30. Ajal yang Mengenaskan

3.1K 54 6
                                    

"Anak keparat, kedua belah pintu itu menjadi contohmu, tinggal mengangkat tangan saja, segera kau tinggal setumpukan abu."

Tak kuat Suma Bing menahan rangsang kegusaran yang menerjang hatinya, lagi2 mulutnya mengoak menyemburkan darah segar.

Loh Cu gi menyeringai sadistis, per-lahan2 kedua tangan diangkat...
Bola mata Suma Bing bagai butir kelereng yang hampir mencelat keluar, per-lahan2 ujung matanya melelehkan air darah.

Pada saat2 menghadapi kematian ini perasaan Suma Bing ber-angsur2 menjadi tenang malah, berkelebatan dalam pandangannya beberapa wajah gadis pemujanya, terakhir tatapannya terhenti pada bayangan seorang gadis ayu bak bidadari, dia bukan lain adalah istrinya Phoa Kin sian, serta merta terunjuk senyum getir pada wajahnya, teringat olehnya bahwa Phoa Kin sian sekarang sudah mengandung keturunannya. Timbullah sepercik api pada detik2 keputus asaannya ini, tak kuatir kelak takkan ada orang yang menuntutkan balas baginya.

Rona wajah Loh Cu gi berobah tak menentu, sesaat tengah dia ragu2 mengerahkan tenaganya kearah kedua tangannya yang sudah terangkat tinggi itu.
Se-konyong2 wanita ayu setengah umur itu berseru: "Apa kau benar2 hendak membunuh dia?"
Raut wajah Loh Cu gi berobah mengeras, matanya memandang liar, sahutnya: "Sudah tentu, apa kau hendak meninggalkan bibit bencana dikelak kemudian hari?"
"Tapi apa kau sudah mempertimbangkan secara masak?"
"Apanya yang perlu dipertimbangkan?"
"Tokoh2 lihay dibelakangnya itu."
Daging diwajah Loh Cu gi gemetar sebentar, lalu katanya: "Tokoh2 lihay apa maksudmu?"
"Dia sudah terpukul masuk kedalam jurang lembah kematian, namun kenyataan dia masih hidup, ilmu gerak tubuh dari Bu siang sin hoat yang dipertunjukkan itu, dan munculnya Panji tulang putih, kau harus memikirkan akan sebab musabab semua ini..."
"Tapi tidak bisa tidak aku harus bunuh dia?"
"Kalau kau benar2 bunuh dia akibatnya..."
"Akibat apa?"
"Mungkin membawa bencana dan kenaasan bagi Bwe hwa hwe kita!"
"Apa mungkin...?"
"Kurung dia sementara waktu. Mungkin dengan jiwanya masih hidup, nilainya akan lebih berharga dari kematiannya!"
"Nilai apa?" per-lahan2 kedua tangan Loh Cu gi yang terangkat itu diturunkan lagi, agaknya 'nilai' kata ini membawa pengaruh sangat besar dan memincut hatinya.
Dorna bejat yang telah dianugerahi sebagai tokoh silat nomor satu diseluruh jagat ini, agaknya masih belum puas dengan apa yang telah dicapainya pada saat itu. Cita2nya yang terakhir adalah hendak bersimaha raja dan memerintah diseluruh kolong langit. Oleh karena itu, ucapan wanita ayu setengah umur ini benar2 tepat mengenai lubuk hatinya.
Memang benar, kalau dibelakang punggung Suma Bing ada Bu siang sin li, Pek kut Hujin dll, gembong2 silat lihay sebagai andalannya. Dinilai kekuatan dan kemampuan dari Bwe hwa hwe pada saat itu, sedikit salah tindak memang mungkin bisa membawa bencana bagi pihaknya sendiri. Sebaliknya kalau mengurung Suma Bing, dalam saat2 yang menentukan mungkin bisa digunakan sebagai sandera, memang nilai dari akal licik ini tidak akan terhitungkan.
'Plak, plok!' sesudah terdengar dua suara keplokan ini, terlihat Heng si khek tertua dari Si tiau khek ter-sipu2 melangkah masuk ruangan.
"Cujin, entah ada perintah apakah?"
"Gusur anak jadah ini, masukkan kedalam penjara dibawah tanah!"
Heng si khek segera mengiakan dengan hormat. Sekali jinjing ia kempit Suma Bing dibawah ketiaknya terus berjalan keluar dari ruangan besar itu, tak lama kemudian dia memasuki hutan bunga Bwe yang penuh jebakan dan barisan itu, tak lama kemudian tibalah dia didepan sebuah gunung2an palsu, segera Heng si khek membentak keras: "Buka pintu!"
Dari tengah2 gunung2an palsu itu segera per-lahan2 terbuka sebuah lobang yang gelap gulita. Dua orang laki2 yang berwajah bengis menakutkan berseragam hitam sigap sekali melompat keluar dari lobang gelap itu, mereka berdiri tegak dan hormat dikanan kiri terus membungkuk memberi hormat kepada Heng si khek.
Kata Heng si khek penuh lagak: "Keadaan nomor tujuh bagaimana?"
Salah seorang seragam hitam membungkuk tubuh serta menjawab dengan hormat: "Tiada kesukaran apa2"
"Sekarang anak jadah ini menjadi nomor delapan?"
Kedua penjaga bengis seragam hitam itu segera mengiakan.
"Nomor tujuh dan delapan ini bukan sembarang tahanan, kalian harus menjaga lebih ketat dan waspada, jangan se-kali2 kalian lalai menjalankan tugas!"
"Baik!"
"Unjukkan jalan."
Kedua laki2 seragam hitam itu segera mengiakan dan memutar tubuh terus memasuki lorong gelap itu. Heng si khek mengikuti dibelakang mereka.
Selama ini Suma Bing tidak mengeluarkan suara barang sekejappun juga. Karena kehilangan tenaga, terpaksa dia pasrah nasib dan membiarkan saja apa yang hendak diperbuat atas dirinya.
Lorong gelap itu agaknya sangat panjang dan dalam, semakin lama hawa terasa dingin basah dan berbau apek. Setelah membelok satu tikungan, terlihat diatas dinding diatas undakan batu yang menurun tergantung sebuah pelita minyak yang menyinarkan cahaya redup.
Kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka tiba disebuah ruangan batu yang besar dari cahaya pelita yang remang2 dapat terlihat beberapa pintu2 besi berjajaran. Agaknya tempat inilah yang mereka namakan sebagai penjara bawah tanah.
Salah seorang seragam hitam itu maju membuka sebuah pintu besi nomor empat dari deretan sebelah kiri, enteng sekali Heng si khek membuang tubuh Suma Bing kedalam ruang gelap dibawah sana.
'Bum!' pintu besi yang tebal dan berat itu kembali ditutupkan. Mulai saat itu Suma Bing merasakan hidup dalam dunia gelap yang menyerupai neraka.
Suma Bing pejamkan kedua matanya dan rebah diatas tanah yang lembab dan berbau apek. Saat mana terasa hatinya kosong melompong, tak terpikirkan apapun juga dalam benaknya, perasaannya se-akan2 sudah membeku, hanyalah keputus asaan dan khayalan saja yang merangsang sanubarinya.
Entah sudah berselang berapa lama, terdengar suara ketokan yang berirama panjang menyadarkan dirinya dari lamunan dan khayalannya.
Sedemikian gelap pekat keadaan penjara itu sampai lima jari sendiri juga tidak terlihat. Tenaga dalam Suma Bing sudah lenyap, keadaannya tidak lebih seperti orang biasa. Dengan keadaannya saat itu tak mungkin ia dapat melihat tegas keadaan sekeliling dirinya. Tapi suara ketokan itu terus bergema, lama kelamaan menimbulkan rasa heran dan menarik hatinya.
Maka pelan2 dia bangkit berdiri dan mulai meraba2 dan menggeremet maju, kiranya kamar penjara itu lebarnya tidak lebih dari dua tombak, dimana tangannya menyentuh dinding terasa dingin dan licin penuh lumut. Dipojokan dinding sebelah dalam terdapat sebuah dipan, diatas dipan terdapat sebuah bantal dan kemol.
Demikianlah dengan penuh semangat dia me-raba2 dan memperhatikan dimana letak asal suara ketokan itu. Akhirnya diketemukan juga ternyata suara itu datang dari sebuah celah2 batu diatas dinding dimana terletak dipan itu. Didekapkan kupingnya dicelah2 batu itu, maka terdengar sebuah suara lemah tengah berkata: "Pesakitan nomor delapan, pesakitan nomor delapan. Apa kau dengar suaraku?"
Tanpa terasa berdetak jantung Suma Bing. Apa suara ini itu adalah pesakitan nomor tujuh yang dipesankan wanti2 oleh Heng si khek kepada penjaga2 itu? Entah orang macam apakah pesakitan nomor tujuh ini. Karena rasa heran dan ketarik tangannya juga mengetuk2 dinding dua kali, sambil mendekatkan mulutnya dicelah2 dinding batu lalu berseru: "Sudah dengar, siapakah tuan ini?"
"Siapa kau?"
"Aku!" sejenak Suma Bing ragu, lalu serunya: "Aku yang rendah Suma Bing".
"Apa, coba katakan sekali lagi." - Suara itu terdengar gemetar penuh keheranan.
Tergerak hati Suma Bing, apa mungkin orang disebelah itu mengenal dirinya, maka katanya lagi: "Aku yang rendah Suma Bing!"
"Suma Bing."
"Benar."
"Kau murid Sia sin Kho Jiang?"
"Tidak salah!"
Suara itu kini berobah mengeluh bagai berputus asa: "Kau... bagaimana bisa terjatuh ditangan Bwe Hwa hwe?"
"Siapakah tuan ini?"
"Oh, aku... aku... saudara kecil, aku adalah Poh Jiang."
Tergetar seluruh tubuh Suma Bing kejutnya luar biasa bagai mendengar guntur ditengah hari bolong. Bahwa Tiang un Suseng Poh Jiang ternyata juga dikurung didalam penjara dibawah tanah, mimpi juga dia tidak menduga sama sekali.
Persahabatannya dengan Tiang un Suseng sedemikian erat bagai saudara kandung sendiri. Karena hubungannya dengan Sucinya Sim Giok sia, maka dia hapus seluruh permusuhan gurunya dengan Bu lim sip yu.
Wi thian chiu Poh Jiang karena patah hati lantas dia mengganti nama julukannya menjadi Tiang un Suseng. Demikian juga Sim Giok sia karena mencintainya, lantas dikurung oleh ibunya yaitu Setan barat selama tigapuluh tahun. Sepasang kekasih yang mengalami penuh derita ini akhirnya bertemu kembali setelah tigapuluh tahun kemudian, terkabullah cita2 mereka bersama, meski masa remaja mereka sudah silam, namun kebahagiaan yang terlambat datang ini, masih tetap berharga, sungguh tidak duga...
Suma Bing tidak membayangkan terlebih jauh, "Engkoh Poh!" suaranya lirih dan serak.
"Saudara kecil, peristiwa apa yang telah kau alami?"
Suma Bing mengertak gigi, desisnya: "Tidak beruntung aku terjatuh ditangan Loh Cu gi..."
"Loh Cu gi?"
"Benar!"
"Eh bagaimana penjelasannya, bukankah ini tempat penjara dibawah tanah dari Bwe hwa hwe?".
"Justru Loh Cu gi adalah orang yang pegang peranan dibelakang layar dalam Bwe hwa hwe?"
"Oh."
"Engkoh Poh, kau..."
"Ada orang datang, nanti kita bicarakan lagi, kau rebahlah, pura2 tidak terjadi sesuatu apa!"
Suma Bing menurut dan rebah diatas dipan. Terdengar derap langkah kaki berhenti didepan pintu penjara, lalu terbukalah sebuah lobang persegi diatas pintu besi itu.
"Suma Bing, terimalah makananmu."
Untuk dapat bicara lagi dengan Tiang un Suseng, terpaksa Suma Bing tekan gelora amarah hatinya, ogah2an ia sambuti makanan itu. 'Brak.' lobang persegi itu tertutup lagi.
Tidak lama kemudian suara ketokan itu terdengar lagi.
Bergegas Suma Bing kembali berdiri dicelah2 dinding batu itu, ujarnya: "Kakak Poh, bagaimanakah pengalamanmu?"
"Kurang lebih satu bulan kemudian sejak berpisah dengan kau, kami kena teringkus oleh Su tiau khek. Kalau menurut katamu tadi bahwa Loh Cu gi adalah dalang dibelakang layar dari semua peristiwa ini, maka aku tidak perlu heran, aku paham mengapa mereka hendak menawan kamu. Naga2nya diantara kawan2 dari Bu lim sip yu yang meninggal secara aneh itu pasti perbuatan dari Bwe hwa hwe".
"Kenapa mereka tidak segera membunuh kau malah mengurungmu disini."
"Kau harus ingat sebutan nama julukanku dulu?"
"Wi thian chiu?"
"Benar, Bwe hwa hwe menghargai kepandaian ilmu ketabibanku. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan mengabdi diri kepada Bwe hwa hwe!"
"Apa kau sudi?"
"Saudara kecil, apa kau anggap aku Poh Jiang orang semacam itu?"
"Poh heng, lalu bagaimana Suci Sim Giok sia..."
"Dia..."
Perasaan tak enak segera merangsang hati Suma Bing, tanyanya menegas dengan suara gemetar: "Bagaimana dia sebenarnya?"
Tiang un suseng menggeram dan mengertak gigi, sahutnya: "Dia sudah mati."
"Sudah mati?"
"Benar dia sudah mati!"
Tubuh Suma Bing bergetar dan mengejang, pandangannya menjadi gelap dan bumi dimana dia berpijak terasa berputar2, hampir2 dia tidak kuat menunjang tubuhnya sendiri. Budi yang diterimanya dari Sia sin Kho Jiang suhunya terlalu besar. Maka besar hasratnya hendak membalas kebaikan budi suhunya atas tubuh sucinya Sim Giok sia ini, sungguh tidak kira ternyata dia sudah meninggal.
"Cara bagaimana kematiannya itu?"
"Mati disampingku!"
"Disampingmu?"
"Benar, dia juga tertawan bersama aku dan terkurung dalam penjara ini!"
"Yang kutanyakan adalah cara kematiannya?"
"Bunuh diri."
"Apa! Bunuh diri? Apa kau diam saja melihat dia bunuh diri?"
"Waktu kita tertawan masing2 terluka berat, malah tenaga dalam kita kena mereka lenyapkan terus dikurung dikamar batu ini. Karena terlalu gusar dan darah merangsang jantung sehingga aku jatuh pingsan, karena kurang teliti dia menyangka aku sudah mati, maka..." bercerita sampai disini Tiang un Suseng sudah sesenggukkan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
Darah Suma Bing terasa berjalan semakin cepat, dadanya terasa rada2 sakit, giginya gemeratak, suaranya geram penuh kemurkaan: "Maka bagaimana?"
"Dia... mati menumbukkan kepalanya didinding batu!"
Dua butir airmata pelan2 meleleh dikedua pipi Suma Bing.
Terdengar Tiang un Suseng bicara lagi: "Saudara kecil, dapatlah kau bayangkan betapa sedih keadaanku saat itu, aku ingin mengejar kepergiannya, tapi sebelum sakit hati ini terbalas, mana aku bisa mati meram. Maka terpaksa aku harus hidup. Sekarang, saudara kecil, untung Tuhan mengaturmu sampai tiba ditempat ini. Dapatlah terkabul keinginanku..."
"Keinginan apa?"
"Karena aku Sim Giok sia menderita dan hidup sengsara selama tigapuluh tahun dalam penjara, kita sudah mengorbankan masa remaja kita untuk cinta kita itu. Sekarang dia telah mati, bagaimana aku bisa meninggalkan dia, saudara kecil, pembalasan dendam ini, kuwakilkan kepada kau!"
Lagi2 timbul rasa kejang dan merinding seluruh tubuh Suma Bing, perasaan dingin pelan2 merangsang hati kecilnya.
"Engkoh Poh, kau..."
"Selama hidup ini aku tidak akan meninggalkan kamar penjara ini lagi."
"Kau... tindakanmu ini..."
"Saudara kecil, mengenai dirimu terhadap diriku merupakan keajaiban, kalau orang berharap hidup diambang kematiannya. Sebaliknya aku berdoa supaya dapat mati ditempat ini juga. Saudara kecil, kalau kau tidak sampai dipenjarakan dipenjara bawah tanah ini, kematianku ini pasti akan sia2."
"Poh heng, apa kau beranggapan aku bisa lolos keluar dengan masih hidup?"
"Sudah tentu!"
Jawaban tegas ini membuat Suma Bing tertegun, tanyanya tak mengerti: "Mengapa bisa pasti?"
"Karena aku sudah merencanakan cara melarikan diri!"
"Rencana?"
"Benar!"
"Kenapa kau sendiri tidak mau lolos keluar menurut rencanamu itu?"
"Rencanaku ini adalah untuk orang lain, dan bukan untukku sendiri!"
"Mengapa?"
"Sudah kukatakan selama hidup ini aku tidak akan meninggalkan kamar penjara ini. Aku ingin pergi menyusul Sim Giok sia ditempat yang sama ini."
"Poh heng kata2mu ini keterlaluan!"
"Saudara kecil, inilah keajaiban yang susah kuharapkan sebelumnya, kau tak perlu banyak kata lagi. Sekarang biar kujelaskan tentang rencanaku itu. Satu jam kemudian kau akan dapat melihat matahari..."
"Tidak mungkin!"
"Kau belum dengar habis ucapanku, darimana kau tahu tidak mungkin?"
"Sebab Lwekangku sudah amblas sama sekali..."
"Aku sudah tahu!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suma Bing heran.
"Sudah merupakan tradisi bagi mereka bahwa semua pesakitan yang dikurung dalam penjara bawah tanah ini pasti dilenyapkan tenaganya. Tapi, saudara kecil, ingat nama Wi Thian chiu tidak kuperoleh secara sembarangan kepandaian cara menutuk nadi dan menyumbat tenaga bagi aku bukan hal yang menyukarkan hanya sekali angkat tangan saja segera bisa kupulihkan tenagamu."
Keterangannya ini hampir susah dimengerti dan dipercaya.
Sejenak Tiang un Suseng berhenti, lalu melanjutkan keterangannya: "Aku sendiri juga mengalami kena tertutuk jalan darahku sehingga hilang tenagaku. Tapi tidak sampai setengah jam aku sudah dapat membebaskan diri dan kembali seperti sedia kala. Kalau tidak, mana bisa aku menyelesaikan rencanaku."
"Rencana apa?"
"Landasan kamar batu ini tidak dalam, satu kaki kemudian sudah menembus tanah, menggunakan waktu selama sebulan aku bekerja keras dan dapat kugali sebuah jalan tanah yang terus menembus keluar dari barisan pohon bunga Bwe itu, untuk meloloskan diri sudah segampang seperti membalikkan tangan."
Suma Bing hampir tidak percaya akan pendengarannya, karena keterangan seperti dongeng ini benar2 susah dipercaya, maka tercetus seruan herannya: "Apa betul?"
"Saudaraku, saat apakah ini masa aku masih main berkelakar?"
"Menurut katamu rencanamu itu bukan untuk kau sendiri?"
"Ya, begitulah!"
"Jadi kau sebelumnya sudah tahu bahwa aku bakal terkurung disini?"
"Tidak. Aku hanya mengharap dapat menolong seorang kawan, tujuanku yang utama waktu itu ialah supaya dapat memberi kabar kepada kau. Maka secara diam2 telah kubuat sebuah pintu rahasia diantara dinding kamar kita ini. Dicelah2 batu inilah letaknya, sungguh tak terduga setelah rencanaku selesai, orang pertama yang terkurung dikamar sebelah ini ternyata adalah kau. Bukankah ini suatu keajaiban?"
Suma Bing berdiri ter-longong2, hatinya terharu darahnya mengalir semakin cepat. Mimpi juga tidak terkira olehnya akan mendapat rejeki nomplok ini, satu jam kemudian dirinya bakal melihat matahari lagi, dendam kesumat dan sakit hati bakal dapat diselesaikan. Dengan adanya harapan yang bakal tiba ini, timbul juga perasaan bencinya yang menyala2 kepada para musuhnya.
"Saudaraku, sekarang kau kemarilah."
"Aku..."
Celah2 batu yang semula berlobang kecil itu lama2 semakin melebar dan akhirnya berlobang sebesar dua kaki persegi, sebuah tangan terulur keluar dari kamar sebelah.
Sambil berjingkrak girang Suma Bing genggam tangan itu erat, jantungnya serasa hendak melompat keluar. Tanpa mengeluarkan banyak tenaga pada lain saat dia telah tiba dikamar penjara nomor tujuh. Serta merta mereka berpelukan sedemikian kencang penuh haru.
Secepat kilat tiba2 Tiang un Suseng beruntun menutuk jalan darah Suma Bing yang terbagi tujuh jalan darah besar dan dua belas jalan darah kecil.
Seketika Suma Bing rasakan sendi2 tulangnya berkeretekan, urat2 nadi dan jalan darahnya bergetar, lantas terasa hawa murninya menjalar lebar keseluruh tubuh dalam sekejap mata pulihlah seluruh kekuatannya.
Kata Tiang un Suseng sambil menunjuk kebawah dipan: "Pintu rahasia jalan tanah itu dibawah dipan itulah."
"Poh heng, mari kita pergi bersama!" demikian ajak Suma Bing, suaranya tergetar.
"Tidak!"
"Mengapa kau sedemikian kukuh?"
"Ini bukan kukuh adikku, pengorbanan Sucimu Sim Giok sia terlalu besar bagi aku sebaliknya apa yang telah kuberikan kepada dia? Masa aku masih begitu melit untuk hidup merana?"
Tiba2 terdengar langkah2 berat semakin mendatangi.
Tiang un Suseng menjadi gugup, sambil mendorong Suma Bing katanya: "Lekas berangkat!"
"Tidak, kalau mau pergi, mari kita bersama!"
"Adikku aku mohon kau suka mengabulkan permintaanku ini!"
"Segalanya kita rundingkan lagi setelah kita bebas!"
"Sedikit lagi terlambat, segalanya akan gagal total?"
"Poh heng, bagaimana juga aku tidak tega meninggalkan kau didalam kamar neraka ini!"
Saat mana suara derap langkah itu sudah mendekat sampai diluar pintu penjara.
Tiang un Suseng Poh Jiang menekan suaranya, katanya gemetar: "Suma Bing, kebandelanmu ini akan mengakibatkan kita berdua melayang jiwa secara sia2. Kalau tiada aku yang melindungi dan membendung serbuan mereka, kau takkan dapat keluar bebas dari jalan tanah ini. Suma Bing, jadi setan juga aku akan membencimu!"
'Brak!' terdengar jendela kecil diatas pintu besi terbuka lalu disusul terdengar seruan kaget: "Hai, dimana tawanan nomor delapan?"
Tuiiiiiiiiit... sebuah suitan panjang bagai lengking setan membuat suasana diluar kamar menjadi gaduh, terdengar langkah kaki serabutan dan seruan para petugas yang menjadi gugup dan ribut.
Desis Suma Bing sambil kertak gigi: "Kubunuh dulu para anjing..."
"Kau sudah gila. Seumpama kau dapat keluar dari penjara bawah tanah ini, apa kau mampu keluar dari kurungan barisan pohon Bunga Bwe itu. Lekas berangkat, kalau tidak terpaksa kubunuh kau?"
Terdengar pintu kamar sebelah atau kamar nomor delapan sudah terbuka, disusul sebuah seruan: "Kamar nomor tujuh, sudah merat melubangi dinding!" sebuah kepala manusia tiba2 menongol keluar dari lobang dinding itu. Dan orang2 lain sudah memburu tiba diluar pintu besi kamar nomor tujuh...
Suasana tegang mencekik leher ini semakin meruncing dengan adanya keributan mulut2 yang ber-kaok2 gugup.
Dimana terlihat sebuah tangan Suma Bing melayang segera terdengar sebuah jeritan ngeri disusul hujan darah ber-derai2. Ternyata kepala yang nongol keluar itu kini sudah hancur ber-keping2, darah kental dan otaknya berhamburan, kontan tubuhnya yang tanpa kepala lagi itu terbanting keras diatas tanah.
Mendadak Tiang un Suseng kerahkan tenaganya menekan dan mendorong tubuh Suma Bing kearah kolong dipan. Sambil berseru: "Suma Bing, kalau kau menggagalkan rencanaku, menjadi setan juga aku tidak akan ampuni kau!"
Dalam keadaan yang terpaksa itu akhirnya Suma Bing kertak gigi terus menyusup masuk kedalam lobang yang telah digali oleh Tiang un Suseng itu, lobang itu sangat kecil tapi cukup untuk seorang merambat didalamnya.
Dalam pada itu, pintu besi kamar nomor tujuh sudah terbuka. Beberapa orang laki2 bertubuh tegap dan bermuka bengis menerjang masuk. Satu diantaranya yang terdepan segera membentak sambil menuding Tiang un Suseng: "Mana orangnya?"
"Orang siapa?"
"Tawanan nomor delapan!"
"Mana aku tahu?"
"Keparat agaknya kau sudah bosan hidup".
"Benar, tapi kalian harus menjadi imbalan, jiwaku."
"Ong Sun, segera laporkan kepada markas besar."
Setelah memberikan perintahnya, orang ini segera ulurkan cakar tangannya hendak mencengkram dada Tiang un Suseng.
Begitu miringkan tubuh, secepat kilat Tiang un Suseng gerakan sebelah tangannya maka terdengar jeritan ngeri yang panjang, kontan orang terdepan itu roboh terkapar dengan batok kepalanya hancur luluh.
"Tenaganya sudah pulih kembali." — dibarengi dengan seruan2 yang gegap gempita beberapa orang itu serempak mengirim serangan mengurung Tiang un Suseng.
Tiang un Suseng sudah bertekad untuk mati, sedikitpun tidak takut2 lagi akan keselamatan jiwa sendiri. Sambil membentak bagai guntur kedua tangannya bergerak dengan pukulan dahsyat terus menyapu kedepan, seketika itu ada dua orang didepannya kena tersapu roboh terguling.
Begitu dapat merobohkan dua musuh segera Tiang un Suseng mundur mepet dinding, kedua tangannya masih bergantian bergerak menyerang musuh yang berani mendekat. Maka akhirnya tiga orang laki2 tegap yang masih ketinggalan hidup lari terbirit2 keluar kamar tahanan. 'Blang', pintu kamar tahanan itu tertutup dan dikunci pula dari luar.
Baru sekarang Tiang un Suseng dapat menghela napas lega, wajahnya mengunjukkan senyum kecut yang menyedihkan, cepat2 dia menutup lobang dibawah dipan, setelah semuanya diatur rapi, dalam waktu dekat pasti tidak mudah dapat diketemukan tempat rahasia ini. Lalu terdengar ia menggumam sedih: "Adik Sia, aku menyusulmu!" — Begitu mengerahkan tenaga dengan mudah saja jarinya sendiri amblas kedalam jalan darah Tay yang hiat dipelipisnya.
Demikianlah akhir riwayat hidup Tiang un Suseng, salah seorang dari Bu lim sip yu yang masih ketinggalan hidup.
Sepasang kekasih yang telah tergembleng dan kenyang merasakan penderitaan pahit getir percintaan akhirnya meskipun telah memperoleh buah percintaan yang mereka angan2kan, tapi itu hanya sekejap saja bagai asap seperti khayalan belaka.
Sementara itu, dengan penuh, kemarahan yang me-luap2 Suma Bing terus merangkak se-cepat2nya menggunakan kaki dan tangannya, sekuat tenaga dia bekerja mati2an mengejar waktu untuk secepatnya keluar dari lorong bawah tanah itu. Kira2nya sepeminuman teh kemudian, selarik sinar cahaya menyorot masuk kedalam lorong bawah tanah itu. Melihat mulut gua sudah diambang pintu semangat Suma Bing semakin berkobar, merangkaknya juga makin dipercepat, tak lama kemudian tibalah dia diluar lorong kecil itu. Setelah lolos dari renggutan elmaut terasa lega dan bebaslah dirinya, ia menghela napas panjang.
Jiwa hidupnya ini telah diganti dengan kematian Tiang un Suseng.
Setelah menghela napas lega, matanya liar menyapu kesekelilingnya. Kiranya mulut lorong kecil itu memang benar berada diluar barisan pohon bunga Bwe, letak mulut gua kecil itu tersembunyi dibalik gundukan tanah yang teralingi oleh jajaran bunga Bwe yang tumbuh sangat lebat itu.
Terdengar Suma Bing mengertak gigi dan bicara seorang diri: "Akan datang suatu hari aku pasti menyapu bersih seluruh Bwe hwa hwe!"
Pada saat itulah mendadak terlihat berpuluh bayangan orang berkelebatan mendatang.
Seketika timbul nafsu yang bergelora dalam benak Suma Bing — Bunuh!
Dia lupa bahwa dirinya baru saja lolos dari belenggu musuh, dilupakan pula bahwa tempat dia berada sekarang masih merupakan lingkungan kekuasaan Bwe hwa hwe.
"Ha, itulah dia disana!"
"Benar, segera kirim kabar!"
Ditengah suara bentakan yang riuh rendah puluhan orang2 itu serabutan berlari mendekat terus mengepung Suma Bing.
Terdengar suara suitan yang saling bersahutan semakin jauh dan jauh sekali. Agaknya pihak Bwe hwa hwe sudah mengetahui akan lolosnya Suma Bing, maka segera memberi pertanda kepada semua anak buahnya dan pos2 penjagaan supaya waspada dan mencegat atau mengejar Suma Bing.
Rasa kebencian Suma Bing kepada musuh2nya sudah ber-limpah2, saat mana sudah tidak teringat olehnya untuk tinggal pergi menyelamatkan diri, juga tidak terpikirkan bahwa kemampuannya sekarang masih bukan tandingan pihak Bwe hwa hwe. Yang terpikirkan dalam otaknya hanya hendak melampiaskan rasa benci dan dendam, yaitu — membunuh!
Sinar matanya mencorong buas dan memandang liar meneliti para musuh2nya yang mengelilingi sekitarnya. Serta merta para jagoan Bwe hwa hwe itu mundur ketakutan berpadu pandang dengan sinar mata Suma Bing.
Akhirnya terdengar suara bentakan Suma Bing yang menggeledek, maka terlihat ia lancarkan jurus Liu kim hoat ciok, salah satu jurus paling dahsyat dari ilmunya Kiu yang sin kang.
Dimana gelombang panas mendampar kontan terdengar suara pekikan dan jeritan saling susul, lima orang dihadapannya sungsang sumbel dan mati seketika dengan tujuh lobang panca indra meleleh darah segar.
Sisa kawan2nya yang masih ketinggalan hidup semua mundur ketakutan serasa semangat mereka sudah terbang ke-awang2.
Setelah jurus pertama dilancarkan, dimana terlihat tangannya ber-gerak2 dikerahkannya tenaganya menuju keujung jari, seketika Cincin iblis dijari tengahnya memancarkan sinar kemilau. Melihat gelagat yang membahayakan ini, para anak buah Bwe hwa hwe itu segera putar tubuh hendak melarikan diri.
Namun kecepatan gerak sinar kemilau itu lebih cepat, dimana sinar itu menyambar dan menyapu, lantas terjadilah hujan darah dan pekik kesakitan yang menggiriskan saling susul memecahkan kesunyian. Dua diantaranya terbang terpenggal batok kepalanya dua yang lain terputus menjadi dua sebatas pinggang, dan yang lain2 banyak yang kehilangan kaki tangan, sedang yang tidak terluka juga berdiri kesima tak bergerak, kaki dan tangan terasa lemas tak bertenaga.
"Suma Bing, kejam benar perbuatan ini!" disusul seruan nyaring ini terlihat sebuah bayangan langsing melesat keluar dari rimbun pohon bunga Bwe sana.
Bayangan orang yang mendatangi ini bukan lain adalah Ma Siok ceng, salah satu pelindung dari Bwe hwa hwe.
Melihat kedatangan Ma Siok ceng ini lebih tebal lagi nafsu membunuh Suma Bing bentaknya dingin: "Ma Siok ceng, wanita jalang yang tidak tahu malu, sangat kebetulan kedatanganmu ini!"
Memang Ma Siok ceng terkenal akan kecabulannya, terhadap pemuda cakap ganteng dihadapannya ini sampai mati juga dia tidak bakal melupakannya, rasa pelampiasan nafsu yang ber-kobar2 menghilangkan rasa takutnya terhadap kepandaian orang yang lihay luar biasa, sambil pelerak pelerok dengan genitnya ia berkata: "Suma Bing, sepuluh li disekitar markas besar ini sudah terbentang jaring2 jebakan yang teratur rapi bagai gelagasi, seumpama kau tumbuh sayap juga jangan harap dapat terbang keluar, kalau kau tidak ingin mati, aku dapat menolong kau, tapi..."

"Tutup mulut, dengar kataku, hari ini kau pasti mati!"

Berobah membeku wajah Ma Siok ceng, dampratnya: "Jangan kau tidak tahu kebaikan."

"Serahkan jiwamu!" ditengah bentakannya ini tubuhnya berkelebat mengirim serangan.

Ma Siok ceng sudah pernah merasakan kelihayan gerak tubuh Suma Bing yang hebat, maka begitu mendengar Suma Bing membentak cepat luar biasa tubuhnya melejit mundur dua tombak jauhnya, adalah sangat untung sekali dia dapat menghindari serangan gebrak pertama ini, tapi tidak urung wajahnya sudah berobah pucat ketakutan.
Begitu serangan pertama menemui kegagalan. Suma Bing mendengus keras, serunya: "Ma Siok ceng, dapat kau menghindari dua kali seranganku lagi, biar hari ini kuampuni jiwa kotormu itu!"
Baru saja suaranya lenyap tubuhnya sudah berkelebat lagi bagai gerakan malaikat... 'Blum!' dimana jerit kesakitan terdengar, terlihat Ma Siok ceng terhuyung delapan langkah, mulut mungilnya terpentang terus menyemburkan darah segar, tubuhnya juga limbung hampir roboh.

Pedang Darah Bunga IblisDove le storie prendono vita. Scoprilo ora