipandangnya Kangkun Lojin dengan sorot tanda tanya, lalu berpaling kearah Suma Bing, katanya: "Engkoh Bing, kapan kau akan pulang kampung?"
Suma Bing tertawa kecut, sahutnya: "Aku...?"
"Masa kau..."
"Urusanku belum selesai, kapan aku kembali susah ditentukan." sambil berkata sorot matanya melirik kearah Phoa Kin sian, selalu dia merasa mengganjal dalam hati, lirikan selayang pandang ini mengandung rasa penyesalan yang dalam. Sebaliknya Phoa Kin sian mengunjuk tertawa tawar saja.
Pit Yau ang menghampiri kearah Phoa Kin sian dan berkata: "Cici, kau sudah berjanji hendak menetap bersama Engkoh Bing di perkampungan bumi bukan?"
"Ya, dulu aku pernah berjanji!"
"Sekarang saja kau berangkat dulu bersama aku?"
"Jangan, masih ada urusan pribadiku yang belum selesai kukerjakan."
"Urusan pribadi apa?"
"Saat ini tidak leluasa kuberitahukan kepadamu, tapi ada sebuah pertanyaan hendak kutanya kepada kau..."
"Silahkan cici katakan."
"Apa kau benar2 cinta dia?"
"Ini... apa maksud cici?"
"Jawablah menurut isi hatimu."
"Ya, memang aku cinta dia, malah perkawinan kita sudah direstui oleh orang tuaku."
"Harap selalu ingatlah perkataanku ini, berilah bahagia kepada dia."
Pit Yau ang mengunjuk rasa tak mengerti dan termangu heran, katanya: "Cici, mengapa kau berkata demikian?"
"Kelak kau akan paham!"
Alis Suma Bing berkerut semakin dalam, ucapan atau kisikan Kangkun Lojin tadi membuatnya risau dan was2. Pikirnya, apa benar2 dalam jangka seratus hari ini Phoa Kin sian bakal tertimpa malapetaka? Ini benar2 menakutkan cara yang sempurna untuk mengatasinya adalah segera dirinya mengantar tiba Hoan hun tan kedalam solokan untuk menolong bibinya Ong Fong jui, lalu secara diam2 memberi kisikan kepada bibinya supaya mengawasinya selalu tanpa berpisah selangkahpun juga.
Karena pikirannya ini hatinya sedikit terhibur dan dada terasa lapang.
Terdengar Kangkun Lojin mendesak lagi: "Siau ang, kau segera berangkat!"
Dengan penuh rasa berat Pit Yau ang ambil berpisah kepada mereka bertiga terus berlari menghilang dikejauhan sana.
Kangkun Lojin kebutkan lengan bajunya serta berkata: "Aku orang tua juga harus pergi. Buyung, selamat bertemu!"
"Selamat bertemu!"
Begitu habis ucapannya bayangan Kangkun Lojin juga lantas menghilang.
Suma Bing terlongong memandangi Phoa Kin sian, hatinya penuh diliputi kuatir dan ketakutan.
Kata Phoa Kin sian sambil mengulum senyum: "Engkoh Bing, kenapa kau pandang aku demikian?"
"Oh, tidak apa2."
Sudah tentu dia tidak akan memberitahukan kisikan Kangkun Lojin kepada Phoa Kin sian.
"Agaknya kau ada urusan apa2 yang mengganjal hatimu?"
"Adik Sian, jejak adikmu..."
Berobah gelap air muka Phoa Kin sian, sahutnya lesu: "Belum ketemu!"
Tanpa terasa tenggelam juga perasaan Suma Bing. Pedang darah dibawa lari oleh Phoa Cu giok ini benar2 mempengaruhi segala rencananya. Tapi orang itu adalah adik iparnya sendiri, dia hanya dapat mengeluh dalam hati, maka katanya apa boleh buat: "Cari saja pelan2, tak perlu tergesa2."
"Tidak, engkoh Bing, aku harus terus mencarinya sampai ketemu."
"Urusan ini biarlah serahkan saja kepadaku..."
"Tidak mungkin..."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Dia seorang kukuh yang senang membawa adatnya sendiri, aku tidak suka terjadi hal2 yang jelek akibatnya."
"Kau tidak perlu kuatir, aku pasti..."
"Sudah kukatakan tidak mungkin!"
"Tapi keadaanmu saat ini tidak leluasa banyak bergerak!"
"Kenapa?"
"Sebab kau... sedang mengandung dan tak lama lagi bakal melahirkan!"
Ucapan Suma Bing ini setengah benar, tujuan Suma Bing adalah supaya dia tidak berkelana seorang diri, karena dia kuatir ramalan Kangkun Lojin bisa menjadi kenyataan, itulah sangat menakutkan.
Kata Phoa Kin sian tawar: "Itu tidak menjadi soal, toh bukan hendak bertempur mati2an."
"Tapi aku tidak izinkan kau berbuat begitu!"
Merah mata Phoa Kin sian, air mata sudah berlinang dikelopak matanya, ujarnya sedih: "Engkoh Bing, aku hanya punya seorang adik yang nakal dan tak genah ini, menurut pesan ayah dan bunda aku harus menjaga dan melindunginya. Mungkin ini kesalahanku, akulah yang terlalu memanjakan sehingga dia menyeleweng dan tersesat. Kalau aku tidak mencarinya kembali, pasti dia bakal melakukan sesuatu hal yang siapapun tidak berani membayangkan akibatnya..."
"Mari kita pulang dulu menilik bibi Jui!"
"Dia, kenapakah Suhu?"
"Untuk menyembuhkan luka dalamku karena tersesat dalam latihan, saat ini masih dalam keadaan pingsan!"
"Oh, lalu..."
"Aku sudah dapat memohon sebutir Hoan hun tan, kau tidak perlu kuatir."
"Syukurlah, mari cepat pulang!"
Berbareng mereka berlarian melanjutkan perjalanan menuju kesolokan yang tidak bernama itu.
Hati Suma Bing masih merasa was2 dan kuatir, dia tidak tahu apakah Hoan hun tan ini benar2 manjur atau tidak. Kalau tidak manjur, bukankah bibinya bakal tertidur untuk selama2nya.
Hari itu, Suma Bing suami istri sudah tiba didepan solokan dimana sembilan hari yang lalu Suma Bing pergi mencari obat.
Segera Suma Bing me-nekuk2 jari menghitung, lalu katanya: "Adik Sian, bahaya betul, hari ini kebetulan adalah tepat hari kesepuluh!"
Baru saja selesai ucapannya, mendadak dari empat penjuru bermunculan beberapa bayangan manusia. Orang terdepan yang memimpin rombongan pendatang tidak diundang ini tak lain adalah ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan setengah umur yang cantik molek bersama Loh Cu gi itu.
Kontan timbul nafsu membunuh Suma Bing, dia mereka dalam hati, kalau toh perempuan molek ini sudah mengunjuk diri, pasti Loh Cu gi sendiri juga turut hadir disini, dendam dan sakit hati mulai bergolak dalam darahnya yang mulai deras mengalir. Diam2 ia merogoh kantong dan mengeluarkan Hoan hun tan terus diserahkan kepada Phoa Kin sian, serta katanya: "Adik Sian, segera kau menyingkir, bibi rebah diatas pembaringan kamar dalam, lebih penting kau pergi menolong jiwanya!"
"Lalu kau bagaimana?"
"Hendak kubunuh semua para kurcaci rendah ini!"
"Kita bersama ganyang mereka dulu baru masuk kedalam!"
"Jangan, segala urusan susah diramalkan, jangan kau main kelakar dengan jiwa bibi. Hari ini adalah hari terakhir."
"Apa kau cukup kuat menghadapi mereka?"
"Mereka sudah mendesak tiba, lekas kau pergi. Jangan sampai diketahui rahasia dalam solokan dibawah sana."
"Hm, kalau ada orang berani masuk kesolokan sana, berarti mereka mencari mati!"
"Adik Sian lekas pergi!"
Phoa Kin sian ulurkan tangan menyambuti Hoan hun tan terus melejit tinggi berlari keluar...
"Lari kemana?" ditengah suara bentakan yang riuh rendah, empat orang jagoan dari Bwe hwa hwe maju mencegat jalan larinya.
"Cari mati!" terdengar Suma Bing juga menghardik keras terus berkelebat maju.
Belum sempat Suma Bing turun tangan empat jagoan Bwe hwa hwe yang mencegat jalan keluar Phoa Kin sian itu baru saja terpaut setombak didepan Phoa Kin sian, mendadak melolong tinggi terus roboh kelejetan, jiwanya lantas melayang.
Tanpa terasa Suma Bing sendiri juga tertegun heran, cepat2 ia hentikan langkahnya.
Maka terdengarlah seruan kejut dan kaget saling susul dari empat penjuru: "Ha racun!" — "Awas sundel ini menebarkan racun!"
Dalam keributan itulah sekejap mata saja Phoa Kin Sian sudah lolos keluar dari kepungan.
Keadaan yang diluar dugaan ini, benar2 membuat ciut dan gentar nyali setiap jagoan dari Bwe hwa hwe.
Mendadak Suma Bing memutar tubuh menghadap kearah Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan cantik itu. Wajahnya membeku diliputi hawa membunuh. Musuh2nya yang mengepung diempat penjuru mulai mendesak maju, tiga orang satu kelompok, dua orang satu iringan. Tercekat hati Suma Bing, terang lawan agaknya tengah mengatur satu barisan untuk mengepung dirinya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong tertawa menyeringai, ujarnya: "Suma Bing, kau menyerah saja untuk diringkus!"
Suma Bing mendengus, jengeknya: "Chiu Thong, hari ini kau pasti mati!"
Baru saja suaranya lenyap, tahu2 tubuhnya sudah berkelebat tiba didepan ketua Bwe hwa hwe itu, terus kirim sebuah pukulan mengarah dada...
Gerak-geriknya ini adalah menggunakan ilmu Bu siang sin hoat, kecepatannya susah diikuti oleh pandangan mata, tapi begitu tangannya menyerang mendadak ia kehilangan bayangan musuhnya. Malah pada saat itu juga ia rasakan beberapa jalur angin pukulan melanda tiba dari berbagai jurusan menyerang dirinya, benar2 hebat angin pukulan gabungan ini, kontan Suma Bing terpental balik ketempat asalnya lagi.

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now