47. Ternyata Ibu Suma Bing Adalah ...

3K 52 1
                                    

Berpikir sampai disini, semakin besar hasratnya untuk segera meluruk kemarkas besar Bwe hwa hwe, supaya sakit hatinya dapat segera terbalas.
Namun ber-turut2 lain pikiran segera merangsang juga dalam benaknya. Itulah persoalan tentang barisan pohon2 bunga Bwe itu. Barisan inilah merupakan perintang utama sebagai penghambat untuk terlaksananya cita2nya untuk menuntut balas. Kalau tidak dapat memecahkan barisan pohon2 bunga Bwe ini, bagaimana juga dirinya tidak bakal dapat memasuki markas besar musuh. Alis tebalnya berkerut semakin dalam.
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara memanggil: "Suma Bing, selamat bertemu."
Terperanjat Suma Bing, dimana pandangannya menyapu, dilihatnya sebuah bayangan putih melayang tiba bagai bayangan setan tahu2 sudah tiba dihadapannya. Pendatang ini tak lain tak bukan adalah Rasul penembus dada.
Agaknya setelah membunuh Bu tong sam siu Rasul penembus dada masih belum pergi jauh. Sinar mata Suma Bing berkilat menyapu lawan, katanya dingin: "Bu tong sam siu ini adalah kau yang membunuh?"
"Tidak salah!"
"Untuk kejahatan apa mereka harus dibunuh?"
"Sudah tentu ada alasannya untuk dibunuh!"
"Alasan apa? Coba katakan!"
"Ini tidak menyangkut urusanmu!"
"Kalau aku mau mengurus?"
"Kau tidak akan mampu mengurus!"
Berkobar marah Suma Bing, dengusnya berat: "Aku tidak percaya tidak dapat mengurus."
Rasul penembus dada menyeringai dingin: "Suma Bing, keselamatanmu sendiri susah diramalkan, masih berani banyak tingkah dan membela orang yang sudah mati?"
Suma Bing maju dua langkah, tantangnya: "Dalam dua gebrak kalau kau masih tetap hidup, untuk selanjutnya biarlah aku tidak bernama Suma Bing."
Tanpa sadar Rasul penembus dada mundur selangkah lebar, desisnya: "Mungkin kau tiada kesempatan turun tangan!"
"Hm, biar kau rasakan..."
"Nanti dulu!"
"Masih hendak kentut apalagi kau?"
"Suma Bing bicaralah sopan sedikit!"
Panas rasa wajah Suma Bing, baru sekarang disadari bahwa musuhnya ini adalah seorang perempuan, memang ucapannya tadi terlalu kasar. Maka tanyanya mendesak: "Ada omongan apalagi, lekas katakan?"
"Ketua kami ingin bertemu dengan kau!"
Suma Bing melengak, tanyanya menegasi: "Ingin ketemu aku?"
"Tidak salah!"
"Untuk apa?"
"Kau takut?"
Semprot Suma Bing dengan sombongnya: "Selamanya aku tidak kenal apa artinya takut!"
Rasul penembus dada keluarkan suara tawa ringan, jengeknya: "Tuan terlalu besar mulut!"
"Apa kau tidak terima?" dengus Suma Bing.
"Setelah bertemu dengan ketua kita, baru kau akan kenal apa yang dinamakan takut!"
Suma Bing berludah menghina.
"Sekarang mari kau ikut aku!"
"Baik, tunjukkan jalan!"
Suma Bing mengintil dibelakang Rasul penembus dada, sepanjang jalan mereka berlari secepat terbang. Tidak lama kemudian tibalah mereka di-tengah2 sebuah selat sempit dimana tersebar batu2 runcing bagai hutan batu. Tiba2 Rasul penembus dada menghentikan langkah sembari berkata: "Sudah sampai!"
Suma Bing menyapu pandang keempat penjuru, tanyanya: "Disinikah markas besar Jeng siong hwe kalian?"
"Jangan banyak cerewet, nanti sebentar kau akan tahu!"
Pada waktu itulah tiba2 muncul seorang gadis serba putih yang membekal sebilah pedang merah darah, serta serunya nyaring: "Suci sudah kembali!"
"Dimana suhu berada?"
"Berada didalam kamarnya!"
"Segera laporkan kepada Suhu, bahwa Suma Bing sudah tiba!"
"O!" gadis itu mengunjuk rasa kejut dan mengerling kearah Suma Bing, sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik batu.
Tiba2 berkatalah Rasul penembus dada: "Suma Bing, konon kabarnya dalam dua gebrak kau dapat mengalahkan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai Hudco oleh Siau lim si. Apakah hal ini benar?"
Suma Bing membatin, kabar yang tersiar dikalangan Kangouw sedemikian cepat, tak tahunya kabar ini sudah sampai di perbatasan yang sepi dan belukar ini. Otak berpikir mulutnya menyahut pelan: "Benar, memang begitulah halnya!"
"Kepandaian yang kau lancarkan pasti bukan asli dari pelajaran Lam sia."
"Ini... memangnya kenapa?"
"Kau ketiban rejeki?"
"Rasanya aku tidak perlu jawab."
Gadis serba putih itu muncul kembali, katanya: "Suci, menurut perintah Suhu, harus langsung dibawa ke Hiat tham(panggung berdarah)."
Berdetak jantung Suma Bing. Panggung darah, suatu nama yang menusuk telinga. Berulangkali dirinya bermusuhan dengan Jeng siong hwe, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapi dirinya nanti...
Belum hilang pikirannya, tampak Rasul penembus dada sudah bertindak seraya ajaknya: "Mari ikut aku."
Batin Suma Bing, mengandal apa yang telah dipelajarinya, masa perlu takut2 lagi. Maka dengan tenang dan angkernya dia mengikuti dibelakang orang.
Batu2 runcing itu sedemikian banyak bagaikan hutan, setelah selulup timbul dan belak belok kekanan kiri, se-akan2 mereka tengah berada didalam suatu barisan yang menyesatkan saja.
Tak lama kemudian mendadak pemandangan didepannya berubah. Didepannya sekarang muncul sebuah panggung batu putih setinggi lima tombak. Didepan panggung batu ini terdapat sebuah papan batu yang dipasang melintang diatas papan batu ini bertuliskan dua huruf besar warna merah darah Hiat tham.
Dibelakang papan batu bertuliskan Panggung darah ini adalah undakan batu yang menjurus keatas sampai puncak panggung.
Melihat suasana dan keadaan ini, tanpa terasa Suma Bing menyedot hawa dingin.
Kira2 setombak terpaut dari panggung batu itu Rasul penembus dada menghentikan langkahnya.
Segera terlihat dua baris wanita serba putih pelan2 keluar dari dua samping panggung darah terus berbaris rapi di kedua samping, mereka berdiri tegak dengan hikmad.
Terlihat sebuah bayangan bergerak diatas panggung, lantas terdengar dua kali suara 'Tang, tang!' suara lonceng dari atas panggung ini sangat nyaring, menambah seram suasana yang mencekam sanubari ini.
"Silahkan naik panggung!" Rasul penembus dada menyilahkan.
Sedikit bimbang lantas Suma Bing beranjak diatas undakan dengan mengangkat dada.
Rasul penembus dada mengikuti dibelakangnya.
Begitu tiba diatas panggung, langsung ia berhadapan dengan sebuah kursi batu. Kursi batu ini sudah berubah warna dan berlepotan noda2 hitam, sekali pandang dapatlah diketahui itulah bekas2 noda2 darah yang bertumpuk sampai sekian lamanya.
Ditengah panggung terletak sebuah meja batu panjang, dibelakang meja ini duduk diatas kursi kebesaran seorang mengenakan cadar serta pakaian serba putih. Sebelas Rasul penembus dada lainnya mengelilingi dibelakangnya.
Setelah membungkuk dan memberi hormat kepada orang ditengah yang mengenakan cadar itu lantas Rasul penembus dada mengundurkan diri bergabung dengan sebelas teman lainnya tanpa bersuara.
Dengan angkuh serta membusung dada Suma Bing menghadapi orang serba putih ditengah itu.
Sorot mata si orang serba putih ini bagai tajam pedang menatap tajam kewajah Suma Bing tanpa berkesip. Dari sinar matanya yang ber-kilat2 ini dapatlah diukur bahwa orang serba putih ini Lwekangnya sudah mencapai taraf yang sangat mengejutkan.
Tidak tertahan lagi, Suma Bing membuka suara lebih dulu: "Tuankah ketua Jeng siong hwe?"
"Tidak salah!" suaranya dingin dan melengking menusuk telinga, ini menandakan bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah perempuan juga.
Sungguh tidak nyana bahwa sebuah perkumpulan rahasia seperti Jeng siong hwe yang menggetarkan seluruh dunia persilatan ternyata diketuai oleh seorang perempuan.
"Ada petunjuk apakah tuan mengundang cayhe kemari?"
Dengan nada suara yang menyedot semangat orang berkatalah ketua Jeng siong hwe: "Suma Bing, apa betul kau murid Lam sia?"
"Tak usah disangsikan lagi!" sahut Suma Bing sambil mengacungkan cincin iblis yang dipakai dijari manisnya.
"Apa hubunganmu dengan Loh Cu gi?"
Mengungkit nama Loh Cu gi membuat darah Suma Bing mendidih dengusnya dengan penuh kebencian: "Untuk apa tuan Ketua menanyakan hal ini?"
"Sudah tentu ada keperluanku!"
"Kalau dikatakan kita terhitung sebagai kakak adik seperguruan!"
Berkelebat sorot kebuasan dimata ketua Jeng siong hwe yang secepat itu pula terus menghilang, tanyanya menegasi: "Kalian adalah kakak adik seperguruan?"
"Tidak salah!"
"Dimana sekarang Loh Cu gi berada?"
"Untuk apa tuan Ketua ingin mengetahui jejaknya?"
"Kenapa kau tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaan yang kuajukan!" nada perkataannya seakan tengah mengompres pesakitan. Keruan timbul watak sombong Suma Bing.
"Tuan ketua sedang mengompres keteranganku?"
"Boleh dikata demikian!"
"Ingat cayhe bukan menjadi pesakitan disini?"
"Suma Bing, sekarang kau sudah termasuk pesakitanku tahu!"
Saking gusar Suma Bing malah tertawa, serunya: "Kau seorang ketua, obrolanmu..."
"Tutup mulut! Suma Bing. Meskipun kau seorang Huma dari Perkampungan bumi, itu tidak menjadi soal, biar aku bicara terus terang padamu, namamu sudah tercatat dalam daftar kami."
"Hahahaha..."
"Kau mau bicara tidak?"
Setelah mengakak kegilaan, berserulah Suma Bing: "Tidak!"
"Ringkus dia!" tiba2 ketua Jeng siong hwe membentak memberi perintahnya. Dua orang serba putih mengiakan terus melesat kearah Suma Bing.
"Cari mati!" Suma Bing menggertak keras. Namun baru saja badannya bergerak tiba2 terasa kakinya kencang, beberapa borgolan tahu2 sudah membelenggu seluruh kakinya dalam sekejap mata. Alat rahasia semacam ini sungguh praktis dan lihay sekali membuat orang susah berjaga2 sebelumnya.
Bagai harimau masuk perangkap, Suma Bing menggembor keras sambil meronta sekuat2nya namun sedikitpun kakinya tidak dapat digerakkan lagi, maka dapatlah dimengerti bahwa alat2 rahasia semacam ini memang khusus dibuat secara istimewa.
Dalam pada itu, kedua orang serba putih itu sudah mendesak tiba dihadapan Suma Bing terus ulur tangan menutuk...
Meskipun kedua kakinya terbelenggu tanpa dapat bergeming, namun kedua tangannya masih bebas bergerak, menyongsong kedatangan kedua musuh ini langsung dia lancarkan pukulan Kiu yang sin kang. Dalam kemampuannya saat itu apalagi tengah dirangsang gusar, betapa dahsyat kekuatan pukulannya ini susahlah diukur.
Terdengar jeritan panjang yang menyayatkan hati, kedua orang serba putih itu kontan terbang jauh melayang jatuh kebawah panggung.
Ketua Jeng siong hwe menggeram gusar, tangannya menggablok diatas kursinya, tempat dimana Suma Bing berdiri mendadak merekah kontan tubuhnya terus membrosot turun sampai sebatas pinggang baru berhenti, dan secepat itu pula batu yang merekah tadi sudah merangkap lagi sehingga separuh tubuhnya terjepit. Dengan keadaan seperti ini hilanglah kemampuannya untuk melawan.
Mata Suma Bing mendelik hampir melotot keluar, desisnya sambil mengertak gigi: "Jikalau aku Suma Bing tidak sampai mati. Anjing dan ayam diseluruh Jeng siong hwe sini tidak akan ketinggalan hidup."
Ketua Jeng siong hwe juga tidak mau kalah wibawa, jengeknya sinis: "Tapi sayang kau sudah pasti mati."
"Perbuatan rendah seperti kalian ini termasuk..."
"Menghadapi binatang semacam kau ini, apa perlu mempersoalkan kejujuran dan kebajikan?"
Darah hampir menyemprot dari mulut Suma Bing, sekuat tenaga dia telan kembali, semprotnya: "Keganasan Jeng siong hwe kalian, bukankah lebih kejam dan buas dari binatang alas..."
"Tutup mulut, cundrik tajam kami selamanya belum pernah membunuh manusia tanpa dosa!"
"Bohong!"
"Suma Bing, katakan dimana jejak Loh Cu gi, nanti kami beri pengampunan kepadamu."
"Tidak sudi!"
"Kau akan sudi!" lantas terdengar suara mencicit dari samberan angin tutukan jari tangan yang melesat kearah Suma Bing.
Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, terasa hawa murni dalam tubuhnya mulai lumer dan meluber, darah mengalir terbalik, seketika terasa kesakitan luar biasa dalam tubuhnya se-akan2 dirambati ribuan semut, se-olah2 pula dibeset hidup2, siksaan ini benar2 sangat berat dan menderita.
Memang inilah cara kompres yang paling kejam dan berat didunia ini. Meskipun tubuh terbuat dari tulang besi dan otot kawat juga akhirnya tidak kuat bertahan.
Saking kesakitan gigi Suma Bing hampir copot dari gusinya sehingga berdarah, keringat dingin berceceran, sekuat tenaga ia bertahan, mengeluhpun tidak.
"Suma Bing, mau katakan tidak?"
"Ti... dak."
"Akan kulihat sampai kapan kau kuat bertahan?"
"Ku... bunuh..." akhirnya ia jatuh pingsan.
Waktu jalan darah Thian in hiat bergetar, ia siuman kembali, rasa nyeri yang menyusup sampai ketulang sumsum datang bergelombang menyiksa dirinya.
"Suma Bing, katakan nanti kuberi keringanan!"
"Tidak... bisa!" ia jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Tidak lama kemudian dia siuman lagi, lama kelamaan tubuhnya semakin terasa linu dan semakin membeku, otot diatas jidatnya sudah merongkol keluar segede kacang hijau.
Sikap ketua Jeng siong hwe tetap sinis dan dingin: "Suma Bing, katakan?"
"Tidak..."
"Kalau kau tidak mau katakan, baiklah aku tidak memaksa lagi. Asal Loh Cu gi masih hidup, akan datang suatu hari dapat kutemukan. Sekarang kau adalah sesajen pertama dipanggung berdarah ini setelah penggantian majikan disini!"
Ucapannya ini terdengar sedemikian menggiriskan membuat orang mengkirik.
Ternyata Suma Bing akan dijadikan korban persembahan atau sesajen diatas panggung berdarah itu.
"Siapkan sembahyangan!"
Begitu perintah ketua Jeng siong hwe ini dikeluarkan, suasana menjadi semakin tegang dan menyesakkan napas. Sepuluh orang berpakaian serba putih ber-sama2 bekerja mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Arwah Suma Bing serasa copot dari raganya, naga2nya memang sudah nasibnya hari ini tiba ajalnya ditangan ketua Jeng siong hwe.
Kedua orang seragam putih itu menyeret tubuh Suma Bing terus dibaringkan diatas meja batu panjang yang terletak ditengah panggung itu. Kaki tangannya dipentang keempat penjuru dan diborgol dengan kuat. Begitu sebuah tombol ditekan mendadak meja panjang itu bergerak dan menegak menghadap ketengah dimana Ketua Jeng siong hwe tengah duduk dengan angkernya.
Dengan membekal cundrik yang berkilau2an dan diangkat tinggi diatas kepalanya. Rasul penembus dada berdiri tegak dihadapan Suma Bing, sikapnya mengancam. Para seragam putih lainnya berpencar dan berdiri tegak diempat penjuru.
Setelah terkena tutukan angin jari yang aneh dan ketua Jeng siong hwe itu. Suma Bing merasakan hawa murninya semakin terkuras keluar, maka ilmu saktinya sukar dikerahkan untuk melindungi badan, sedikitpun tak kuasa lagi melawan atau berontak, terpaksa mandah saja menerima entah nasib apa yang bakal menimpa dirinya. Saking putus asa matanya dipejamkan. Saat mana hanya malaikat elmaut saja yang selalu terbayang dan melingkupi sanubarinya, hatinya terasa kosong melompong. Dengan tenang tanpa bergerak dinantikannya cundrik musuh yang berkilauan itu menembusi ulu hatinya.
Sampai mati dia juga tidak akan mengerti mengapa namanya bisa termasuk dalam daftar buku hitam musuh. Satu hal yang dimengerti alasannya hanyalah karena dirinya seperguruan dengan Loh Cu gi. Sedang Loh Cu gi adalah sasaran terpenting bagi Jeng siong hwe, sehingga dirinya kena tersangkut dan terseret dalam pengalaman yang menggetirkan ini...
Terdengar suara ketua Jeng siong hwe dingin menusuk telinga: "Jalankan hukuman!"
'Bret!' kontan Suma Bing merasa dadanya silir dingin, kiranya baju didepan dadanya sudah tersobek seluruhnya.
"Tahan dulu!" tiba2 ketua Jeng siong hwe berseru kejut, suaranya panik dan tergetar penuh kejut serta keheranan.
Mata Suma Bing ber-kilat2 menatap kearah ketua Jeng siong hwe.
Kata ketua Jeng siong hwe gemetar: "Suma Bing, siapakah ayah ibumu?"
Suma Bing menyangka bahwa dirinya sudah pasti bakal mati, sungguh tak terduga mendadak ketua Jeng siong hwe berobah haluan dan menghentikan pelaksanaan hukuman, menanyakan asal-usul dirinya lagi. Kejadian ini sungguh sangat janggal dan mencurigakan. Meski berada diambang jurang kematian namun dasar wataknya memang angkuh dan keras kepala, maka sahutnya dingin: "Apa maksudmu ini?"
"Kutanya riwayat hidupmu."
"Riwayat hidup? Agaknya tidak perlu kuberitahu kepadamu?"
"Suma Bing, jalur bekas luka diulu hatimu itu...?"
Sejenak Suma Bing melengak lantas melonjak keraslah jantungnya. Darimana dia tahu tentang bekas luka tusukan diulu hatinya ini, apa mungkin... Tubuhnya gemetar! Terbayang tragedi seperti apa yang pernah diceritakan oleh si maling bintang Si Ban cwan dulu itu.
Tubuh ketua Jeng siong hwe gemetar semakin keras, tanyanya lagi: "Suma Bing, katakan, bekas luka diulu hatimu itu?"
"Kau... Siapakah kau?" tanya Suma Bing.
"Aku yang bertanya kepadamu!"
"Aku yang rendah Suma Bing!"
"Aku sudah tahu. Apa benar kau she Suma?"
"Kau sangka aku membual?"
"Siapa ayahmu?"
Suma Bing mengertak gigi sahutnya: "Su hay yu hiap Suma Hong!"
Mendadak ketua Jeng siong hwe melonjak bangun sekali berkelebat tahu2 tubuhnya sudah melesat tiba dihadapan Suma Bing, tanyanya gemetar: "Siapa katamu?"
"Suma Hong!"
"Tidak salah?"
"Malu aku meng-aku2 orang lain sebagai bapakku!"
Ketua Jeng siong hwe tersurut dua langkah lebar, gumamnya: "Tidak mungkin! Betulkah dia? Dia... sudah terang tak dapat tertolong lagi... oh tidak mungkin..."
Tanpa terasa jantung Suma Bing berdebur keras, dari perkataan orang, agaknya telah menemukan apa2. Apa mungkin orang dihadapannya ini adalah... Sungguh dia tidak berani membayangkan bahwa apa yang tengah dihadapinya ini adalah kenyataan.
Maka dengan nada menyelidik ia bertanya: "Apa tuan ketua kenal dengan ayahku Suma Hong?"
"Bukan saja kenal. Aku adalah..."
"Adalah apa?"
"Apa kau benar2 putra Suma Hong?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Tapi Suma Hong sudah meninggal dunia pada limabelas tahun yang lalu..."
"Benar, ayahku mati karena dikeroyok sekian banyak sampah2 persilatan!"
"Kau benar adalah..."
"Waktu itu cayhe terluka berat dan hampir mati, karena tidak tega melihat putranya hidup menderita maka ibunda menusuk ulu hatiku dengan sebuah cundrik. Malah tubuhku akhirnya ditendang masuk jurang oleh musuh besar yang laknat itu. Memang Tuhan Maha Kuasa beruntung aku tertolong..."
Tubuh ketua Jeng siong hwe hampir roboh, tanyanya tersendat gemetar: "Darimana kau ketahui riwayatmu ini?"
"Tatkala peristiwa tragis itu terjadi, kebetulan ada seorang yang mengintip!"
"O, jadi kau sudah jelas dan mengetahui semua peristiwa itu?"
"Ya, menurut cerita orang itu!"
Tiba2 ketua Jeng siong hwe ulapkan tangannya memerintahkan semua anak buahnya menyingkir. Sambil membungkuk hormat serta mengiakan semua orang2 seragam putih itu serentak turun dari atas panggung berdarah itu terus menghilang dibalik tikungan sana.
Suma Bing tak berani memikirkan akan kenyataan yang tengah dihadapinya ini. Semua kejadian yang datang secara mendadak dan aneh ini sungguh terasakan seumpama dialam mimpi saja. Sampai saat mana dia sudah dapat menerka siapakah orang dihadapannya ini, tinggal menunggu waktu dan pernyataan saja.
Pelan2 ketua Jeng siong hwe menanggalkan cadar yang menutupi mukanya, terlihat sebuah wajah yang halus putih dan cantik rupawan dibasahi airmata. Katanya sesenggukan. "Nak, kau tahu siapa aku ini?"
"Ibu!" keluh Suma Bing dengan sedihnya. Airmata membanjir keluar dengan derasnya.
Sungguh mimpi juga dia tidak nyana bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah ibundanya, yaitu San hoa li Ong Fang lan yang dirindukan siang dan malam.
Sejak dapat berpikir dalam ingatannya tiada terbayang bentuk wajah ibundanya. Namun dari bentuk wajah dan raganya Ong Fong jui dapat diperkirakan keadaan ibunya. Dan ternyata bahwa perkiraannya tidak berbeda jauh dengan keadaan ibundanya yang sebenarnya.
Sambil berkeluh panjang San hoa li Ong Fang lan menubruk maju terus mencopoti borgol yang mengekang Suma Bing terus memeluknya kencang sambil menangis gerung2.
"Nak, apakah ini bukan dalam mimpi?"
"Bu, bukan mimpi, inilah kenyataan! Sudah lama sekali aku mencari kau orang tua!"
"Nak, beritahukan pengalamanmu sekian tahun ini?"
Sambil mencucurkan airmata, Suma Bing menceritakan keadaan dalam jurang dibawah puncak kepala harimau itu, secara kebetulan dirinya tertolong oleh gurunya Sia sin Kho Jiang, sampai pertemuan mereka ibu dan anak ini.
Bercerita pada saat2 yang menyedihkan, ibu dan anak tanpa terasa saling berpelukan sambil menangis tanpa tertahan.
Setelah ceritanya habis, baru Suma Bing menyinggung tentang permusuhannya dengan Bwe hwa hwe...
Begitu mendengar anaknya menyinggung Loh Cu gi itu musuh bebuyutan, berobah airmuka ketua Jeng siong hwe geramnya sambil mengertak gigi: "Jadi Loh Cu gilah yang menjadi sesepuh dan tulang punggung dari Bwe hwa hwe?"
Suma Bing mengiakan.
"Aku bersumpah harus mencacah dan menghancur leburkan tubuhnya.
"Bu, urusan ini biarlah berikan kepadaku saja. Bukan saja Loh Cu gi itu adalah musuh besar keluarga kita, dia juga seorang murid murtad yang mendurhakai guru. Menurut pesan suhu aku harus mencuci bersih nama baik perguruan dan menuntut balas sakit hatinya. Maka biarlah kedua urusan ini kulaksanakan bersama."
"Nak, memang Tuhan yang Maha Kuasa selalu memberkahi umatnya yang saleh, sungguh tidak nyana secara aneh kau dapat tetap hidup. Malah ketiban rejeki besar dan dapat mempelajari ilmu digdaya yang tiada taranya lagi. Memang benar, hutang darah ini seharusnya kaulah yang menagih. Dialam baka tentu ayahmu dapat istirahat dengan tentram dan meram! Hanya aku ini..."
"Kau kenapa bu?"
Ketua Jeng siong hwe tertawa getir, sahutnya: "Nak, tiada muka aku bertemu lagi dengan orang dikolong langit ini, lebih2 malu rasanya berjumpa dengan ayahmu dialam baka..." berkata sampai disitu suara tawanya berganti menjadi sesenggukkan.
Sudah tentu Suma Bing maklum akan maksud perkataan ibunya. Siapa dapat menduga Loh Cu gi si binatang buas berkedok manusia itu dapat memerankan tragedi yang dapat menyayatkan hati dalam dunia fana ini. Maka katanya dengan suara sember: "Bu, sebabnya sampai kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar adalah untuk anak. Aku percaya pasti ayah tahu dan memaklumi keadaanmu yang terdesak itu..."
"Nak, dulu itu memang salah ibumu!"
"Tidak, bu, kau tidak salah kau terdesak oleh keadaan. Kalau kau berkata demikian maka tiada tempat lagi bagi anakmu ini berpijak."
"Sudah nak, tak perlu kita perbincangkan persoalan itu lagi. Ibumu masih tetap hidup sampai sekarang setelah ternoda, hanyalah karena aku hendak menuntut balas..."
"Bagaimana ibu sampai bisa menjadi ketua Jeng siong hwe ini?"
"Apakah kau pernah dengar julukan Ceng gi ci sin?"
Suma Bing tertegun, katanya: "Malaikat keadilan? Tokoh kenamaan yang ditakuti dan dipandang sebagai malaikat dunia persilatan oleh aliran hitam dan putih pada enampuluh tahun yang lalu itu?"
"Benar, dia orang tualah yang menjadi ketua Panggung berdarah ini!"
"Ketua Panggung berdarah?"
"Tujuan dia orang tua membangun Panggung berdarah ini adalah untuk menghukum para durjana dan penjahat2 besar di kalangan Kangouw yang memang setimpal menerima hukumannya, dengan darah para hukuman itulah panggung ini dibangun. Supaya dunia bisa aman tentram tanpa kejahatan..."
"Limabelas tahun yang lalu, secara kebetulan ibumu menemukan buku catatannya yang tertinggal, dimana tertera pelajaran ilmu silat. Maka kuangkat diriku sebagai murid ahliwarisnya..."
"Lalu asal-mula nama Jeng siong hwe ini..."
Wajah San hoa li Ong Fang lan mendadak berobah penuh kebencian, katanya sambil kertak gigi: "Nak, nama Jeng siong hwe hanyalah suatu simbol yang kenyataan saja!"
"Simbol yang kenyataan?"
"Ya, tujuannya hanyalah untuk menuntut balas!"
"Kenapa harus menggunakan nama itu untuk menuntut balas?"
"Nak, pedang pendek yang menusuk ulu hatimu dulu, adalah cundrik yang selalu menembusi dada musuh2 besar itu. Untuk memperingati kematianmu karena kebencian yang ber-limpah2, aku bersumpah menggunakan cundrik ini untuk menembusi dada setiap musuh besar kita itu!"
Air mata meleleh dengan derasnya, baru sekarang Suma Bing paham, jebul apa yang dinamakan sebagai daftar catatan itu kiranya adalah daftar nama2 para musuh besar keluarganya. Jadi para tokoh2 silat yang sudah mati tertembus ulu hatinya oleh cundrik Rasul penembus dada itu ternyata adalah musuh2 besar yang sudah terdaftar dalam buku itu.
"Nak, mari kita bicara didalam saja!"
Suma Bing mengusap air matanya sambil manggut2. Saat mana sifat2 gagah dan kegarangannya sudah lenyap terbawa angin. Dihadapan ibunya seperti orok kecil saja ia mandah dituntun jalan.
Setelah turun dari panggung berdarah, tibalah mereka disebuah lorong yang belak belok dan tak lama kemudian tibalah dalam sebuah rumah kuno yang dibangun dengan batu. Empat orang perempuan seragam putih segera muncul dari balik pintu sebelah sana terus berdiri jajar dengan hormatnya.
Menunjuk kearah Suma Bing berkatalah San hoa li Ong Fang lan: "Inilah tuan muda!"
Serentak keempat perempuan seragam hitam itu membungkuk hormat sambil memanggil: "Tuan muda!"
Suma Bing manggut2, entah sengaja atau tidak sorot matanya menyapu satu diantaranya. Gadis itu bukan lain adalah Rasul penembus dada yang pernah dibuka kedoknya oleh Suma Bing.
San hoa li Ong Fang lan tertawa tawar, katanya: "Nak, kukira kalian sudah berkenalan dia adalah pemimpin dari dua belas rasul itu, bernama Ih Yan chiu!"
Ih Yan chiu pimpinan Rasul penembus dada menunduk kepala dengan malu2. Siapa akan menduga seorang gadis ayu rupawan yang lemah lembut ini jebul adalah Rasul penembus dada yang ditakuti dan disegani oleh kaum persilatan.
"Kalian boleh mundur." kata San hoa li kepada keempat rasul, "Pindahkan meja perjamuan keruangan dalam, Yan chiu antarkan tuan muda pergi mandi dan salin pakaian."
Ih Yan chiu mengiakan lalu mempersilahkan Suma Bing ikut kebelakang. Sebetulnya Suma Bing segan dan tak mau dilayani oleh Ih Yan chiu ini, tapi rasanya tak enak menolak kebaikan ibunya, maka terpaksa dia ikut pergi.
Puluhan batang lilin besar dipasang dalam ruang tengah yang besar dan angker dengan perabotnya yang serba antik itu. Dimana di tengah2 ruangan itu sudah tersedia meja perjamuan dengan segala masakan yang lezat2. Tampak San hoa li sedang duduk berhadapan dengan Suma Bing, mereka sedang makan minum. Disamping berdiri Ih Yan chiu yang melayani. Mungkin karena terlalu berduka atau karena terlalu gembira sehingga ibu beranak ini kehilangan selera untuk menelan makanan yang serba mewah itu.
"Nak, ini seperti dalam alam mimpi saja..."
"Benar, bu, sebuah impian yang kenyataan!"
"Nak, hari ini ibumu merasa sangat puas. Bukan saja kau sudah dewasa malah sudah berumah tangga lagi. Malah sudah melaksanakan impian ayahmu dulu yaitu mempelajari ilmu yang tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis..."
"Bu sejak kini lebih baik nama Jeng siong hwe ini kita hapus saja!"
"Kenapa?"
"Sejak saat ini menuntut balas sudah merupakan tugas yang harus dibebankan kepadaku!"
"Baik, nak!" sahut San hoa li, lalu berpaling kearah Ih Yan chiu dan katanya: "Ambilkan cundrik itu kemari!"
Ih Yan chiu mengiakan sambil membungkuk hormat terus mengundurkan diri. Tak lama kemudian dibekalnya sebuah pedang pendek kecil yang berkilauan, dengan kedua tangannya dia letakkan diatas meja, masih ada sejilid buku kecil yang tipis juga dikeluarkan.
San hoa li Ong Fan lan mengambil cundrik itu, matanya berlinang air mata, katanya: "Nak, cundrik ini kuserahkan kepadamu. Ingat, selain para musuh besar, kularang kau membunuh orang tanpa berdosa!"
Ter-sipu2 Suma Bing bangkit terus berlutut, dengan kedua tangannya dia menerima cundrik itu serta ujarnya gemetar: "Anak akan selalu ingat peringatan ibu!"
"Kau bangunlah!"
"Terima kasih ibu!"
"Buku kecil ini adalah daftar catatan. Nama2 yang tertera didalam buku ini adalah para durjana yang ikut mengeroyok ayahmu dulu. Diantaranya yang sudah tercoret dengan potlot merah sudah menjadi mayat!"  

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now