37. Kekalahan Lima Rasul

2.8K 48 1
                                    

Bagai bayangan setan tubuh Suma Bing berkelebat memutar kebelakang keempat Rasul itu, kedua tangan tiba2 diayun berbareng.

'Blang', disertai sebuah seruan tertahan, satu diantara keempat Rasul itu terbang jauh keluar pintu kelenteng. Bertepatan dengan itu sebilah cundrik yang berkilau dingin tahu2 sudah mengancam didepan dada Suma Bing.

Keruan kaget Suma Bing bukan alang kepalang, begitu tangan digentakkan, Cincin iblis yang dikenakan ditengah jari kontan memancarkan sinar mencorong 'Creng' kontan Suma Bing tergetar sempoyongan, Rasul yang membekal senjata itu juga terhuyung beberapa langkah.

Ketiga Rasul yang lain juga pada saat itu menyerang tiba pula.

Bu siang sin hoat benar2 sakti mandraguna, begitu tubuhnya limbung karena benturan keras tadi, kakinya lantas menggeser selicin belut berganti tempat, dimana kekuatan tenaga dipusatkan ditangan kanan, lagi2 cahaya sinar Cincin iblis mencorong lebih tajam terus disapukan kearah ketiga Rasul yang menyerang tiba.

Kaget ketiga Rasul itu bukan alang kepalang serasa arwah mereka terbang meninggalkan badan, cepat2 mereka menjejakkan kaki melejit jauh menyingkir.

Kini Suma Bing kembali berdiri tegak didepan peti mati lagi, sikapnya garang dan siap siaga.
Pada saat itulah Rasul yang terpental keluar pintu kelenteng itu agaknya lukanya tidak terlalu berat, kini melangkah masuk lagi kedalam ruangan ini. Kelima Rasul berdiri dalam posisi lima penjuru, Suma Bing terkepung ditengah.

Sekian lama kedua belah pihak sama berdiri mematung siap siaga menunggu serangan musuhnya.

Setengah jam telah berlalu, keadaan tetap sunyi tanpa seorang jua bersuara. Akhirnya Suma Bing sendiri berlaku kurang sabar. Dimana sinar Cincin iblisnya menyapu datang. Dua Rasul yang berdiri dihadapannya segera melejit menyingkir kebelakang. Tapi sebelum cahaya Cincinnya mengenai sasarannya mendadak tubuh Suma Bing membalik terus kirim sebuah hantaman dahsyat kebelakang dengan kekuatan Kiu yang sin kang, gerak kecepatan tubuhnya benar2 mempesonakan sampai susah diikuti oleh pandangan mata.
Betapapun tinggi kepandaian Rasul penembus dada, juga susah menghadapi rangsangan yang datang secara mendadak ini.
Kontan terdengar dua lolong jeritan panjang, satu diantara Rasul yang menerjang tiba lebih dulu kontan roboh terkapar, sedang yang lain terpental jungkir balik setombak lebih, kedok dimukanya basah oleh air darah, agaknya lukanya tidak ringan. Bentakan2 nyaring memekak telinga, tiga Rasul lainnya menubruk maju berbareng sambil lancarkan serangan berantai, jurus dan tipu serangannya sangat aneh menakjubkan se-akan2 air sungai mengalir deras tanpa putus-putus.
Keruan Suma Bing kebingungan dan gugup mencak2, beruntun empat kali tubuhnya berputar sambil menangkis, baru tubuhnya dapat berdiri tegak lagi.
Cara turun tangan ketiga Rasul itu adalah menggunakan gerak cepat, jurus dan tipu serangannya sedemikian gencar dan rapat bagai hujan derasnya. Sehingga tiada sempat Suma Bing menggunakan Cincin iblis dan melancarkan pukulan Kiu yang sinkang.
Dalam sekejap mata tiga puluh jurus telah berlalu.
Tadi berulangkali Suma Bing lancarkan Kiu yang sinkang dan Cincin iblis tenaga murninya banyak terkuras keluar, meskipun jalan darah mati hidupnya sudah tembus, tenaga dalamnya tidak mengenal putus. Tapi bagaimana juga musuh terlalu tangguh untuk menghadapinya ia harus kerahkan setaker tenaganya, maka dengan cepat tenaga murninya semakin susut, keadaannya semakin payah dan terdesak dibawah angin.
Sebaliknya ketiga Rasul penembus dada itu lebih gencar lagi menyerang secara mati2an, ditengah berkesiurnya angin pukulan diselingi juga sinar berkeredep dari cahaya cundrik yang menciutkan nyali orang, perbawa dan kekuatan gabungan mereka bertiga ini benar2 mengagumkan.
Memangnya kelenteng itu sudah tua dan reyot, apalagi angin pukulan sedemikian deras sehingga atapnya bergetar, genteng dan debu berterbangan tak henti2nya. Agaknya kalau kedua belah pihak yang bertempur tiada seorangpun yang mau menghentikan pertempuran ini, tanggung tak lama lagi kelenteng reyot ini pasti ambruk sama sekali.
Bagi Suma Bing yang kedatangannya memang ada maksud tertentu, sudah tentu tidak bakal mau mundur atau mengalah.
Terdengar sebuah bentakan menggeledek, kontan terlihat salah satu dari ketiga Rasul itu terjengkang mundur sambil muntah darah.
Dalam waktu yang bersamaan, cundrik Rasul penembus dada juga menyobek kulit lengan Suma Bing sehingga terluka panjang, darah membanjir keluar dengan derasnya. Maka wajahnya yang semula sudah tegang penuh nafsu membunuh kini tambah pucat menakutkan, napasnya juga mulai memburu.
Suma Bing insaf mara bahaya selalu mengancamnya, dia harus secepat mungkin mengakhiri pertempuran ini, kalau tidak entah bagaimana akhirnya susah dibayangkan. Karena ketetapan hatinya ini, tenaganya dikerahkan seluruh sambil kertak gigi beruntun dia lancarkan sembilan kali pukulan berantai.
Begitu sembilan pukulan ini dilancarkan habis tepat sekali satu diantara Rasul pengeroyok itu dengan telak kena terpukul roboh terjungkal tak bisa bergerak lagi.
Karena pengerahan tenaga yang ber-lebih2an ini, seketika Suma Bing rasakan pandangannya ber-kunang2, kepala terasa berat sebaliknya tubuhnya enteng bagai terapung ditengah udara.
Demikian juga keadaan Rasul penembus dada yang membekal cundrik itu, napasnya juga ngos2an, dadanya turun naik dengan keras.
Sekarang tinggal Suma Bing dengan Rasul penembus dada yang pegang cundrik saja masih berhadapan seperti dua ayam jago yang sudah kehabisan tenaga saling pentelengan tanpa bergerak lagi.
Agak lama kemudian baru Suma Bing membuka mulut dengan suara gemetar: "Hari ini akan kubuat kalian berlima menggeletak tak bernyawa lagi dalam kelenteng bobrok ini."
Rasul penembus dada menyeringai sinis: "Suma Bing, cundrikku ini juga dapat menembus ulu hatimu!"
Lantas terdengar pula suara bentakan dan teriakan yang simpang siur mereka berkutet dan bertempur lagi dengan sengitnya. Tapi sudah tidak sehebat tadi sebab kedua belah pihak sudah sama2 kehabisan tenaga, mereka hanya bergerak dan meronta demi kemenangan terakhir saja. Bukti dan kenyataan sudah jelas, akhirnya mereka berdua pasti akan sama2 gugur dan tamat riwayatnya.
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring: "Berhenti!"
Tanpa diminta kedua kalinya serta merta mereka berhenti bertempur. Masing2 mundur dua langkah sambil pentelengan dengan mata membara gusar.
Ternyata gadis baju hitam itu kini tampil lagi kedepan, alisnya dikerutkan dalam2, matanya mendelik buas penuh nafsu membunuh.
Baru sekarang Suma Bing berkesempatan menghela napas lega. Dia maklum dengan terluka berat pasti kelima Rasul penembus dada tidak bakal berani mengumbar keganasannya lagi. Pasti gadis baju hitam ini berkecukupan untuk menghadapi mereka. Maka segera ia mengundurkan diri kesamping, diam2 ia kerahkan tenaga untuk berobat diri.
Sorot mata gadis baju hitam menyapu pandang kepada empat Rasul yang terluka berat, lalu beralih menatap kearah Rasul penembus dada yang mencekal cundrik itu katanya: "Kalian mendapat perintah dari siapa untuk mengambil jiwa suhuku?"
"Dari ketua Jeng siong hwe!" sahut Rasul penembus dada.
"Siapakah ketua kalian?"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Ada permusuhan dan dendam apa dengan guruku?"
"Tidak perlu kujelaskan."
Gadis baju hitam mengacungkan sebelah tangannya, ancamnya: "Ini segenggam pasir beracun yang dinamakan Cui hun soa. Segenggam ini kukira cukup untuk menamatkan riwayat kalian berlima bukan?"
"Mungkin, tapi kau sendiri juga tidak akan tetap hidup!"
Gadis baju hitam menurunkan tangan, ujarnya: "Sekarang ini aku tidak akan berbuat begitu. Sebab suhu memang benar sudah meninggal, orangnya mati permusuhan himpas. Hanya aku ada sedikit permohonan, jangan kalian merusak jenazahnya!"
"Tidak mungkin!" seringai Rasul penembus dada dingin.
Gadis baju hitam naik pitam teriaknya: "Orangnya sudah mati, jenazahnya juga tidak kau lepaskan!"
"Ya, cundrik ini harus menembusi dadanya dulu!"
"Kujelaskan sekali lagi, suhuku betul2 sudah meninggal!"
"Mati atau hidup sama saja!"
"Kalau begitu jangan kalian sesalkan cara turun tanganku terlalu kejam!"
"Silahkan sesuka hatimu kau turun tangan, tapi kau sudah tiada kesempatan lagi!"
"Omong kosong!"
Tiba2 badan gadis baju hitam melejit mundur setombak lebih, tangannya sudah terangkat tinggi, siang2 tangannya sudah menggenggam pasir beracun tinggal menaburkan saja...
Rasul penembus dada ganda mendengus dingin tanpa bergerak dan membuka suara.
Namun mendadak gadis baju hitam menurunkan tangannya pula, ujarnya: "Kalian pergilah!"
Rasul penembus dada juga masukkan cundrik kedalam balik bajunya, suaranya sedingin es: "Inilah kesempatan, kenapa tidak kau turun tangan, untuk selanjutnya, selamanya kau takkan ada kesempatan lagi?"
Rona wajah gadis baju hitam berobah bergantian, timbul lagi nafsunya membunuh, namun secepat itu pula terus menghilang, katanya dengan suara tawar: "Silahkan kalian pergi!"
Sekilas Rasul penembus dada melirik kearah Suma Bing yang tengah bersemedi, lalu berkata kepada gadis baju hitam: "Beritahu kepada gurumu, soal cundrik ini menembusi dada tinggal tunggu waktu saja, dia tidak akan dapat lolos!"
Berobah hebat air muka gadis baju hitam, serunya gemetar: "Dia sudah mati!"
"Mati? Pek chio Lojin pandai meramu obat yang aneh2, pura2 mati hanya dapat mengelabui orang saja!"
Habis berkata beruntun ia menutuk dan menepuk beberapa jalan darah ditubuh keempat Rasul lainnya, satu persatu mereka berdiri terus beriring berjalan keluar.
Kaki gadis baju hitam maju selangkah agaknya hendak merintangi kepergian mereka, tapi dia urung bersuara. Dia maklum seumpama membunuh kelima Rasul ini juga tidak bakal dapat membereskan persoalan ini. Mereka hanyalah petugas yang menjalankan perintah orang lain saja. Orang dibelakang layar itulah yang lebih kejam menakutkan, bersama itu dia juga insaf bahwa Lwekang Rasul penembus dada, meskipun sudah terluka berat, mungkin dirinya masih bukan tandingannya, maka akhirnya dia ambil kepastian untuk tidak turun tangan.
Bayangan kelima Rasul itu akhirnya menghilang ditengah kabut malam.
Gadis baju hitam menyumat sisa lilin didepan meja sembahyang.
Air muka Suma Bing pelan2 mulai bersemu merah, itulah pertanda bahwa tenaganya sudah mulai pulih kembali.
Diam2 gadis baju hitam menggeremet kebelakang Suma Bing, sebuah tangannya sudah menekan jalan darah besar Thian leng hiat.
Mimpi juga Suma Bing tidak menduga bahwa bayangan kematian sudah mengulur tangan kepadanya.
Rona wajah gadis baju hitam ini be-robah2 susah diraba, entah apa yang tengah diterawangi. Dia tengah berpikir haruskah dia turun tangan membunuhnya. Tangannya agak gemetar, hatinya bimbang untuk mengerahkan tenaga.
Pada saat itulah mendadak Suma Bing membuka matanya, melihat suasana yang sepi ini tanpa terasa dia berseru heran: "Eh!"
Cepat2 gadis baju hitam menarik tangannya.
Suma Bing juga sudah merasa, badannya berkelebat terus membalik, serunya kejut: "Ternyata kau, dimana mereka?"
"Sudah pergi!"
"Sebenarnya gurumu..."
"Lebih baik tuan jangan menanyakan hal itu lagi!"
"Baik kita kembali pada persoalan pertama, aku mohon diberi sebutir Hoan hun tan!"
"Karena kau mati2an melindungi jenazah guruku, biarlah kuberi sebutir, tapi..."
"Bagaimana?"
Bola mata gadis baju hitam ber-putar2, memancarkan cahaya aneh, lama kemudian baru dia bersuara: "Ada syaratnya!"
"Syarat apa? Syarat yang tadi kau ajukan..."
"Bukan!"
"Syarat apa?" Suma Bing menegas.
Agaknya gadis baju hitam ingat sesuatu, maka sambil manggut2 dia berkata: "Aku berhak menunda dulu syarat yang bakal kuajukan itu!"
"Menunda?"
"Benar, asal kau ingat bahwa kau masih hutang satu syarat kepadaku sudah cukup. Mungkin suatu waktu kelak bisa kuajukan, tapi... juga mungkin tidak kuajukan..."
"Ini! Mengapa begitu?"
"Sudah tentu ada alasanku!"
Suma Bing tak habis mengerti, orang hendak menunda hak pengajuan syarat yang hendak diajukan, kemana tujuannya susah diraba. Tapi bila diingat waktu dirinya pertama kali memasuki biara ini, orang mengajukan penggantian dengan kepalanya, dengan tegas dirinya sudah setuju, mati saja tidak ditakuti, apalagi syarat lainnya. Maka segera ia mengangguk: "Baik aku setuju!"
"Tapi perlu kutandaskan, bila kelak syarat itu kuajukan, lalu tuan tidak menepati janji..."
"Nona terlalu berkuatir, aku yang rendah bukan manusia macam itu!"
"Aku percaya kau, ambillah!"
Lalu dari balik bajunya dikeluarkan sebuah botol kecil yang terbuat dari porselin terus diangsurkan kepada Suma Bing.
Tangan Suma Bing gemetar menyambuti botol kecil itu. Legalah hatinya, kalau obat ini sudah ditangannya maka jiwa bibinya Ong Fong jui tidak perlu dikuatirkan lagi.
"Cayhe minta diri!"
"Silahkan!"
Begitu keluar dari Yok ong bio malam itu juga Suma Bing berlarian kencang, ingin rasanya tumbuh sayap dan segera tiba diselokan yang belum diketahui namanya itu untuk menolong bibinya.
Hari kedua tengah hari, Suma Bing sudah menempuh sejauh lima ratusan li, karena perut terlalu lapar terpaksa dia memasuki sebuah kota hendak menangsel perut. Baru saja sampai diujung jalanan, sebuah bayangan dengan cepat memapak datang terdengar pula suara yang sangat dikenalnya: "Buyung, sudah lama benar kucari kau!"
Cepat2 Suma Bing menghentikan larinya, waktu angkat kepala kiranya yang mendatangi ini adalah si maling bintang Si Ban cwan, cepat2 ia memberi hormat: "Cianpwe apa baik2 saja selama berpisah?"
"Masih baik, belum mati. Buyung, sungguh tak duga kau bisa lolos dari Bwe hwa hwe dengan tetap masih bernyawa."
"Cianpwe, musuh besar sudah kutemukan jejaknya!"
"Siapa?"
"Loh Cu gi!"
"Loh Cu gi?" seru si maling bintang penuh keharuan.
"Benar!"
"Kau sudah menuntut balas?"
"Belum, hampir saja jiwaku melayang ditangannya!"
"Dimana dia berada?"
"Bwe hwa hwe!"
"Dia juga..."
"Dia adalah sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe. Chiu Thong ketua mereka itu adalah muridnya."
"O, dia kenal kau tidak?"
"Aku sendiri yang memperkenalkan asal-usulku!"
"Masa dia mau melepasmu begitu saja?"
"Tidak, dalam penjara bawah tanah, kebetulan aku bertemu dengan Tiang un Suseng Poh Jiang, dialah yang membantu aku lolos dari kurungan!"
"Lalu bagaimana dengan Tiang un Suseng?"
Mengelam air muka Suma Bing, ujarnya sedih: "Dia sudah mati, bersama suciku Sim giok sia!"
"Benar2 terjadi demikian?"
"Suci Sim Giok sia meninggal karena diperas, sedang Tiang un Suseng hanya mengikuti jejaknya saja. Kalau tidak dengan gampang dia dapat lolos dari penjara itu. Hm, hutang darah itu kelak biar kubalaskan secara total!"
"Loh Cu gi pernah merebut kedudukan jago silat kelas satu, Lwekangnya tentu..."
"Yang lain aku tidak tahu, yang jelas Kiu yang sinkang telah dilatihnya sampai sempurna, lebih tinggi dari dugaan suhu semula. Sekali pukul dia dapat membumi hanguskan benda sasarannya!"
Berobah wajah keriput si maling tua, katanya: "Sekali pukul membumi hanguskan benda sasarannya, siapa pula tokoh yang kuat melawannya, buyung, selain..."
"Selain apa?"
"Dapat kau mempelajari ilmu sakti yang tersembunyi didalam Pedang darah dan Bunga iblis itu!"
"Tapi..."
"Bagaimana?"
"Pedang darah telah hilang!"
"Apa, Pedang darah kau hilangkan?"
"Ya, tapi masih ada harapan dapat diminta kembali!"
"Siapakah orang yang mengambil?"
"Phoa Cu giok!"
"Belum pernah kudengar nama itu!"
"Ai, dia adalah adik kandung Phoa Kin sian!"
Maka berceritalah Suma Bing akan pengalamannya dalam latihannya yang sesat karena terganggu, dan kini tengah menjalankan tugas minta obat di Yok ong bio. Si maling tua Si Ban cwan meng-geleng2 sambil menghela napas panjang.
Suma Bing tertawa kikuk, katanya: "Cianpwe, mari kita tangsel perut dulu baru bicara lagi bagaimana?"
"Bagus sekali, buyung, memang ada omongan yang perlu kuberitahukan kepadamu, untuk tidak mengurangi selera makan kita, setelah perut kenyang baru kita perbincangkan lagi."
Begitulah mereka memasuki kota terus mencari rumah makan, kebetulan tak jauh disebelah depan sana ada sebuah rumah arak Tiau yu kip, langsung mereka masuk dan mencari tempat duduk terus pesan makanan dan minuman.
Saat itu kebetulan tiba tengah hari para pengunjung sangat banyak yang makan minum suasana menjadi ramai dan gaduh.
Tengah makan minum, tak kuat Suma Bing menahan sabar lagi, tanyanya: "Cianpwe, nona Siang Siau hun..."
Si maling tua membalik mata, ujarnya: "Dia pulang kerumahnya. Dia salahkan aku tidak mencegah kau menepati janjimu ke Bwe hwa hwe!"
"Ada lebih baik dia pulang kerumah, betapa berbahayanya berkelana di Kangouw."
"Siapa tahu apa benar dia pulang kerumah."
Suma Bing terkejut, serunya: "Mengapa?"
"Ada kemungkinan dia pergi mencari kau!"
"Mencari aku? Wah celaka, markas Bwe hwa hwe bagai sarang naga dan gua harimau."
"Ini hanya dugaan saja, aku sudah mencari tahu susah payah, tapi tiada kabar beritanya."
Tanpa terasa tenggelam dan berat perasaan Suma Bing, hatinya risau dan gundah. Siang Siau hun adalah perempuan yang berhati kukuh dan berpendirian teguh, mungkin dia bisa melakukan hal2 yang bodoh, maka katanya: "Jadi untuk persoalan ini maka Cianpwe mencari wanpwe?"
"Tidak, masih ada urusan lain."
"Urusan apa?"
"Mari kita bicara diluar."
Bergegas mereka tinggalkan rumah arak itu terus berlarian keluar kota, setelah ditempat yang agak sepi baru si maling tua bicara dengan nada berat tertekan: "Buyung, kau kenal seorang gadis yang bernama Ting Hoan?"
Sebuah wajah ayu dan jelita segera terbayang dalam benak Suma Bing.
"Ya, aku kenal dia." sahut Suma Bing.
"Dia minta aku si maling tua menyampaikan berita kepadamu."
"Berita apa?"
"Dia minta aku si maling tua membawa kabar untuk kau!"
"Kabar apa?"
"Dia ingin melihatmu untuk yang terakhir."
Suma Bing berjingkrak kaget, tanyanya gemetar: "Yang terakhir, apakah maksudnya?"
"Dia sudah hampir mati, tapi sebelum ajal ini dia ingin benar bertemu dengan kau!"
"Dia, sudah hampir mati?"
"Benar, sudah kempas-kempis tinggal menunggu waktu saja!"
"Kenapa terjadi demikian?"
"Setelah bertemu kau akan tahu segala2nya."
"Dimana dia sekarang berada?"
"Kira2 limapuluh li dari sini ada sebuah kampung bernama Sam keh cheng. Didalam gubuk reyot disamping jembatan batu merah itulah dia berada"
"Baik, segera aku berangkat..."
"Nanti dulu!"
"Cianpwe masih ada pesan apa?"
"Tadi kau berkata kau tersesat waktu berlatih. Apakah bibimu yang menembusi jalan darah setengah tubuhmu yang terbuntu itu?"
"Begitulah!"
"Apa kau tahu asal usul perguruannya?"
"Ini... aku tidak begitu jelas."
"Aneh!"
"Apakah Cianpwe ada menemukan sesuatu?"
"Dalam dunia persilatan, entah sudah berapa tokoh2 silat kosen yang mati atau cacat karena tersesat dalam latihannya itu. Maka kalau tersesat dalam latihan dipandang sebagai jalan buntu yang membawa maut. Dia dapat dan kuat menggunakan tenaga murni dalam tubuhnya untuk menjebol dan menembusi jalan darahmu yang tertutup. Bukan saja Lwekangnya itu sangat tinggi juga sangat ajaib. Aku si maling tua curiga pasti dia adalah satu murid gembong persilatan yang kenamaan pada ratusan tahun yang lalu."
"Siapa?"
"Yang mengenal ilmu Kan guan kay hiat sip meh tay hoat, boleh dikata hanya satu aliran ini saja tiada keduanya!"
"Siapakah sebenarnya?"
Si maling tua Si Ban cwan berkerut alis, ujarnya: "Masing2 aliran dan golongan dalam dunia persilatan ada peraturan dan pantangannya. Lebih baik kelak kau tanyakan sendiri."
Apa boleh buat Suma Bing manggut2. Memang selama ini belum pernah terpikirkan untuk menanyakan asal usul perguruan bibinya. Malah tidak terpikirkan juga olehnya bahwa Phoa Kin sian adalah istrinya, sebelum ini yang diketahui hanyalah bahwa dia adalah murid bibinya saja.
"Cianpwe masih ada pesan apalagi?"
"Tidak ada, kau pergilah. O, ya..."
"Harap katakan!"
"Maling tua ini sudah menyirapi kemana2, tapi kabar berita tentang ibumu masih belum dapat kuperoleh. Mengenai perempuan yang terkurung dibelakang puncak Siau lim itu aku masih tetap bercuriga..."
Suma Bing memandang penuh rasa terima kasih kepada maling tua katanya: "Kelak wanpwe pasti akan kembali ke Siau lim si untuk membuka tabir rahasia ini untuk berita ibunda sampai Cianpwe susah payah kian kemari, wanpwe menyatakan banyak2 terjma kasih!"
"Tidak menjadi soal, ini kan kerelaan dari maling tua ini. Kau pergilah!"
"Selamat bertemu!"
Dengan rasa kesal dan kuatir Suma Bing berlarian menuju tempat yang ditunjuk oleh si maling tua. Satu jam kemudian tibalah dia didepan sebuah gubuk reyot dipinggir jembatan batu merah. Gubuk ini terbagi dalam tiga susun bilik, sebuah pintu dan tiada jendela, keadaannya sangat jorok dan bobrok sekali agaknya sudah lama tidak ditinggali manusia. Entah bagaimana Ting Hoan bisa menetap ditempat semacam ini?
Eh, bukankah si maling tua mengatakan dia sudah kempas kempis tinggal menunggu ajal. Mungkin mendadak dia terserang penyakit berat atau telah mengalami apa2? Berpikir sampai disini tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Waktu kakinya melangkah kedalam, hidungnya segera diserang oleh bau apek yang menyesakkan dada. Suma Bing menahan napas dan memandang kearah dalam sebelah kiri sana. Kosong melompong, lalu berputar memandang kearah kanan. Dipojokan kamar dalam sana mendekam dan melingkar sebuah benda warna putih, apa mungkin dia adanya? Mulai berdebar keras jantung Suma Bing. Waktu dia mendekati, memang tidak salah, itulah seorang perempuan yang berpakaian warna putih.
"Kau... kau adalah... nona Ting?"
Tubuh orang berbaju putih itu bergerak, tapi tidak mengeluarkan suara.
"Apakah kau adalah adik Hoan?"
"Siapa?" suara lemah dan lembut sekali hampir tidak terdengar.
"Akulah Suma Bing." seru Suma Bing agak keras.
Bergetar tubuh orang baju putih itu bergegas membalik tubuh menghadap atas...
"Oh, kau..."
Beruntun Suma Bing mundur tiga langkah, kaki tangan terasa dingin. Tidak salah lagi memang dia adalah Ting Hoan. Gadis rupawan yang berwajah cemerlang itu sekarang telah berobah menjadi sedemikian pucat kurus dan peyot, sinar matanya redup, tapi mengandung perasaan kebencian yang ber-limpah2, membuat bergidik dan berdiri bulu roma orang.
"Kau... akhirnya kau datang? Benar... kah kau ini?"
Suma Bing maju lagi terus membungkuk disampingnya, katanya gemetar: "Adik Hoan, inilah aku, Suma Bing!"
"Ini... bukan mimpi?"
"Ya, ini kenyataan, aku, akulah Suma Bing, aku memburu tiba setelah mendengar kabar dari Si cianpwe si maling bintang!"
Ting Hoan pejamkan kedua matanya sambil menenangkan gejolak hatinya, napasnya mulai teratur, sesudah sekian lamanya kedua matanya dipentang lagi, agaknya semangatnya sudah pulih sebagian besar.
"Engkoh Bing, bolehkah aku... memanggil demikian?"
"Adik Hoan, asal kau suka!"
Wajah pucat dan kurus keropos dari Ting Hoan menampilkan rasa girang dan tersenyum simpul, katanya: "Engkoh Bing, sejak pertama kali melihatmu, aku... berjanji dalam hati, aku tidak minta balas cintamu, asal aku mencintai kau... sudah cukup!"
"Adik Hoan, aku... sangat mencintaimu, tapi, beban yang kupikul terlalu berat!"
"Engkoh Bing, aku tidak perlu mendengar penjelasanmu. Aku sudah merasa girang dan puas dalam waktu sebelum ajal ini kau dapat berada disampingku. Ini sebetulnya hanyalah khayalanku belaka, tapi sekarang menjadi kenyataan!"
Tenggorokan Suma Bing menjadi tersumbat, sekuatnya ia menahan mengalirnya airmata. Terbayang dalam ingatannya waktu pertama kali dirinya menunaikan tugas yang diserahkan gurunya, kalau bukan Ting Hoan membangkang perintah gurunya, pasti jiwanya sudah lama melayang...
"Adik Hoan, kau terserang penyakit atau..."
"Aku? Hahahaha..." meski suara tawanya lemah dan rendah tapi mengandung kedukaan dan nestapa yang tak terperikan.
"Adik Hoan," tergetar suara Suma Bing, "Sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang