29. Sang Sesepuh

3.1K 61 5
                                    

Konon bahwa Kang-kun Lodjin ini sudah wafat pada enam puluhan tahun yang lalu, apa mungkin berita itu adalah kabar angin belaka?

Untuk apakah Cianpwe aneh dari kaum persilatan ini muncul secara mendadak disini?

Sekian lama Kang kun Lojin menatap Suma Bing, lalu katanya: "Buyung, apa kau ini yang diberi julukan Sia-sin kedua Suma Bing murid Sia sin Kho Jiang?"

Sejenak Suma Bing melengak, lantas ter-sipu2 memberi hormat dan menyahut: "Memang itulah wanpwe, entah Locianpwe ada pengajaran apa?"

Kang kun Lojin me-ngelus2 jenggotnya yang panjang memutih, seraya berkata dengan nada berat: "Buyung, apa kau tahu tentang perjanjianku dengan Lam sia dulu kala itu?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Hal itu wanpwe tidak tahu!"
Mengelam wajah Kang kun Lojin, serunya: "Apa benar Sia sin Kho Jiang sudah meninggal dunia?"
"Itulah benar!"
"Hm, janjinya seperti kentut tidak dapat dipercaya, manusia rendah sampah persilatan!"
Mendengar orang memaki dan menghina gurunya, sontak berkobar hawa amarah Suma Bing, semprotnya dengan angkuh: "Mengapa Locianpwe sedemikian menghina dan memaki guruku?"
"Buyung, coba katakan apa benar suhumu tidak memberitahukan kepada kau tentang janji dan sumpahnya kepadaku?"
"Tidak, tapi..."
"Tapi apa?"
"Asal Locianpwe suka memberitahu tentang janji dan sumpahnya itu, biar wanpwe yang mewakili menyelesaikannya!"
"Apa kau mampu melakukannya?"
"Pasti dapat, hutang guru muridnyalah yang bayar!"
"Ketahuilah utang piutang ini tidak mudah dilunasi!"
"Sebenarnya tentang piutang apakah?"
"Hutang jiwa!"
Tanpa kuasa Suma Bing berjingkrak kaget. Bagaimana mungkin gurunya berhutang jiwa kepada Kang kun Lojin. Semasa hidup gurunya pernah berkata bahwa orang tua aneh ini selain ilmunya tinggi sifatnya kejam dan berpandangan sempit, juga senang turut campur urusan orang lain. Tidak pernah gurunya memberitahukan tentang hal2 lainnya. Malah pernah dikatakan bahwa orang tua aneh ini sudah meninggal dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Lantas bagaimana penjelasannya tentang hutang jiwa yang dikatakannya ini?
Karena tidak mengerti segera ia bertanya : "Locianpwe sukalah kau memberi penjelasan sekadarnya?"
Kata Kong kun Lojin serius: "Limapuluh tahun yang lalu, terbawa oleh sifat2 jahat dan sesatnya gurumu telah membunuh keluarga muridku sebanyak tiga jiwa. Akhirnya ia menginsafi kesalahannya dan berjanji kepadaku setelah urusan pribadinya dapat diselesaikan semua dia hendak menghadap kehadapanku untuk membunuh diri menebus dosa2nya dulu!"
Keruan tergetar perasaan Suma Bing tercetus seruannya: "Apa benar terjadi hal itu?"
"Hm, buyung, apa kau sangka aku seorang pembual? Kalau dia tidak memberi pesan kepadamu, bukankah dia seorang rendah yang menjilat ludahnya sendiri, tuduhan Lohu ini tidak salah bukan?"
Semangat Suma Bing serasa terbang, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung tiga langkah, lalu sambil kertak gigi ia berseru tegas: "Hutang jiwa ini biarlah wanpwe yang akan bayar!"
Pucat wajah Siang Siau hun, teriaknya kaget: "Engkoh Bing, kau..."
Se-konyong2 Kong kun Lojin berputar menghadapi Si tiau khek dan berkata: "Kalian boleh segera pergi dari sini."
Si tiau khek gentar menghadapi kebesaran nama Kong kun Lojin, hati mereka kebat-kebit, namun dalam hati mereka berat untuk tinggal pergi begitu saja, segera Heng si khek tampil kedepan sambil unjuk hormat dan berkata: "Wanpwe berempat tengah menjalani tugas untuk menggusur Suma Bing..."
Kong kun Lojin maju beberapa tindak sambil menggoyangkan kipasnya, tukasnya: "Selamanya aku orang tua hanya berkata sekali!"
"Wanpwe berempat terpaksa dan..."
"Keparat, apa kalian minta aku orang tua mengantar kalian dengan kipasku ini?"
Keruan Si tiau khek ketakutan, setelah saling berpandangan, akhirnya mereka tinggal pergi tanpa bersuara lagi.
Sementara itu Suma Bing menjadi gugup, serunya: "Cianpwe, harap kau suka memberi kelonggaran supaya aku pergi menepati sebuah janji!"
"Janji apa?"
"Aku sudah berjanji dengan Si tiau khek untuk ikut mereka menuju kemarkas besar Bwe hwa hwe!"
"Apa kau ada pegangan dapat kembali dengan masih bernyawa?"
"Ini... mungkin bisa."
"Jikalau kau mengalami bencana, lalu bagaimana kau hendak membayar piutang suhumu dulu itu?"
"Wanpwe bersumpah pasti kembali!"
"Buyung, ada berapa banyak jiwamu, agaknya kau memang sudah bosan hidup."
Mendengar nada ucapan terakhir ini agak ganjil, Suma Bing menjadi naik pitam, bentaknya dengan aseran: "Siapakah tuan ini sebenarnya?"
Maka terlihat Kong kun Lojin meraup jenggotnya dan menanggalkan ikat kepalanya, kipasnya juga lantas dilempit sambil tertawa ter-kekeh2: "Buyung, siapa aku?"
Suma Bing tidak kuat lagi menahan rasa geli dan meng-garuk2 kepalanya yang tidak gatal. Ternyata yang berdiri dihadapannya ini bukan lain adalah si maling bintang.
Siang Siau hun sendiri juga tidak kuat menahan gelinya, dan tertawa ter-pingkal2 sampai perutnya terasa mulas.
"Cianpwe bagaimana kau bisa merubah menjadi wajah Kong kun Lojin?"
"Hehehe, Kong kun Lojin sudah meninggal dunia pada enam puluh tahun yang lalu, dalam Bu lim yang masih mengenal wajah aslinya kukira tiada berapa orang saja, karena terpaksa baru aku mendapat akal yang licik ini."
"Locianpwe." seru Siang Siau hun masih memegangi perutnya, "Agaknya kau sering bermain samaran ini, kalau tidak darimana secepat itu kau mendapatkan perlengkapan itu."
"Budak ayu, tak perlu kau mengocok aku. Semua perlengkapan ini kupinjam dari patung pemujaan Cukat siansing didalam biara tak jauh didepan sana, tentang jenggot panjang ini? Hahaha, kupinjam dari Ui Tiong itu salah satu dari Ong hou ciang jendral perang yang termashur pada jaman Sam Kok!"
Lagi2 Siang Siau hun ter-pingkal2 tak hentinya, Suma Bing juga merasa lega dan bersyukur.
Kata si maling bintang Si Ban cwan: "Mari kita melanjutkan perjalanan."
Wajah Suma Bing berobah sungguh2, sahutnya: "Tidak!"
"Ha, tidak! Apa maksudmu?"
"Aku seorang laki2, mana bisa aku ingkar janji terhadap Si tiau khek?"
Seketika lenyap seri tawa Siang Siau hun kini wajahnya berganti penuh kesedihan.
Si maling bintang menjadi gugup, teriaknya: "Buyung Bwe hwa hwe takkan puas sebelum merenggut jiwamu. Kepandaian Si tiau khek mungkin masih lebih unggul dari Bu lim su ih. Toh mereka mandah terima perintah orang lain. Maka kepergianmu ini, mana bisa kau kembali dengan masih tetap bernyawa. Apa kau tidak berpikir bahwa kau sendiri memikul tugas berat penuntutan balas dendam kesumat keluarga dan suhumu, lalu kenapa kau memandang jiwamu sedemikian murah..."
Suma Bing tertawa getir, sahutnya: "Tapi wanpwe tidak mungkin mengingkari janji."
"Apa kau benar2 harus pergi?"
"Ya, mungkin disana aku dapat memecahkan tabir rahasia Bwe hwa hwe mengapa selalu mengejar2 jiwa wanpwe!"
"Sudah tentu dapat kau bongkar rahasia itu, tapi kau juga harus mengorbankan jiwamu sendiri sebagai imbalannya!"
"Itu belum tentu!"
"Engkoh Bing." suara Siang Siau hun gemetar, "Apa kau benar2 hendak masuk kedalam jebakan musuh?"
"Adik Hun, maafkanlah kesukaranku ini, kuharap kelak dapat bertemu lagi!"
"Tidak, kau tidak boleh pergi. Engkoh Bing, aku tak bisa hidup tanpa kau..."
Airmata Siang Siau hun akhirnya mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya.
Si maling bintang juga menahan keperihan hatinya, ujarnya: "Buyung, menuntut balas, mencari ibumu, dan mencuci bersih nama perguruan, apa kau masih ingat akan semua tugas itu?"
Sejenak Suma Bing tertegun mendelong, lalu sahutnya dengan penuh tekad: "Cianpwe, tidak bisa tidak aku harus memenuhi kepercayaan orang!"
"Hm, kepercayaan? Kalau kau dapat memenuhi kepercayaan orang, apa kau sudah membayangkan akan akibatnya?"
Tiba2 Siang Siau hun menubruk maju memeluk Suma Bing kencang2, serunya: "Engkoh Bing, berjanjilah kau tidak akan pergi!"
Kulit wajah Suma Bing ber-kerut2 sebentar, secepat kilat sebuah jarinya menutuk jalan darah Hek tiam hiat lalu per-lahan2 membaringkannya diatas tanah, lalu katanya kepada si maling bintang: "Cianpwe, setelah aku pergi harap bebaskanlah jalan darahnya, maaf aku minta diri!" habis berkata tubuhnya berkelebat menghilang.
Saking gusar dan dongkol si maling bintang mem-banting2 kaki dan melotot matanya, mulutnya mengoceh tak karuan.
"Sesat, sesat! Sifat2 sesat dari Kho Lo sia semua sudah diturunkan kepada bocah tak genah ini..."
Dalam pada itu, belum Suma Bing mencapai jarak tiga li, benar juga jauh2 terlihat Si tiau khek tengah berlarian balik, agaknya mereka sudah merasa kena dikibuli bahwa Kong kun Lojin itu sebenarnya adalah palsu. Segera ia menghentikan langkah.
Berbareng Si tiau khek mengeluarkan suara kaget dan heran, Heng si khek tertua dari mereka segera menyeringai seram, katanya: "Suma Bing, hampir saja kita berempat kena dikibuli, hehehe, pintar juga si maling tua itu bermain sandiwara."
Suma Bing menjengek dingin, sahutnya: "Aku Suma Bing selamanya menepati apa yang pernah kuucapkan, mari berangkat bawa aku menuju ke Bwe hwa hwe!"
Ucapan Suma Bing ini agaknya diluar dugaan Si tiau khek, sejenak mereka melengak, lalu Heng si khek membuka kata: "Gagah benar, mari ikut!"
Lima bayangan manusia dengan kecepatan bagai angin lesus berlarian menuju kedepan sana.
Begitulah selama sehari semalam mereka berlarian melalui alas pegunungan dan jalan2 sempit yang jarang dilalui manusia. Pada hari ketiga pagi2 benar tibalah mereka didepan sebuah lembah yang sempit. Baru saja mereka menancapkan kaki, harum kembang bunga Bwe sepoi2 dibawa angin merangsang hidung. Setelah ber-putar2 dalam lembah sempit itu sampailah mereka didepan sebuah rimba pohon Bwe, sedemikian lebat dan luasnya hutan pohon Bwe ini agaknya ber-lapis2 tanpa ujung pangkalnya.
Diam2 Suma Bing membatin: Serasi benar nama Bwe hwa hwe dengan tempat ini, apakah mungkin markas besar Bwe hwa hwe berada didalam lembah hutan pohon Bwe ini?
Tengah Suma Bing ber-pikir2 ini terdengar Heng si khek berkata: "Sudah sampai."
"Apa markas besar Bwe hwa hwe dibangun dalam lembah sempit ini?"
"Tidak salah, diujung hutan pohon Bwe inilah!"
Si tiau khek berempat membuka jalan didepan, terus memasuki hutan pohon Bwe itu, sejenak Suma Bing ragu2. Akhirnya dia mengikuti juga sambil membusung dada dan memasang mata dengan waspada. Justru yang mengherankan kalau tempat ini adalah letak markas besar Bwe hwa hwe mengapa tidak kelihatan bayangan manusia, suasana dalam hutan ini sedemikian sunyi senyap menyeramkan.
Tidak lama kemudian setelah belak belok beberapa kali mendadak Suma Bing kehilangan bayangan Si tiau khek, mereka menghilang begitu saja tanpa keruan paran.
Keruan Suma Bing menjadi gugup dan terkejut, sebat sekali ia kembangkan ilmu gerak tubuhnya selulup timbul diantara lebat2nya pohon2 bunga Bwe, namun sekian lama dia berkeliaran sampai keringat membanjir keluar, sekelilingnya masih gelap pekat, hutan bunga Bwe ini agaknya tak berujung pangkal. Saking gugup segera dia melompat keatas sebuah pohon, dimana matanya lepas memandang empat penjuru angin adalah pohon bunga Bwe melulu, sampai bayangan lembah sempit darimana tadi dia masukpun sudah menghilang entah dimana.
Kiranya itulah sebuah barisan!
Baru sekarang Suma Bing tersadar bahwa dirinya telah terjebak masuk jaringan musuh yang aneh ini, kalau tidak mengenal inti perubahan barisan ini, seumpama berlarian ubek2an sampai mati juga akan sia2 belaka.
Saking kewalahan akhirnya dia turun kembali dan duduk dibawah sebuah pohon tenang2 dia berpikir mencari akal untuk meloloskan diri dari kurungan barisan ini.
Tapi sedikitpun dia tidak kenal akan aturan barisan ini, pikir punya pikir, otaknya semakin bebal, sungguh dia tidak habis mengerti mengapa Si tiau khek memancingnya dan mengurung dirinya kedalam barisan ini?
Kalau toh tempat ini sudah termasuk kekuasaan Bwe hwa hwe itu berarti dirinya sudah menepati janjinya, mau datang atau pergi sudah terserah kepada kehendaknya sendiri, akan tetapi dirinya tak mungkin dapat meloloskan diri. Sang waktu berjalan dengan cepatnya. Bagai binatang jalan yang terkurung dalam kerangkengan, demikian juga keadaan Suma Bing, kakinya terus melangkah tanpa arah tujuan yang menentu.
Se-konyong2 tidak jauh didepannya sana berkelebatan muncul beberapa bayangan manusia, yang terdepan adalah seorang pemuda berwajah culas, sekali pandang Suma Bing lantas mengenalinya, itulah Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong adanya, dibelakangnya mengikuti Si tiau khek dan pelindungnya Ma Siok ceng.
Sontak berkobar hawa amarah Suma Bing, sambil mendengus dingin, segera ia menubruk maju.
Sebat sekali Si tiau khek berpencar dari dua jurusan masing2 ulurkan sebuah tangan melancarkan pukulan, empat gelombang angin pukulan dingin segera memapak kedatangan Suma Bing, kontan tubuh Suma Bing terpental balik ketempatnya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong menyeringai iblis: "Suma Bing, menyerah saja, seumpama kepandaianmu setinggi langit juga percuma."
"Chiu Thong," teriak Suma Bing gusar, "Kau hendak berbuat apa kepada diriku?"
"Tidak lama lagi kau akan tahu sendiri!"
Seorang wanita ayu molek bak bidadari muncul dengan langkah lenggang lenggok dari belakang Chiu Thong.
Serta merta berdetak jantung Suma Bing, kecantikan wanita setengah umur ini benar2 baru kali ini dilihatnya selama hidup.
Chiu Thong dan anak buahnya, segera menyingkir kesamping terus membungkuk memberi hormat dan berseru menyapa: "Menghadap hormat kepada ibu guru."
"Jangan banyak peradatan!"
Lagi2 tergetar perasaan Suma Bing, kiranya wanita ayu setengah umur ini adalah ibu guru dari Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong. Lalu siapakah gurunya? Benar, tentu yang pernah dikatakan oleh Ketua Bwe hwa hwe sendiri sebagai 'dia orang tua' itulah...
"Mohon ibu guru memberi petunjuk?"
"Bawa kembali kemarkas, biar suhumu sendiri yang menyelesaikannya!"
"Terima perintah!" seru Chiu Thong, lalu ia berpaling kepada Si tiau khek dan berkata lagi: "Harap kalian berempat turun tangan meringkusnya!"
Sikap dan tingkah laku Si tiau khek agaknya takut2 menghadapi wanita setengah umur itu, berbareng mereka mengiakan. Lalu dari jurusan yang berlainan serempak menubruk kearah Suma Bing, delapan cakar kurus kering bagai kilat mencengkram datang.
Sekali berkelebat secara menakjupkan Suma Bing lolos dari kurungan cengkraman bayangan cakar musuh2nya.
Gerak gerik Suma Bing yang hebat ini membuat Ketua Bwe hwa hwe dan Ma Siok ceng berobah airmukanya.
Demikian juga wanita ayu setengah umur itu menegakkan alisnya dan berdiri kesima.
Begitu menubruk tempat kosong gesit sekali Si tiau khek melompat mundur lalu menerjang kembali. Ber-ulang2 Suma Bing unjuk kegesitan tubuhnya, sambil berkelit kedua tangannya tidak tinggal diam diayun ber-ulang2, maka Cincin iblis yang dikenakan tengah jarinya itu segera memancarkan sinar berkilauan, ditengah seruan kejut dan ketakutan, tali panjang dileher Bau bong khek sudah terpapas jatuh, keruan semangatnya serasa terbang ke-awang2.
"Mundur semua!" suara perintah dengan nada yang nyaring merdu mengandung kewibawaan yang menciutkan nyali. Bergegas Si tiau khek melompat mundur sambil membungkuk tubuh dengan tubuh gemetar.
Wanita ayu setengah umur maju dua langkah, dua bola matanya yang bening indah menjalari seluruh tubuh Suma Bing.
Entah karena wanita setengah umur ini terlalu cantik rupawan, atau kedua matanya itu mengandung kekuatan sihir. Suma Bing yang biasanya bersikap dingin keras kepala itu kini ternyata ter-longong2 semangatnya se-akan2 me-layang2, tanpa terasa ia menundukkan kepala tak berani beradu pandang dengan orang.
Tiba2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, tahu2 sebuah jari yang putih halus dari wanita cantik itu sudah menyelonong hendak mencengkram dadanya, dalam kagetnya serta merta timbul reaksinya, sebat sekali kakinja menggeser lima kaki jauhnya.
Gerak tubuh kedua belah pihak sedemikian tjepat benar2 hebat dan mengagumkan.
Dimana terlihat bayangan berkelebat, untuk kedua kalinya wanita ayu setengah umur lancarkan serangannya kearah Suma Bing, cara turun tangannya ini aneh dan ganas sekali jarang terlihat ilmu semacam ini dikalangan Kangouw. Dingin perasaan Suma Bing menghadapi serangan yang menakjupkan ini, untuk mengandalkan gerak kelit dari Bu siang sin hoat yang sangat ampuh itu dia selalu lolos dari marabahaya, kalau tidak diukur dari kepandaiannya tentu dirinya takkan mampu bertahan satu jurus saja.
Tanpa terasa wanita ayu setengah umur berseru memuji: "Ringan tubuh yang hebat!"
Sambil berseru itu, tahu2 pergelangan tangannya digentakkan, sebuah selendang warna merah sepanjang dua tombak tahu2 sudah dicekal ditangannya.
Melihat wanita ayu setengah umur ini mengeluarkan selendang senjatanya segera Ketua Bwe hwa hwe dan anak buahnya bergegas mundur sejauh tiga tombak.
Hati Suma Bing kebat kebit kurang tentram, naga2nya wanita setengah umur ini hendak mengunjuk kepandaian aslinya.
Baru saja pikiran ini terlihat dalam otaknya, bayangan merah berkelebat didepan matanya bagai seekor naga hidup langsung menyapu kearah tubuhnya, tiga tombak sekitar tubuhnya terkekang oleh kekuatan tenaga sapuan selendang merah ini.
Ciut dan merinding tubuh Suma Bing, beruntun dua kali dia berkelit sejauh tiga tombak, kini dirinya sudah melampaui beberapa batang pohon bunga Bwe. Se-konyong2 dia kehilangan bayangan musuh, pada saat dia melengak heran, secarik angin dingin melesat tiba dari arah belakangnya. Baru saja dia hendak berkelit agaknya sudah terlambat tahu2 pinggangnya terasa linu serta merta tubuhnya menjadi limbung dan pada saat itulah dia merasakan pergelangan tangannya sudah dipegang oleh musuh. Terasa pula tubuhnya tergetar lantas hilanglah seluruh tenaganya.
Wanita ayu setengah umur itu pandang wajah Suma Bing lekat2, timbul sebuah mimik aneh pada wajahnya yang rupawan itu, namun hanya sekejap saja lantas lenyap.
"Bawa kembali kemarkas!"
Si tiau khek serempak mengiakan, Heng si khek segera tampil kedepan menutuk beberapa jalan darah Suma Bing, terus dijinjing dan dikempit dibawah ketiaknya. Mereka mengintil dibelakang wanita setengah umur itu terus memasuki hutan lebat sebelah sana.
Pada saat itu juga Suma Bing kehilangan kesadarannya.
Waktu Suma Bing siuman kembali, ia merasakan dirinya berbaring didalam sebuah kamar yang dihias sedemikian mewah. Ditengah ruang besar terdapat meja kursi besar yang terukir indah terbuat dari kayu cendana, diatas kursi besar inilah duduk dua orang laki2 dan perempuan. Laki2 itu berumur empatpuluhan, berpakaian sebagai sastrawan berwajah cakap gagah. Sedang wanita itu adalah wanita setengah umur yang dipanggil sebagai ibu guru oleh ketua Bwe hwa hwe itu.
"Suma Bing, bangunlah dan jawab pertanyaan!"
Bergegas Suma Bing bangkit berdiri, matanya nanap memandang laki2 setengah umur.
Seringai laki2 pertengahan umur itu mengandung kelicikan, lalu tanyanya: "Kau inikah murid Sia sin Kho Jiang?"
"Benar!"
"Apa benar Kho lo sia sudah mati?"
Suma Bing menjawab dengan mendengus hidung.
"Jadi kau sudah diangkat sebagai ahli warisnya?"
"Tidak salah!"
"Selain kau apakah Kho lo sia mempunyai murid lainnya?"
Timbul rasa curiga dalam benak Suma Bing siapakah laki2 ini? Untuk apa dia menyelidiki keadaannya sampai serumit itu? Berulangkali Bwe hwa hwe mengejar2 dan hendak membunuh dirinya, tentu semua itu keluar dari kehendaknya, tapi untuk apakah?
Karena pikirannya ini, segera ia balas bertanya: "Siapakah tuan ini?"
"Nanti kau akan dapat tahu, sekarang kau jawab dulu pertanyaanku!"
"Aku menolak!"
"Jawablah pertanyaanku!"
"Untuk apa tuan menanyakan semua itu?"
"Hehehe, Suma Bing, kuharap kau tahu diri, apa sebelum ajal kau hendak merasakan siksaan jasmaniah yang mengerikan itu."
Mendengar ancaman ini, berkobar darah Suma Bing matanya menyala ber-api2, semprotnya bengis: "Siapa kau sebetulnya?"
Timbul seringai sadis pada wajah laki2 pertengahan umur, se-olah2 tak terjadi apa2 dia berkata: "Sudah kukatakan nanti sebentar kau akan tahu. Coba katakan pada duapuluh tahun yang lalu selain kau seorang apakah Kho lo sia menerima murid lainnya?"
Suma Bing semakin naik pitam, sambil menggeram gusar tangannya diangkat terus menyerang.
"Hehehehehe..."
Kedua bola mata Suma Bing melotot besar hampir mencelat keluar, pelan2 tangannya menjulai turun tanpa bertenaga lagi, baru sekarang dia sadar bahwa ilmu silatnya kiranya sudah lenyap sama sekali.
Kata laki2 pertengahan umur lagi: "Kau mau katakan tidak?"
"Tidak!"
"Baik, tidak kau katakan ya sudah, sekarang biar kau melihat tegas kepandaianku", sembari berkata per-lahan2 ia bangkit dari tempat duduknya, dimana tangan diayun lantas memancarlah secarik sinar merah marong melesat keluar kearah pintu ruangan besar.
Kontan Suma Bing rasakan arus hawa panas merangsang lewat dari samping tubuhnya. Maka terdengarlah sebuah dentuman yang dahsyat disusul hidungnya dirangsang bau sesuatu yang hangus terbakar, kiranya sepasang pintu besi ruangan itu sudah hangus terbakar dalam sekejap mata tinggal setumpukan abu.
Dalam kagetnya Suma Bing berteriak: "Kiu yang sin kang."
Saking puas dan bangga laki2 pertengahan umur itu mendongak dan tertawa gelak2: "Benar, begitulah batas kedahsyatan dari Kiu yang sin kang. Suma Bing, untuk melatih sampai tingkatanku ini, seumpama Kho lo sia sendiri juga harus melatihnya sampai seratus tahun lamanya. Tentang kau? hahahahaha!"
"Siapakah kau sebenarnya?" bentak Suma Bing.
"Aku? Hitung2 masih termasuk Suhengmu!"
"Kau... kau... kau ini Loh Cu gi?"
"Benar, akulah Loh Cu gi!"
Suma Bing terhuyung tujuh delapan langkah, seluruh tubuhnya berkelojotan, raut wajahnya berkerut2 kekejangan. Tidak kuat lagi, mulutnya mengoak lebar menyemburkan darah segar.
Sebenarnya usia Loh Cu gi sudah mencapai enam puluhan, tapi raut wajahnya masih menunjukkan kecakapan sebagai laki2 berusia empatpuluhan yang ganteng. Dari sini dapatlah diukur bahwa latihan Lwekangnya agaknya sudah mencapai titik kesempurnaannya.
Kepala Suma Bing terasa men-dengung2, matanya beringas menatap musuh besarnya ini. Dendam kesumat dan rasa kebencian yang menyala2 merangsang dalam aliran darahnya, ingin rasanya saat itu juga ia melimpahkan seluruh rasa kebenciannya ini, namun tenaganya hilang, tubuhnya gemetar dan basah kuyup oleh keringat dingin.
Loh Cu gi musuh besar yang setiap saat setiap detik selalu terbayang dalam ingatannya ternyata adalah orang yang memegang peranan penting dibelakang layar dari orang2 Bwe hwa hwe ini.
Bergantian terbayang keadaan suhunya yang merana dengan badan cacat dan akhirnya meninggal dengan mengenaskan. Keadaan ibunya yang hampir menggila setelah diperkosa dan harus kehilangan seorang putranya. Akhirnya terbayang juga kematian ayahnya dibawah kepungan beratus manusia2 kejam yang mengeroyoknya... lantas tercetus ucapan dari mulutnya: "Loh Cu gi, binatang jalang, hendak kurobek dan kupotong2 seluruh tubuhmu, kubakar tulang2mu dan kusebarkan kemana2."
Loh Cu gi ganda bergelak tawa seram, serunya: "Jadi kau hendak menuntut balas bagi Kho lo sia gurumu itu?"
"Benar, suhu meninggalkan pesan untuk mencacah jiwamu."
"Apa kau mampu?"
"Jangan ter-gesa2. Kukira kau tidak melupakan peristiwa diatas puncak kepala harimau pada delapan belas tahun yang lalu bukan?"
Berobah hebat wajah Loh Cu gi, tubuhnya melenting bangun dan serunya gemetar: "Siapa kau?"
Sahut Suma Bing sambil mengertak gigi: "Akulah anak tunggal Suma Hong, orok kecil yang kau sapu masuk jurang. Kau tidak menyangka bukan?"
Lagi2 berobah air muka Loh Cu gi, mulutnya mengekeh tawa ke-gila2an, nada tawanya mengandung nafsu kekejaman sadistis yang menyeramkan.
Adalah si wanita ayu pertengahan umur itu mengunjuk rasa heran dan penuh pertanyaan.
Suma Bing sudah angkat kedua tangannya hendak menyerang, namun sedetik itu ia urungkan tindakannya, saat mana tenaganya sudah lenyap, keadaannya seperti ayam jago yang tinggal tunggu saat untuk disembeleh saja.
Sinar matanya menyapu kearah wanita ayu setengah umur itu. Kalau bukan terjebak didalam barisan, mengandal ilmu Bu siang sin hoat, cukup berkelebihan untuk menyelamatkan diri, tentu tak mudah wanita ayu ini dapat meringkus dirinya.
"Kalau aku tidak mati pasti akan kubunuh kau juga." demikian dalam hati Suma Bing berjanji pada dirinya sendiri.
Setelah menghentikan tawanya, Loh Cu gi berkata menyeringai: "Suma Bing, inilah yang dikatakan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengabulkan keinginan pemujanya, kau pasrah nasib saja!"
Bayangan kematian merangsang dan melingkupi perasaan Suma Bing. Dia insaf setelah dirinya terjatuh kedalam cengkraman Loh Cu gi tentu tiada harapan lagi untuk hidup. Maka teriaknya penuh kebencian: "Loh Cu gi, kau binatang jalang ini, menjadi setan juga aku tidak mengampunimu."

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now