35. Manusia Laknat

3K 50 1
                                    

Sepeminuman teh kemudian baru terdengar suara Thong Ping yang lemah tak bertenaga: "Suma Siau hiap silahkan kau masuk!"

Sekarang Suma Bing menjadi ragu2 malah, tapi akhirnya mengeraskan kepala dia memasuki gua itu.

Diujung gua sebelah sana, tampak seorang wanita duduk menggelendot didinding batu, rambutnya awut2an, tangannya mengemban seorang orok yang baru lahir.

Satu tombak dihadapan perempuan itu Suma Bing menghentikan langkahnya, wajahnya merah jengah, katanya: "Nona Thong bagaimana bisa..."

Thong Ping angkat kepala, sebelah tangannya menyingkap rambut yang menutupi mukanya, terlihatlah wajahnya yang pucat tapi ayu menggiurkan, katanya lemah: "Suma Siangkong, ada satu urusan hendak kuminta bantuanmu?"

"Silahkan katakan!"

Sepasang mata Thong Ping yang jeli itu mendadak memancarkan cahaya dingin yang menakutkan, katanya sambil kertak gigi: "Aku minta kau membunuh seorang!"

"Membunuh orang??!"

Jantung Suma Bing me-lonjak2 keras, serta merta dia mundur selangkah.
"Benar, membunuh seorang, tidak, dia bukan terhitung manusia, seekor binatang yang kejam dengan kedok manusia!"
"Siapa dia?"
"Ayah dari orok celaka ini."
Lagi2 Suma Bing terkejut, tanyanya berjingkrak: "Apa, kau ingin aku membunuh suamimu?"
Air mata meleleh dengan derasnya dikelopak mata Thong Ping katanya sesenggukan: "Dia bukan suamiku, kita belum pernah menikah, dia hanya mempermainkan aku..."
"Siapakah dia?"
"Racun diracun!"
"Siapa?"
"Racun diracun!"
Suma Bing bagai mendengar geledek dipinggir telinganya tanpa kuasa tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sungguh tidak kira Racun di racun bisa mempermainkan seorang perempuan yang tidak berdosa. Memang sepak terjang Racun diracun susah dijajaki, sudah beberapa kali dia menanam budi atas dirinya, malah tanpa syarat mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.
Menurut apa yang dikatakan Hui Kong Taysu dari Siau lim si bahwa Racun diracun ternyata adalah sealiran dengan Pek Kut Hujin, sedang Pek Kut Hujin juga sudah berulangkali memberi bantuan yang tidak ternilai kepada dirinya. Haruskah dia melulusi permintaan Thong Ping. Tapi, perbuatan Racun diracun kali ini benar2 mendirikan bulu roma.
Kata Thong Ping membesut airmata: "Suma Siau hiap apa kau kenal Racun diracun?"
"Begitulah seorang manusia aneh dengan seluruh badan hitam legam, manusia paling beracun diseluruh dunia!"
"Itu bukan wajahnya yang asli."
"O!"
"Dia berkepandaian suatu tenaga dalam yang dapat merubah bentuk wajahnya dalam sekejap mata..."
Diam2 Suma Bing manggut2, memang dia pernah dengar akan ilmu Kun goan tay hoat ih sek suatu ilmu yang paling susah dipelajari.
Kata Thong Ping lagi: "Wajah aslinya walaupun tidak begitu ganteng tapi juga cukup gagah, siapa tahu, dia... hatinya jahat melebihi serigala."
"Dia menelantarkan nona?"
Air mata, meleleh lagi lebih deras kata Thong Ping dengan nada kebencian yang ber-limpah2: "Dia menipu cintaku menodai tubuhku, waktu aku sadar kalau aku sudah mengandung dan minta supaya segera kita menikah, dia..."
"Dia bagaimana?"
"Dia berkata bahwa aku bukan calon istri yang diangan2kan dia minta aku melupakan dia..."
Suma Bing ikut gusar dibuatnya, dengusnya: "Lalu dia menelantarkan nona?"
"Tidak sampai disitu saja!"
"Masih ada ekornya?"
"Akhirnya kejadian ini diketahui oleh ibuku, kontan dia dicaci maki. Dalam gusar dan malunya, ternyata..." "Bagaimana?"
"Dia bunuh ibuku menggunakan racun tanpa bayangan!"
Bercerita sampai disini Thong Ping tak kuat menahan duka dan keperihan hatinya, seketika ia muntah darah.
"Keparat kejam yang harus dibunuh!" teriak Suma Bing dengan gemesnya.
Terbayang juga kematian adik Siang Siau hun dengan Li Bun siang yang juga dibunuh oleh Racun diracun yang menggunakan Racun tanpa bayangan juga, memang Racun diracun harus ditumpas dan dilenyapkan dari alam semesta ini.
Tapi, teringat pula akan hutang budinya yang belum sempat terbalas, seketika dingin perasaan hatinya.
Agaknya Thong Ping ini sangat teliti dan cermat sekali, dia sudah melihat kesukaran2 yang bakal dialami Suma Bing maka katanya lagi: "Suma Siau hiap, kalau kau ada kesukaran, permohonanku itu anggaplah omong kosong saja!"
Suma Bing berpikir cepat, manusia yang tidak berperikemanusiaan ini mana boleh dibiarkan tinggal hidup didunia ini, budi dan dendam harus dibedakan, melenyapkan kejahatan adalah tugas utama bagi kaum ksatria, maka sahutnya sambil kertak gigi: "Nona Thong, baiklah aku akan bunuh dia"
Tubuh Thong Ping mendadak membungkuk maju mendekam diatas tanah dan berkata: "Suma Siangkong, harap terimalah hormatku ini!"
"Tidak... tidak... mana boleh begitu!"
Suma Bing mencak2 menyingkir, karena tidak leluasa dia membimbing bangun maka dia minggir kesamping.
Thong Ping duduk seperti semula, katanya sambil tertawa pahit: "Suma Siau hiap, konon kabarnya bahwa Siau hiap tidak takut akan segala racun berbisa. Maka selain kau seorang Siau hiap, mungkin tiada seorangpun dalam Bu lim yang dapat membunuh Racun diracun. Memang Tuhan maha adil, dia mengutus Siau hiap kemari..."
Kata Suma Bing menegaskan: "Nona Thong, pasti aku dapat menyelesaikan urusan ini."
"Siau hiap walaupun harus mati aku Thong Ping juga sangat berterima kasih akan budimu ini"
"Nona jangan berkata demikian, manusia jahat berhati binatang seperti dia itu, siapapun wajib melenyapkannya."
Thong Ping sesenggukkan lagi, ujarnya: "Siau hiap semua sudah kusampaikan, silahkan berangkat"
Alis Suma Bing berkerut, hatinya tidak tega tinggal pergi begitu saja, katanya: "Nona bagaimana dengan kalian ibu beranak?"
"Kami ibu beranak? hahahahaha..."
"Nona kau..."
Thong Ping menghentikan tawanya, katanya: "Suma Siau hiap, apa kau beranggapan aku Thong Ping masih ada harganya tetap hidup?"
Tanpa terasa bergidik tubuh Suma Bing: "Nona, yang sudah lalu anggaplah sebuah mimpi yang paling buruk dilupakan sajalah."
"Ini, dapatkah dilupakan?"
"Tapi nona, masih ada bayi ini..."
"Hehehe... hihihi... bayi, anak celaka ini biar kubunuh saja dengan tanganku sendiri!" nada ucapannya sedemikian seram dan menyayat hati, mendirikan bulu roma.
Ber-ulang2 Suma Bing bergidik seram, katanya penuh haru: "Nona, sebuas2 macan dia takkan menelan anaknya sendiri jelek2 dia adalah anak yang kau lahirkan?"
Thong Ping agak tercengang. lalu katanya menggigit gigi: "Dia anak haram!"
"Kau salah nona Thong, anak ini tidak berdosa, dosa orang tua mana dapat kau limpahkan ketubuh orok kecil yang baru lahir ini."
Pada saat itulah mendadak sang bayi itu menangis dengan kerasnya, se-olah2 dia tengah meronta dan menentang akan nasib jeleknya yang bakal dihadapinya.
Dengan berlinang airmata Thong Ping menggumam: "Anak ini tidak berdosa?"
Suma Bing manggut2, katanya: "Nona Thong bagaimana juga dia adalah anak yang kau lahirkan, kau adalah ibu dari bayi ini!"
Thong Ping menunduk lekat2 mengawasi bayi dalam buaiannya, sinar matanya memancarkan cahaya cerlang cemerlang yang aneh, sedemikian tenang dan welas asih sedikit juga tidak mengandung kebencian lagi, itulah cinta ibunda pertanda dari kemajuan perikemanusiaan.
Diam2 Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: "Nona Thong masih ada kerabat siapa lagi dalam rumahmu?"
"Masih ada adik laki2 yang masih belum dewasa!"
"Lebih baik nona pulang saja, kalau bundamu sudah meninggal secara mengenaskan, janganlah adikmu sampai terlunta2 dan hidup sengsara!"
Mendengar bujukan yang menusuk hati ini seketika menggerung2lah tangis Thong Ping.
Suma Bing diam saja tanpa suara membiarkan orang menangis sepuas2nya. Memang dia perlu menangis perlu akan mencuci bersih segala dukacita dan keputusasaannya, melampiaskan kesedihan dan kedongkolan hatinya. Lama dan lama kemudian baru Thong Ping menghentikan tangisnya.
"Nona Thong dimanakah kau tinggal?"
"Aku tinggal di Thong keh kip jalan Kip bwe nomor dua dalam wilayah Su cwan!"
"Baiklah, nona Thong sekarang aku minta diri, kelak kalau ada kesempatan pasti aku mampir kerumahmu!"
"Siau hiap, terima kasih akan keluhuran budimu ini..."
"Ini tidak terhitung budi apa segala, nona terlalu berat berkata!"
"Kata2 emas Siau hiap tadi menyadarkan kesesatan pikiranku, itu berarti kau telah menolong jiwa kita ibu beranak..."
"Nona jangan kau berkata demikian, harap jagalah dirimu dan anakmu baik2, cayhe minta diri."
Habis berkata segera ia mengundurkan diri keluar gua sebetulnya tujuannya semula adalah hendak mencari suatu tempat untuk melebur Kiu yang sin kang dengan tenaga barunya, sungguh tidak diduga disini ia menghadapi kejadian yang paling menyedihkan dalam dunia ini. Sekian lama dia termangu memandang mulut gua, lalu menghela napas panjang, batinnya: 'Seorang wanita yang harus dikasihani.'
Sekali melejit, secepat terbang dia berlari menuju kepuncak bukit dibelakang rimba sebelah sana. Dia harus segera mencari suatu tempat untuk berlatih diri. Beruntun dia lewati tiga puncak bukit, namun sebegitu jauh belum menemukan tempat yang strategis untuk latihannya, diam2 hatinya mulai gugup.
Karena latihan Kiu yang sin kang ini paling mudah Cap hwe ji mo atau tersesat, sedikitpun tidak boleh sampai terganggu. Begitulah setelah celingukan kesana kesini, dilihatnya tidak jauh disebelah bawah sana terdapat sebuah selokan tersembunyi, bangkitlah semangatnya.
Selokan ini jauh dibawah sana kira2 sedalam ratusan tombak, seumpama jagoan kelas satu dari kalangan Kang ouw juga sukar dapat turun kesana, sejenak setelah diukur2 segera ia kembangkan ilmu gerak naik dari Bu siang sin kang, tubuhnya sedemikian enteng bagai daun melayang pelan2 menurun, tidak lama kemudian dengan ringannya kakinya menginjak tanah didasar selokan sempit itu. Dipilihnya sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar seperti sayap seekor burung, mulailah dia berlatih diri.
Te liong po hiat atau darah pusaka naga bumi itu betul2 mustajab dan mandraguna sedikit saja ia kerahkan tenaga hawa murni dalam tubuhnya segera bergejolak dengan kerasnya bagai sumber air yang ber-gulung2 menyemprot keluar. Menurut teori pelajaran Kiu yang sin kang pelan2 dia tuntun hawa murni itu meresap masuk kedalam pusar dan mulai dilebur dan digodok bersama.
Kira2 setengah hari kemudian, seluruh tubuhnya sudah tertutup oleh kabut tebal yang berwarna merah menyolok mata, hawa panas ber-gulung2 melingkupi lima tombak sekitarnya.
Pada saat itulah sebuah bayangan manusia bagai bayangan malaikat saja melayang tiba menghampiri kedekat Suma Bing. Sudah sedemikian dekat tapi sedikit juga Suma Bing tidak mengetahui, latihannya sedang mencapai titik terakhir.
"Ha, Kiu yang sin kang!" mendadak bayangan itu berpekik ke-gila2an.
Kontan buyar dan hilang kabut merah itu lalu disusul jeritan yang menyayat hati. Seketika Suma Bing roboh terkapar tanpa bergerak, dari panca indranya mengalir darah segar dengan derasnya.
Bayangan itu agaknya juga sangat kaget, sekali lagi dia berseru kejut: "Tersesat!"
Untung Lwekang Suma Bing sudah mencapai kesempurnaannya apalagi jalan darah mati hidup sudah tembus, cepat2 ia tutup sendiri jalan2 darah penting untuk merintangi darah berputar dan menerjang balik. Walaupun demikian tidak urung separuh badannya sudah kaku tak dapat bergerak lagi.
Mimpi juga dia tidak mengira bahwa diselokan dibawah jurang begini bakal ada orang lain yang datang kemari.
Waktu dia pentang matanya memandang, terlihat tiga tombak disebelah sana berdiri seorang pemuda yang berwajah putih ganteng, matanya mendelong mengawasi dirinya.
Dia insaf karena seruan kaget yang mendadak tadi sehingga membuat latihannya tersesat, meskipun dia dapat segera mencegah akan akibat yang lebih mengenaskan sehingga jiwanya tertolong dari kematian, tidak urung separuh tubuhnya sudah menjadi cacat, ini sudah terang menjadi kenyataan. Betapa sedih dan pilu hatinya beratus kali lebih sengsara dari kematian.
Seandainya lantas mati malah akan beres dan tidak bikin kapiran, paling celaka kini badannya mati separuh malah harus menghadapi lagi kenyataan hidup dengan pahit getir ini, benar2 lebih baik mati daripada hidup menderita begini. Seketika airmata ber-linang2, hatinya seperti di-sayat2 dukanya luar biasa. Hampir saja dia melupakan biang keladi atau durjana yang menyebabkan semua kecelakaan ini.
Pemuda itu berkerut alis, lalu membuka mulut: "Karena keteledoran cayhe sehingga saudara tersesat dalam latihan, sungguh aku sangat menyesal dan beribu2 maaf!"
Suma Bing melotot beringas mengawasi pemuda itu, katanya: "Sekarang aku sudah celaka, cukup dengan minta maaf saja pertanggungan jawabmu?"
Sikap pemuda itu acuh tak acuh, sahutnya: "Lalu saudara maunya bagaimana?"
Darah semakin merangsang dijantung Suma Bing, gusarnya bukan kepalang, serunya gemetar: "Sebenarnya ada permusuhan atau dendam apa aku dengan kau?"
"Permusuhan atau dendam sakit hati sih tidak ada"
"Kau juga seorang persilatan, masa pengetahuan umum yang cetek begini saja tidak tahu?"
"Tadi sudah kukatakan keteledoran yang tidak disengaja."
"Gampang dan ogah2an benar sikapmu ini?"
Si pemuda menarik muka, katanya mendesis: "Seumpama memang aku sengaja mencelakai kau, kenapa harus diributkan?"
Hampir meledak jantung Suma Bing, ingin benar rasanya sekali pukul dia hancurkan pemuda kurangajar ini, namun badannya sudah tidak mampu bergerak terpaksa dia kertak gigi: "Karena kata2mu itu kau setimpal untuk dibunuh!"
"Siapa berani membunuh aku? Siapa bisa membunuh aku? Hahahahaha!"
"Dengan perbuatanmu ini, cepat atau lambat pasti ada orang yang bakal membunuhmu!"
"Kau ingin mati?"
"Kau berani?"
Si pemuda tertawa menyeringai, ejeknya: "Membunuh orang terhitung apa, apa perlu dipersoalkan berani atau tidak berani apa segala. Ketahuilah, tanpa menggerakkan tangan aku dapat..."
"Bagaimana?"
"Eh, kau... yang kau latih tadi adalah Kiu yang sin kang, bukankah kau ini yang bernama Suma Bing?"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Kalau benar kau mau apa?"
Berubah air muka si pemuda, suaranya gemetar: "Benar kau adalah Suma Bing?"
"Tidak salah!"
"Wah ini benar2 celaka!"
Suma Bing menjadi melengak heran, entah apa maksudnya dengan ucapan celakanya itu, maka tanyanya tak mengerti: "Apanya yang celaka?"
Agaknya kaget si pemuda masih belum hilang, matanya termangu dan mulutnya menggumam: "Kesalahan sudah sudah terjadi, ini... bagaimanakah baiknya?"
Suma Bing tambah tidak paham, suaranya semakin gemetar: "Siapakah kau ini?"
"Aku? Lebih baik jangan kau tanyakan, mungkin akan datang suatu hari kau bisa tahu. Suma Bing, selamanya aku membunuh orang tanpa banyak pikir, tapi terhadap kau aku tak bisa turun tangan. Mengenai urusan kali ini benar2 aku sangat menyesal dan minta maaf. Kira2 satu jam lagi pasti ada orang datang, aku harus segera pergi!"
Habis suaranya tubuhnya melesat terbang dalam sekejap mata saja bayangannya sudah menghilang, kecepatan gerak tubuhnya itu benar2 sangat menakjubkan.
Suma Bing termangu memandangi bayangan orang menghilang dari penglihatannya, sepatah katapun tidak mampu diucapkan lagi.
Sifat pemuda itu bukan saja kejam juga licik banyak tipu muslihatnya, ini dapat didengar dari nada perkataannya.
Dia mengatakan satu jam lagi bakal datang seseorang, orang macam apakah yang bakal tiba? Latihannya sudah tersesat, separuh tubuhnya juga sudah mati kaku, seumpama orang datang apalagi gunanya.
Badan Suma Bing serasa lemas tak bertenaga, begitu mata dipejamkan, bayangan pengalaman lalu segera berkelebatan dalam benaknya, diantaranya rasa dendam sakit hati, cinta, menuntut balas dan budi kebaikan para kawan, seumpama ujung pedang menusuk ulu hatinya, 'Kalau aku tidak mati, aku harus membunuhnya!' demikian ia bertekad dalam hati.
Tiba2 dia tertawa keras menggila dengan suara serak, kegelapan dan keputus-asaan tanpa berujung pangkal mulai mendatang melingkupi dirinya, dapatkah dirinya sembuh lagi seperti sedia kala? Ini benar2 merupakan angan2 kosong dalam impian belaka, bahwa dia masih helum mati karena latihannya ini tersesat sudah merupakan untung yang paling besar.
Tengah pikirannya me-layang2 ini, sebuah bayangan berkelebat lagi didepan matanya.
Kiranya pemuda licik itu lagi yang muncul.
Waktu pandangan Suma Bing beradu pandang dengan sinar mata si pemuda yang berjelalatan tak henti2nya itu, tanpa terasa dia bergidik gemetar, dia pergi dan kembali lagi, pasti ada maksud2 jahat apalagi yang hendak diperbuatnya.
Si pemuda menyeringai dingin, katanya: "Suma Bing, aku teringat sesuatu..."
"Sesuatu apa?" bentak Suma Bing bengis.
"Bukankah Pedang darah berada ditanganmu?"
Suma Bing semakin murka dan berputus asa, kiranya dia kembali lagi karena ingin merebut Pedang darah dari tangannya. Setelah mengalami berbagai rintangan baru Pedang darah ini diserahkan oleh Racun diracun kepadanya, jikalau hilang lagi, semua angan2nya bakal kandas seluruhnya. Memang keadaan dirinya sekarang ini mana mungkin dapat melindungi Pedang darah itu sehingga tidak sampai terebut oleh lawan.
Tentang Pedang darah berada ditangannya, selain pihak Bwe hwa hwe tiada orang lain yang tahu. Apa mungkin pemuda licik ini adalah dari pihak Bwe hwa hwe?
Kalau dia memang benar dari Bwe hwa hwe mengapa tidak segera mencabut jiwanya? Ini tidak benar. Lalu bagaimana bisa dia mengetahui kalau dirinya menyimpan Pedang darah?
Pelan2 si pemuda mendekat kehadapan Suma Bing, tangan diulurkan dan katanya: "Suma Bing, serahkan kepadaku!"
"Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku, tiada halangannya kuberitahu, aku bernama Phoa Cu giok!"
"Phoa Cu giok?"
"Benar!"
Rasa kebencian yang me-luap2 merangsang hati Suma Bing, serunya beringas: "Phoa Cu giok, akan datang satu hari kubeset dan kucacah tubuhmu."
Phoa Cu giok ganda menyeringai, katanya tertawa: "Selama hidupmu kau takkan mampu berbuat apa2, tapi, meskipun mulutmu kurangajar, aku tetap segan membunuh kau. Kau sendiri tahu, setelah latihanmu tersesat kau tidak akan dapat hidup lama lagi!"
Suma Bing menjerit kalap seperti orang gila, darah menyemprot dari mulutnya.
Phoa Cu giok maju lagi dua langkah, secepat kilat ia cengkram tangan Suma Bing yang masih dapat bergerak, sedang tangan yang lain mencengkram kebaju didepan dadanya. 'Bret!' sebilah pedang kecil sepanjang satu kaki sudah berada ditangan Phoa Cu giok. Duka dan gusar merangsang bersamaan, kontan Suma Bing jatuh pingsan.
Entah sudah berselang berapa lamanya, akhirnya Suma Bing baru tersadar. Perasaan pertama yang dirasakannya adalah se-akan2 dirinya berada dipelukan seseorang, bau wangi juga segera merangsang hidung, dipinggir telinganya terdengar sebuah suara halus mesra tengah memanggil dirinya: "Engkoh Bing, engkoh Bing!"
Waktu dia membuka mata keruan kejutnya luar biasa, dihadapannya berdiri bibinya Ong Fong jui, ternyata dirinya rebah dipangkuan istrinya Phoa Kin sian.
Mereka guru dan murid bisa muncul ditempat itu benar2 diluar sangkanya. Pertama kali melihat keluarga terdekat setelah mengalami bencana, tak urung Suma Bing yang terkenal berhati baja dan keras kepala juga akhirnya mengucurkan air mata.
"Nak," ujar Ong Fong jui sambil mengerutkan alis dalam2, "Kau tersesat dalam latihanmu?"
"Ya, begitulah!"
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Kalau diceritakan sangat panjang!"
"Ceritakanlah pelan2!"
Dengan sapu tangan sutra Phoa Kin sian membesut keringat diatas jidat Suma Bing, sehingga terasa kasih mesra yang menghangatkan badannya.
"Bi, aku... dapatkah aku sembuh kembali?"
"Nak, bibimu akan sekuat tenaga membantumu sembuh kembali, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai keadaanmu jadi sedemikian rupa!"
Maka mulailah Suma Bing bercerita sejak dari mereka berpisah tempo hari, ditengah jalan bersua dengan Rasul penembus dada dan tertolong oleh pihak Perkampungan bumi dimana dia dicalonkan sebagai ahli waris raja mereka begitulah dari mula sampai akhir ia ceritakan dengan ringkas dan jelas. Selanjutnya, dia mendongak memandang Phoa Kin sian dan berkata: "Adik Sian, aku berbuat salah terhadapmu!"
Sahut Phoa Kin sian lemah lembut: "Ini tidak bisa salahkan kau!"
Ong Fong jui menghela napas ringan, katanya: "Nak, pengalamanmu didalam Te po aku dan Kin sian sudah mengetahui!"
"Apa, bibi Jui sudah tahu? Darimana bibi bisa tahu?"
"Tengah hari yang lalu aku sudah bertemu dengan Kangkun Lojin!"
Suma Bing terperanjat: "Apa bibi Jui kenal dengan Kangkun Lojin?"
"Tidak kenal, sudah lama kudengar ketenarannya!"
"Bagaimana bisa..."
"Mata telinga pihak Te po sangat awas dan jeli, siang2 mereka sudah tahu hubunganmu dengan Kin sian. Adalah Sim tong Tongcu Song Liep hong dari perkampungan bumi itulah yang menuntun orang tua itu menemui aku!"
Baru sekarang Suma Bing paham, kiranya waktu diluar jalan rahasia itu, tugas yang diserahkan kepada Kangkun Lojin oleh Te kun itu ternyata adalah soal ini.
Ujar Ong Fong jui lagi: "Kangkun Lojin mendapat pesan dari Te kun, untuk merembukkan tentang persoalanmu masuk warga dalam perkampungan bumi, aku sudah melulusi mereka."
Suma Bing melengak: "Bibi sudah melulusi!"
"Kayu sudah menjadi perahu, apalagi Kangkun Lojin sendiri yang ikut campur, terpaksa aku harus setuju!"
"Tapi bagaimana adik Sian..."
"Kin sian paham dan maklum akan keadaanmu, ini tiada persoalan baginya!"
"Tapi aku... selalu merasa tidak tentram bibi Jui, aku..."
"Kenapa?"
"Aku berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Te po!"
"Tidak bisa, cara memilih menantu sudah merupakan tradisi bagi mereka, peraturan ini sudah menjadikan undang2 tetap dikalangan Kangouw. Apalagi kau dengan Pit Yau ang sudah melangsungkan upacara pernikahan secara resmi, bagaimana rasa tanggung jawabmu kepadanya?"
Sampai sekarang Suma Bing masih rada dongkol dan jengkel, sahutnya: "Mereka menipu aku!"
"Nak, kau tidak bisa berkata demikian!"
"Lalu adik Sian?"
"Sudah tentu dia ikut kau ke Te po!"
"Ini..."
"Kin sian sendiri sudah setuju!"
Suma Bing memandang istrinya dengan penuh penyesalan yang tak terhingga, betapa resah perasaan hatinya susah dikatakan.
Sebenarnya cinta itu sangat egois, adalah sebaliknya bagi Phoa Kin sian waktu mengetahui suaminya terjatuh kedalam pelukan perempuan lain, bukan saja tidak mengunjuk perasaan cemburu, malah sinar wajahnya mengunjuk rasa girang berseri, ini benar2 susah dimengerti.
Ong Fong jui mengalihkan pokok pembicaraan: "Nak, kau masih belum menceritakan bagaimana kau bisa tiba ditempat selokan yang tersembunyi ini."
Lagi2 Suma Bing harus dipaksa mengenang kenyataan yang menyedihkan itu, katanya penuh kebencian: "Tit ji (keponakan) diberi minum tiga cangkir darah pusaka naga bumi. Aku ingin melebur tenaga baru ini kedalam ilmu Kiu yang sin kang, maka akhirnya kupilih tempat selokan yang tersembunyi ini untuk berlatih, sungguh tak terduga ditengah jalan aku mendapat gangguan..."
"Siapakah yang mengganggu kau?" tanya Phoa Kin Sian terharu.
Sebaliknya Ong Fong jui segera mendengus dingin: "Tiada orang lain pasti dia."
Suma Bing menjadi keheranan, naga2nya si pemuda yang mengaku bernama Phoa Cu giok ada hubungan erat dengan Ong Fong jui guru dan murid. Kalau tidak sebelum pergi Phoa Cu giok juga tidak bakal mengatakan satu jam kemudian pasti ada orang datang, maka pura2 tidak tahu dia bertanya: "Bibi Jui, siapakah dia?"
Mendadak tubuh Phoa Kin sian menggigil gemetar. Suma Bing terbaring dalam pangkuannya sudah tentu dia merasa akan hal ini, tanpa terasa tergerak hatinya.
Sejenak Ong Fong jui ragu2, lantas balas bertanya: "Apa kau tahu siapa dia?"
"Dia mengaku dirinya bernama Phoa Cu giok!"
"Hm, dia adalah adik kandung Kin sian, juga adik iparmu!"
Keruan Suma Bing terperanjat, tidak diketahuinya bahwa Cu giok ternyata adalah adik istrinya, bagaimana dia harus membalas perhitungan ini?
Pada saat itu mendadak Phoa Kin sian melelehkan airmata dengan derasnya. Panjang2 Suma Bing menghela napas katanya: "Adik Sian, jangan kau berduka karena peristiwa ini, mungkin dia tidak sengaja, aku... tidak salahkan dia."
"Engkoh Bing kau tidak tahu, kelak... ai, mungkin pada suatu hari akan kuberitahukan kepada kau!"
"Apa?"
"Sekarang tidak bisa kukatakan!"
"Sebenarnya apakah yang telah terjadi?"
"Ai? Mungkin aku berbuat salah, tapi sudah terlambat!"
Wajah Ong Fong jui berubah serius, katanya: "Kin sian harus cari dia kembali."
Tercetus ucapan Suma Bing: "Dia juga membawa Pedang darahku!"
Phoa Kin sian merebahkan Suma Bing diatas tanah, terus berjingkrak bangun serunya gemetar: "Apa dia membawa Pedang darah?"
Suma Bing mengiakan.
Airmuka Ong Fong jui juga berobah marah, serunya geram: "Ada kejadian begitu, anak itu sudah tidak dapat ditolong lagi!"
Wajah Phoa Kin sian penuh airmata, katanya penuh duka: "Suhu, engkoh Bing kuserahkan kepadamu, aku..."
"Kau kenapa?"
"Bagaimanapun aku harus mencarinya kembali, sedikitnya Pedang darah itu harus diminta pulang!" habis berkata tubuhnya terus melejit terbang menghilang.
"Adik Sian!"
"Kin sian!"
Ong Fong jui dan Suma Bing berseru berbareng, tapi Phoa Kin sian bagai tidak mendengar, pada lain kejap bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana. Terang kalau keadaannya saat itu sangat berduka dan sedih luar biasa...
Suma Bing menyesal dan menghela napas, katanya: "Hm, kejadian ini benar2 diluar dugaan"
Wajah Ong Fong jui membesi kehijauan, suaranya mengandung kebencian: "Phoa Cu giok banyak berbuat jahat dan bertabiat rendah, akan datang suatu hari dia termakan akan buah perbuatannya ini, malah mungkin bisa mencelakai cicinya sekalian!"
"Bibi Jui, Phoa Cu giok juga menjadi muridmu?"
"Ya, kupandang muka Phoa Kin sian maka kuterima dia menjadi murid. Siapa tahu diluar bagus tapi busuk didalam kalau dia tidak bisa merubah tabiatnya ini, tidak dapat tidak aku harus menghukumnya menurut undang2 perguruan!"
"O, bibi Jui, bagaimana kau bersama Kin Sian bisa datang diselokan yang tersembunyi ini?"
"Disinilah tempat aku menetap."
"Tempat sepi ditengah alas pegunungan ini?"
"Tak lama lagi kau pasti dapat tahu, sekarang lebih baik kita kembali ketempat kediamanku dulu!" sambil berkata ia jinjing tubuh Suma Bing terus berlari bagai terbang kearah selokan yang lebih dalam sana, sekejap saja mereka tiba didepan sebuah gua. Tanpa banyak pikir langsung Ong Fong jui terus menerobos masuk. Gua ini sedemikian bersih dan nyaman sedikitpun tak terlihat ada kotoran, ruangan dalam gua itu selebar tiga tombak persegi, meskipun kecil namun dihias sedemikian rupa bagai kamar seorang putri raja.
Langsung Ong Fong jui membaringkan Suma Bing diatas sebuah dipan yang lengkap dengan kasur dan bantal guling.
Menyapu pandang keadaan ruangan ini berkatalah Suma Bing: "Bibi Jui, disinikah tempat kediamanmu?"
"Bukan, ini hanya tempatku bersemadi."
"Bibi Jui, mengenai kabar ibunda..."
Rona wajah Ong Fong jui berubah tak menentu, katanya: "Nak, sejak kuketahui riwayat hidupmu, setiap saat setiap waktu selalu aku berusaha mencari... Sekarang jangan kita perbincangkan soal itu, biar kuperiksa dulu lukamu itu."
"Dapatkah badanku sembuh kembali?"
"Sekarang belum bisa ditentukan, tapi, nak, aku akan berusaha sekuat tenaga!"
Sambil berkata tangannya diulur menekan dan memeriksa nadi jalan darah Suma Bing yang sebelah tubuhnya sudah tak dapat bergerak lagi. Lama dan lama sekali tanpa bersuara.
Suma Bing menjadi risau dan tak sabar: "Bagaimana bibi Jui, masih dapat ditolong?"
Ong Fong jui terpekur dalam se-olah2 tengah memikirkan persoalan besar yang susah dipecahkan, begitulah dia berdiam diri tanpa menyahuti pertanyaan Suma Bing. Kira2 setengah harian kemudian baru dia menepuk dipinggir ranjang, dan berkata seperti menggumam: "Terpaksa begitulah!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Bibi Jui, lebih baik bagaimana?"
"Biar aku menempuh bahaya!"
"Menempuh bahaya?"
"Benar, menggunakan tenaga murniku diaduk bersama dengan Kan goan kay hiat sip meh tay hoat, untuk menjebol jalan darahmu yang buntu karena latihanmu yang tersesat itu. Selain dengan cara ini tiada cara lain yang lebih sempurna. Ingat, setelah tenagamu pulih kembali, kalau melihat keadaanku sangat janggal jangan kau gugup dan takut, kau harus tenang dan pindahkan saja aku dikamar dalam disebelah gua ini..."

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now