26. Tertawan

3.2K 58 3
                                    

"Buyung kau akan menimbulkan banjir darah ditempat suci yang agung itu?"

"Bila perlu akan kulakukan!"

"Buyung, jangan kau bersimaha raja dan membunuh tanpa dosa"

"Tanpa dosa, biarlah kenyataan membuktikan apakah benar para pendeta Siau lim itu benar2 tidak berdosa"

"Mari berangkat, kita bisa saling bantu membantu!"

"Jangan, wanpwe ingin berangkat sendiri! Kebaikan Cianpwe yang luhur ini, selamanya takkan kulupakan!" — lalu ia berpaling kearah Siang Siau hun dan berkata lagi: "Adik Hun, maafkan aku, jagalah dirimu baik2, selamat bertemu!"

Alis si maling tua berkerut, serunya lantang: "Buyung!! itu hanya satu rekaan saja, jangan kau terlalu gagabah, orang yang dipenjarakan itu mungkin bukan ibumu"

"Baik, Wanpwe terima nasehat ini!" suara sahutan Suma Bing ini kedengaran sudah sangat jauh sekali.

Akhirnya tak tertahan lagi air mata Siang Siau hun meleleh deras membasahi pipi.

"Eh, nona elok, buat apa kau merengek2 dan sesenggukkan. memang begitulah tabiatnya, bukan dia memandang rendah hubungan kita bersama. Mari kita juga berangkat mengikuti dibelakangnya!"

Siang Siau hun manggut2, bersama si maling bintang mereka ber-lari2 kencang mengejar dibelakang Suma Bing.
Secepat terbang Suma Bing menempuh perjalanannya menuju ke Siau lim si, siang dan malam hampir belum pernah berhenti. Besar harapannya bahwa wanita yang terkurung digua puncak Siau sit hong itu adalah ibunya San hoa li Ong Fang lan. Ter-bayang2 olehnya akan wajah ibunya yang belum pernah dilihatnya. Lantas terbayang juga calon istrinya Phoa Kin sian gadis nan ayu rupawan bak bidadari, dia sudah mengandung, sekuntum bunga bahagia mekar pada wajahnya, yang selama ini sayu dan redup, agaknya dia sudah melupakan akan segala pengalamannya yang pahit getir selama ini.
Hari itu, didepan puncak Siau sit hong muncul seorang pemuda ganteng, bertubuh tegap gagah berwajah dingin membeku penuh kecongkakan. Dia, bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing.
Menyusuri jalanan gunung yang ber-liku2 Suma Bing tengah menempuh perjalanannya menuju kegereja Siau lim si. Tidak lama kemudian pintu biara yang agung itu sudah samar2 terlihat dari kejauhan. Serta merta berdetak hati Suma Bing, ketegangan mulai melingkupi benaknya.
Tiba2 terdengar sabda Budha yang keras menggetarkan telinga, muncullah dua pendeta berjubah abu2 tangan mereka membekal tongkat Hong pian jan dan menghadang ditengah jalan.
Tanpa disadari Suma Bing menghentikan langkahnya.
Salah seorang pendeta itu, sebelah tangannya dirangkap didepan dada memberi sapa hormat lalu bertanya: "Sicu ini orang kosen darimanakah?"
"Aku yang rendah Suma Bing!"
Mendadak berubah airmuka kedua pendeta itu, kata pendeta yang bicara tadi: "Sia sin kedua yang dikabarkan di Bulim itu adalah Sicu adanya?"
Suma Bing mengiakan sambil manggut2.
"Ada pengajaran apakah tuan datang ke biara kita?"
"Ada urusan penting, aku ingin berjumpa dengan Ciang bun Hong tiang!"
Lagi2 kedua pendeta itu tergetar, kata yang lain: "Sicu ingin bertemu dengan Hong tiang?"
Suma Bing menganggukkan kepala, "Benar!" sahutnya tidak sabaran.
"Silakan Sicu sebutkan maksud kedatanganmu, jadi ada alasan siau ceng melapor pada ci khek (pendeta penerima tamu)?"
"Yang ingin kutemui hanyalah Ciang bun Hong tiang kalian, tentang maksud kedatanganku, nanti setelah ketemu Hong tiang kalian baru kukatakan"
"Ini merupakan peraturan biara kita, adalah Ci khek yang menyambut tamu, apakah itu urusan kecil atau besar, baru dilaporkan kepada pengawas atau Hong tiang"
"Peraturan biara kalian terlalu melit," jengek Suma Bing, "Silahkan kalian berdua lapor, katakan Suma Bing ingin ketemu Hong tiang kalian."
Rona wajah kedua pendeta itu berobah tak menentu, salah seorang segera berkata: "Kalau Sicu tidak menerangkan maksud kedatanganmu, maaf Siau ceng tak bisa melapor, silakan turun gunung saja!"
Membeku wajah Suma Bing, desisnya: "Aku yang rendah minta bertemu secara hormat, terhitung aku segan dan menghormati partai kalian, ini sudah sangat sungkan sekali. Kalau kalian benar berkukuh ingin aku menyebut maksud kedatanganku, maaf..."
"Bagaimana?"
"Maka terpaksa aku yang rendah langsung mencari sendiri Ciangbun kalian."
Kedua pendeta itu mundur ketakutan sambil melintangkan Hong pian jan...
"Apa kalian mau berkelahi?" ejek Suma Bing menghina.
Salah seorang pendeta itu berseru gusar: "Tempat suci yang agung, tidak boleh membuat kerusuhan disini, harap Sicu suka berpikir panjang!"
"Bagus benar tempat suci yang diagungkan!" — dengus Suma Bing sambil melangkah maju hendak menerjang.
"Sicu tidak mendengar nasehat, terpaksa Siau ceng turun tangan!"
Dua batang Hong pian jan berseliweran bagai bayangan gunung membawa deru angin badai yang menungkrup kearah Suma Bing...
"Enyah kalian!" ~ begitu kedua tangan Suma Bing bergerak aneh sekali tahu2 kedua Hong pian jan yang menyambar2 tadi sudah dicekal di kedua tangannya. Keruan kaget kedua pendeta jubah abu2 itu bukan kepalang, serasa semangatnya terbang keawang2, sekuat tenaga mereka menarik berbareng, namun sedikitpun tidak bergeming. Mendadak sejalur hawa panas yang kuat menerjang kearah nereka melalui tongkat panjang mereka sendiri, seketika kedua pendeta itu merasa tergetar cekalan tangannya kontan terlepas badan mereka tersurung sempoyongan delapan kaki jauhnya.
Suma Bing lontarkan kedua Hong pian jan itu ketanah seketika kedua tongkat panjang itu amblas separohnya kedalam tanah, lalu secepat terbang ia berlari keatas
"Siapa itu bernyali besar berani menerjang masuk biara, melukai orang."
Begitu bentakan bagai geledek ini berhenti, lantas muncul seorang pendeta tua tinggi kekar bagai sebuah menara melayang tiba ditengah jalan, kebetulan tiba menghadang dihadapan Suma Bing. Setelah itu beruntun muncul lagi delapan pendeta pertengahan umur yang bertubuh kekar dan gagah perkasa.
Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini mau tak mau Suma Bing harus berpikir: Sebelum duduk perkara sebenarnya dapat kuketahui, ada lebih baik aku tidak melukai orang, langsung saja menerjang ke biara besar, rintangan2 ini sangat menyebalkan. Karena pikirannya ini segera ia kembangkan gerak kelit dari pelajaran Bu siang sin hoat, begitu berkelebat mengitari barisan para pendeta itu terus langsung berlari kepintu besar pesanggrahan gunung didepan sana.
Para pendeta itu hanya merasa pandangan mereka kabur lantas tahu2 kehilangan bayangan musuhnya. Keruan kejut mereka bukan buatan, waktu mereka berpaling kebelakang dilihatnya musuh sudah melesat tiba diluar pintu pesanggrahan, serentak mereka membentak be-ramai2 terus menguber dengan kencang.
Para pendeta dalam pintu pesanggrahan agaknya sudah mendengar ribut2 ini dan sudah siap siaga, beberapa puluh pendeta segera memberondong keluar mencegat dipintu besar itu...
Akan tetapi bagai bayangan iblis tahu2 Suma Bing sudah berkelebat melewati puluhan pendeta ini dan dalam sekejap mata sudah tiba diluar pintu biara. Cara gerak tubuh itu benar2 belum pernah ada dalam dunia persilatan.
"Sicu harap berhenti!"
Seorang pendeta tua yang kurus tinggi berdiri tegap tengah pintu biara, matanya berkilat2 menatap wajah Suma Bing.
Gesit sekali Suma Bing menghentikan tubuhnya, dingin ia menatap orang, tanyanya: "Siapakah Toa suhu ini?"
"Pinceng Liau Seng pengawas kelenteng ini, siapakah Sicu ini?"
"Aku yang rendah bernama Suma Bing!"
"Untuk apa kau menerjang kemari melukai orang?"
"Aku yang rendah ada urusan penting mohon bertemu dengan Ciangbun Hong tiang kalian, murid kalian merintangi tidak kenal aturan..."
"Perbuatan Sicu ini agaknya memandang rendah partai kita!"
Disemprot terang2an, bergolak amarah Suma Bing, desisnya geram: "Aku yang rendah merasa sudah berlaku sangat sungkan sekali!"
Berobah air muka Liau Seng si pengnwas kelenteng, sorot matanya semakin tajam me-nyala2, lebih kentara akan kesempurnaan latihan kepandaiannya.
Para pendeta yang mengejar tiba melihat pendeta pengawas sudah keluar menguasai keributan ini, beramai2 mereka menyingkir kesamping dan mundur teratur.
"Ada urusan apa Sicu hendak bertemu dengan Hong tiang kita?"
"Setelah ketemu Hong tiang kalian belum terlambat kujelaskan."
"Katakan kepada Pinceng juga sama saja!"
"Apa Taysu berani bertanggung jawab?"
"Mungkin!"
Berobah serius wajah Suma Bing, suaranya rendah berat: "Aku harus tahu siapakah perempuan yang kalian kurung di gua belakang puncak ini?"
Wajah Liau Seng berobah kaku menegang dan mundur dua tindak, tanyanya: "Darimana juntrungan ucapan Sicu ini?"
"Orang beribadat pantang berbohong, Toa suhu kau mengaku tidak?"
"Apa maksud Sicu sebenarnya?"
"Tidak apa2, hanya ingin kutahu orang yang terkurung itu siapa!"
"Ini..."
"Taysu tidak berani menjawab?"
Liau Seng bungkam, Suma Bing tertawa dingin, katanya lagi: "Kalau Taysu tidak berani menyawab terpaksa aku minta petunjuk Hong tiang kalian saja!" — belum habis ucapannya tahu2 bayangannya sudah menghilang.
Bergidik seram Liau Seng Taysu, mengandal kesempurnaan latihannya ternyata tidak mampu melihat orang menggunakan gerak tubuh apa menghilang dari pandangannya, ini hampir menyerupai ilmu sesat. Maka sebat luar biasa ia membalik berlari masuk biara...
Setelah melewati Wi to tiam, didepan pekarangan Tay hiong po tiam jauh2 sudah terdengar suara bentakan dan makian. Kiranya pendeta penyambut tamu dan beberapa pendeta yang sedang berdinas jaga sudah mengepung Suma Bing ditengah pekarangan itu.
Liau Seng Taysu langsung berlari masuk kebelakang...
Terdengar Liau Ngo Taysu pendeta penyambut tamu tengah membentak gusar: "Sicu menerjang tiba dan membuat huru-hara dibiara kita, agaknya memandang rendah kepandaian kaum Siau lim kita?"
"Taysu tidak mau pergi melapor, apa aku harus menerjang langsung menuju kekamar Hong tiang?"
"Kalau Sicu masih sedemikian kurang ajar dan tak mengenal aturan, terpaksa Pinceng turun tangan!"
"Mengandal kepandaianmu masih bukan tandinganku!"
Kata2 yang terang2an menghina ini membuat Liau Ngo Taysu dan keenam pendeta dinas itu naik pitam dan berobah air mukanya.
"Silahkan Sicu merasakan kelihayan ilmu silat dari Siau lim!"
Serempak dengan habis suaranya pukulannya sudah merangsang tiba. Dalam gusarnya Liau Ngo Taysu kerahkan setaker tenaganya menggunakan ajaran tunggal Siau lim yang terampuh yaitu pukulan Cui pi ciang, betapa keras dan hebat pukulan ini benar2 dapat menghancur luluhkan batu yang betapa keraspun.
Meskipun mulut Suma Bing berkata temberang, namun didalam hati dia tidak berani memandang enteng kelihayan para pendeta Siau lim yang sudah bersejarah tua ini, Kiu yang sin kangpun tak ayal segera dikerahkan sampai sepuluh bagian tenaganya...
Cui pi ciang dan Kiu yang sin kang sama2 adalah berkekuatan tenaga keras bersifat panas.
Suara menggelegar menggetarkan bumi dan bangunan kelenteng sekitarnya. Kontan Liau Ngo Taysu terpental jauh setombak lebih sambil menghamburkan darah segar. Keenam pendeta dinas itu juga tidak luput terpelanting keterjang angin badai yang mengembang keempat penjuru.
"Liau Ngo Sute, mundurlah!"
Alis putih Liau Seng Taysu berkerut dalam, berdiri tenang dan garang diundakan depan Tayhiong po tiam.
Liau Seng Taysu bersabda memberi hormat terus mengundurkan diri bersama keenam pendeta berdinas itu.
Se-konyong2 suara kelintingan bergema, delapan belas pendeta bertubuh kekar berwajah garang bengis berbaris keluar dari kiri kanan pintu samping Toa tian, masing2 terbagi sembilan terus berbaris jajar dikedua samping.
Diam2 Suma Bing membatin: ini pasti cap pek lohan (delapan belas Lohan) yang kenamaan dari Siau lim itu...
Belum hilang pikirannya, menyusul berjalan keluar seorang pendeta tua beralis putih juga terus berdiri berhadapan dengan Liau Seng Taysu.
Peraturan Siau lim si sangat keras, meskipun terjadi urusan penting betapa besar pun para muridnya tidak diperbolehkan sembarangan bergerak.
Selanjutnya seorang pendeta tua yang mengenakan kasa terbuat dari saten berwajah bersih agung per-lahan2 keluar dari ruangan besar itu, dibelakangnya tidak kurang duapuluh pendeta tua muda mengikutinya.
Segera Liau Seng dan pendeta yang baru datang itu membungkuk bersabda lalu berseru lantang: "Menghadap Ciangbun yang mulia!"
"Para sute tidak perlu peradatan!"
Kiranya pendeta tua yang berkasa saten bersulam itu bukan lain adalah Ciangbun Hong tiang Siau lim si Liau Sian Taysu adanya.
Segera Suma Bing angkat tangan memberi hormat: "Yang mulia apakah Ciangbun Hong tiang?"
Sikap yang dingin dan nada yang menghina ini membuat para pendeta Siau lim yang hadir membelalak gusar.
Ciangbun Liau Sian Taysu bersabda Buddha lalu berkata: "Memang Pinceng Liau Sian adanya, kedatangan Sicu ini aku sudah mendapat laporan dari pengawas kelenteng..."
Tidak sabaran lagi segera Suma Bing menandaskan: "Lalu bagaimana keputusan Ciangbun Taysu?"
"Darimana Sicu mengetahui bahwa dibelakang puncak Siau sit hong ada terkurung seorang perempuan?"
"Ini aku tidak dapat memberi jawaban, hanya ingin kutegaskan apakah benar ada hal itu?"
"Ya, memang ada!"
Berdetak keras jantung Suma Bing, ujarnya penuh haru: "Kalau ada aku yang rendah mohon perkenankan untuk bertemu!"
"Apa hubungan Sicu dengan perempuan yang terkurung itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing tidak mampu memberi jawaban positif. Tak mungkin dia mengatakan bahwa perempuan itu adalah ibunya, bagaimana kalau bukan? Tiba2 terpikir sesuatu olehnya terus sahutnya: "Aku yang rendah harus membuktikan apakah perempuan itu adalah orang yang kupikirkan!"
Berobah serius wajah Liau Sian, katanya sungguh2: "Kalau begitu, hakikatnya Sicu belum tahu siapakah perempuan yang terkurung itu?"
"Boleh dikata demikian!"
"Bukankah permohonan Sicu itu membuat keributan tanpa aturan?"
Wajah Suma Bing mengelam hitam: "Yang mulia sebagai ketua, kata2mu penuh pertanggungan jawab, ini bukan membuat keributan tanpa aturan!"
Keruan merah jengah wajah Liau Sian Taysu, tanyanya; "Siapakah orang yang Sicu pikirkan itu?"
Benak Suma Bing bekerja keras: ada lebih baik tidak kukatakan, kalau membungkah asal-usul sendiri, dan orang yang dikurung itu sebaliknya bukan ibunya, hal ini akan membawa rintangan banyak dalam pengejarannya kepada musuh2nya, maka segera ia menyahut: "Hal ini susah kuterangkan, aku hanya ingin bertemu sekali saja dengan orang itu kalau bukan orang yang kupikirkan, segera aku minta maaf dan pergi dari sini!"
"Kita juga ada kesukaran tak dapat melulusi permohonan Sicu."
Suma Bing berusaha menahan gusar, tanyanya: "Kalau begitu harap tanya siapakah perempuan yang dikurung itu?"
"Urusan ini menyangkut kepentingan dan rahasia partai kita, maka tak dapat kujelaskan!"
Meluap amarah Suma Bing susah ditekan lagi, dengusnya dingin: "Secara hormat aku mohon bertemu, kalau Ciangbunjin tidak bisa melulusi, maka jangan salahkan aku..."
"Sicu hendak berbuat apa?" desak Liau Sian dengan nada berat matanyapun menyorong garang me-nyala2.
"Aku akan membuktikan sendiri!"
Semua pendeta yang hadir membelalak gusar dan mematung bagai arca tembaga, otot dijidat mereka merongkol keluar menahan gusar, tapi dihadapan Ketua mereka sebelum menerima perintah mereka tak berani bergerak.
Suasana semakin meruncing tegang penuh mengandung nafsu pembunuhan.
Agaknya kepandaian dan latihan batin Liau Sian sudah sempurna, air mukanya masih kelihatan sabar welas asih, suaranya datar: "Mungkin Sicu takkan mampu bergerak sesuka hatimu!"
"Belum tentu!" bentak Suma Bing murka terus memutar tubuh hendak...
Sebelum kakinya bertindak, delapan belas Lo Han yang berdiri disamping kanan kiri itu mendadak secepat kilat menggeser kedudukan, tahu2 Suma Bing sudah terkepung.
Suma Bing mendengus hina keras, ejeknya: "Kalian takkan mampu merintangi aku."
Kelebat tubuhnya seringan asap tanpa bayangan laksana setan mengambang tahu2 sudah berada diluar kurungan. Kesempatan untuk berpikir bagi delapan belas Lo Han belum ada tahu2 sudah kehilangan musuhnya.
"Bu siang sin hoat!" tercetus seruan dari mulut Liau Sian, wajahnyapun berobah.
Seruan Liau Sian Taysu ini menggegerkan seluruh hadirin. Suma Bing sendiri juga melengak heran, hanya sekali lihat saja lantas ketua Siau lim si ini dapat menyebutkan asal usul gerak tubuhnya itu.
Agaknya Ketua Siau lim Liau Sian Taysu sangat terpengaruh oleh perasaannya, suaranya gemetar: "Dimana pengawas kelenteng?"
"Tecu disini!" sahut Liau Seng sambil merangkap tangan.
"Harap pengawas kelenteng perintahkan seluruh penghuni kelenteng bersiap siaga!"
"Tecu terima perintah!"
"Dimana pelaksana hukum?"
Seorang pendeta tinggi tegap tampil kedepan: "Tecu disini!"
"Silahkan Ngo tianglo keluar!"
"Tecu terima perintah!"
Seketika suara lonceng bergema membumbung keangkasa, membawa ketegangan yang meruncing bagi biara kuil yang agung ini.
Bayangan manusia berkeliaran diluar dalam Siau lim si yang besar itu sudah penuh terjaga ketat seumpama jaring2 si laba2
Baru sekarang Suma Bing menginsafi akan situasi yang menegangkan ini, hatinya berdetak keras, naga2nya Siau lim si mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi dirinya. Keadaan berobah memburuk sedemikian cepat setelah dirinya melancarkan pelajaran Bu siang sin hoat, apa mungkin...
Pelan dan mantap langkah Liau Sian menuruni undak2, para pendeta pelindung dibelakangnya juga tidak ketinggalan maju mengikuti.
"Suma sicu harap suka sebutkan perguruanmu?"
"Ciangbunjin sudah tahu tapi sengaja bertanya?" balas tanya Suma Bing dongkol.
"Yang Pinceng maksudkan adalah asal-usul Bu siang sin hoat itu?"
"Ini, maaf, tak perlu kusebutkan!"
"Apa hubungan Sicu dengan Bu siang sin li?"
Suma Bing membatin; mungkin Bu siang sin li ada pertikaian apa dengan pihak Siau lim si. Bu siang sin li adalah tokoh yang menggetarkan Bulim pada ratusan tahun yang lalu peristiwa ini susah dijelaskan, maka ia menggeleng serta katanya: "Tiada sangkut paut apa2!"
"Lalu darimana Sicu mempelajari Bu siang sin hoat itu?"
"Sukar kujelaskan!"
Pada saat itulah mendadak terdengar tembang panjang: "Para Tianglo sudah tiba!"
Lima orang pendeta tua beralis putih panjang mengenakan kasa merah perlahan2 keluar dari Toa tian
Segera Liau Sian maju dua langkah sedikit membungkuk dan berseru: "Menyusahkan para Tianglo ikut hadir disini!"
Serentak kelima Tianglo bersabda Baddha sambil membungkuk tubuh, seorang yang terdepan segera berkata: "Kami beramai tidak berani terima hormat besar Ciangbunjin, tecu sekalian menghadap pada Ciangbunjin!"
"Tidak berani, para Tianglo silahkan, tidak perlu banyak peradatan!"
Sambil pejamkan mata kelima Tianglo itu memasuki gelanggang, seorang yang terdepan tiba2 membuka matanya, dua sorot kilat yang tajam menatap tajam wajah Suma Bing tanpa berkedip.
Tanpa mengenal gentar atau takut, Suma Bing juga pandang lawannya lekat2.
Siau lim ngo lo sudah berusia hampir seabad selamanya tidak gampang2 keluar setengah langkah dari Tianglo wan. Sekarang kelima Tianglo ini keluar bersama, membuktikan betapa penting urusan ini. Tapi Suma Bing sendiri sampai pada detik itu masih bersikap dingin seakan tanpa ambil perhatian, sedikitpun dia tidak tahu apa yang bakal terjadi. Ketegangan temakin meruncing. Mendadak tanpa membuka suara Tianglo terdepan itu memutar kedua tangannya terus disodokkan kedepan. Kekuatan pukulan yang dilancarkan mendadak ini laksana geledek menyambar, hebat perbawanya. Betapapun tinggi Lwekang Suma Bing rasa2 takkan mampu balas menyerang atau bertahan, terpaksa tubuhnya berkelebat menyingkir. Tanpa disadari ia gunakan pelajaran Bu siang sin hoat. Setelah lancarkan pukulannya segera Tianglo itu tarik ulang serangannya, suaranya datar berat: "Benar adalah Bu siang sin hoat"
Pada saat itulah keempat Tianglo lainnya mendadak membuka mata, menatap tajam kearah Suma Bing.
Kedatangan Suma Bing adalah hendak menyelidiki jejak ibunya, tak terduga begitu ia gerakkan ilmu Bu Siang sin hoat pokok persoalannya menjadi perhatian malah. Keruan hatinya gugup dan dongkol dan menggelikan juga.
Tianglo yang terdepan itu berkata lagi: "Lolap tertua dari para Tianglo ini, bergelar Hi Bu, ada beberapa pertanyaan, harap Sicu suka menjawab secara terus terang"
"Harus kulihat dulu pertanyaan apa itu?" sahut Suma Bing dongkol.
Wajah tua Hi Bu Taysu yang penuh keriput diliputi suatu rona yang sukar ditebak, akhirnya berkata pelan: "Sicu murid dari perguruan mana?"
"Sia sin Kho Jiang adalah mendiang guruku!"
"Tidak benar!"
"Apakah ucapan Taysu ini tidak terlalu dogmatis (sembarangan memastikan)?"
"Lalu ilmu Bu siang sin hoat Sicu tadi darimana sicu pelajari?"
"Itu rahasia pribadiku mana bisa kuterangkan!!"
Kelima Tianglo dan Ciangbun Hong tiang bersama mengunjuk rasa gusar yang tak tertahankan lagi.
Kini berobah bengis dan serius suara Hi Bu Taysu: "Kenyataan tidak bisa didebat lagi, lebih baik Sicu bicara terus-terang saja?"
Waktu meninggalkan Lembah kematian Suma Bing sudah bersumpah untuk tidak membeber keadaan lembah itu kepada orang luar, sudah tentu dia tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Kalau dia mau menuturkan secara terus terang, perkembangan urusan ini mungkin berobah tidak sedemikian menegangkan urat syaraf.
"Kalau tidak kukatakan?"
"Pasti Sicu sudah maklum akan akibatnya!"
"Akibat apa, aku tidak mengerti?"
"Selamanya kau tidak akan meninggalkan Siau sit hong lagi!"
Suma Bing malah tertawa gelak2, serunya: "Toa suhu, sebelum tujuanku terlaksana, memang aku tiada niat hendak turun dari Siau sit hong ini!"
Betapapun sabar dan tinggi latihan batin Hi Bu Taysu tak kuat lagi menahan rangsangan amarahnya, bentaknya bengis: "Apa tujuanmu?"
"Ingin kulihat orang yang kalian kurung dibelakang puncak itu."
"Hm, kalau kau bermaksud menculik orang di Siau lim si, jangan kau harap!"
Suma Bing mendengus hidung keras sekali, ejeknya: "Sekarang terlalu pagi untuk mempersoalkan hal ini, kalau nanti aku dapat membuktikan orang yang kalian kurung itu adalah benar orang yang hendak kucari, hm, waktu itu..."
"Bagaimana?"
"Akan terjadi banjir darah di Siau sit hong ini!"
Ancaman yang mengandung kekejaman banjir darah ini, membuat semua pendeta yang hadir berobah air mukanya, dimana2 terdengar geraman marah.
"Siapakah yang Sicu cari?"
"Aku tidak akan memberitahu kepada kau!"
"Benar2 Sicu tidak mau menerangkan?"
"Yang perlu kukatakan sudah dikatakan, ucapanku sampai disini, titik!"
Hi Bu Taysu membalik tubuh menghadap Liau Sian dan bertanya: "Mohon Ciangbunjin suka mengambil keputusan?"
"Ringkus dia!"
Perintah Liau Sian ini menimbulkan kebencian Suma Bing, timbul nafsunya membunuh serunya keras: "Cianbunjin, aku tidak bertanggung jawab akan segala akibatnya!"
Setelah saling berpandangan sebentar, kelima Tianglo maju per-lahan2, mengambil kedudukan Ngo heng (lima unsur) .
Ngo lo turun tangan bersama menghadapi seorang pemuda berusia belum cukup dua puluh tahun. Bagi pihak Siau lim ini belum pernah terjadi dalam sejarah selama beratus tahun. Bersama itu lebih menandaskan lagi bahwa pihak Siau lim sudah bertekad bulat hendak meringkus Suma Bing hidup-hidup.
Berkata Hi Bu Taysu lagi: "Apakah Sicu tidak perlu berpikir lagi?"
Sinar mata Suma Bing mengunjuk kecongkakan, jengeknya: "Adalah kalian yang harus berpikir panjang!"
"Buddha selamanya welas asih adalah Sicu sendiri yang mencari derita!"
"Hwesio tua, turun tanganlah, tidak perlu pura2 baik hati!"
Hi Bu Taysu bersabda suaranya melengking tinggi, lalu dorongkan sebelah tangannya. Suma Bing juga angkat belah tangannya memapak maju...
Hampir dalam waktu yang sama, empat Tianglo lainnya juga masing2 lancarkan sebuah pukulan, rangsangan angin pukulan melanda tiba dari sudut yang berlainan merobohkan sebuah bukit kecil.
Tercekat hati Suma Bing, cepat2 kedua tangannya ditarik pulang, sebat sekali ia berkelebat menghilang keluar kepungan, cara kelitnya ini cepatnya luar biasa sampai susah diikuti oleh pandangan mata biasa.
Betapa sempurna sudah kepandaian kelima Tianglo ini, begitu serangan dilancarkan lantas kehilangan sasarannya, sigap sekali mereka tarik kembali pukulan dan tenaga masing-masing, terus melompat mundur tiga tindak.
Suma Bing ada diluar kalangan setombak jauhnya, katanya dingin: "Dalam gebrak pertama ini aku mengalah sebagai tanda hormatku kepada kalian."
Gerak tubuh yang menjagoi seluruh dunia persilatan ini membuat hati para pendeta dingin dan beku, mereka kagum dan gentar.
Bahwa dengan gabungan lima Tianglo menyerang seorang muda tanpa hasil dihadapan para anak muridnya, membuat para Tianglo malu dan gusar.
Mendadak Hi Bu Taysu membentak gusar, tubuhnya melenting menubruk maju lagi, kedua jari2 tangannya bagai cakar garuda, aneh dan hebat luar biasa mencengkram kearah dada Suma Bing. Cengkraman ini merupakan salah satu kepandaian tunggal dari Siau lim si yang dinamakan Tay eng jiau lat, kekuatan cengkraman ini dapat meremukkan batu menjadi bubuk.
Suma Bing berkelit terus memutar kebelakang Hi Bu Taysu sambil membalas dengan sebuah pukulan.
Hi Bu Taysu insaf akan keampuhan inti sari Bu siang Sin hoat, begitu cengkramannya mengenai tempat kosong, tubuhnya segera berputar, licin bagai belut tubuhnya menggeser kesamping dua tombak, terpaut serambut hampir saja terkena pukulan musuh.
Pada saat Hi Bu Taysu menyingkir kesamping inilah empat Tianglo lainnya lancarkan pula masing2 sebuah pukulan.
Timbul sifat ugal2an Suma Bing, tanpa berkelit atau menyingkir, seluruh tenaga dikerahkan kedua lengannya terus didorong kedepan menyambut secara keras.
Dentuman hebat bagai gugur gunung membuat genteng dan debu berhamburan memenuhi sekitar lapangan. Empat Tianglo terdesak mundur selangkah lebar, darah bergolak dalam rongga dada mereka. Suma Bing sendiri juga terpental delapan kaki wajahnya pucat tanpa darah.
Bahwa Suma Bing kuat menahan gabungan serangan empat Tianglo tanpa roboh, membuat semua hadirin membelalak kesima, heran dan kagum.
Agaknya Ngo lo masih belum menyudahi begitu saja, tanpa ayal mereka terus berkelebat berganti kedudukan, lagi2 Suma Bing dikepung diantara mereka.
Ketegangan mulai melingkupi sanubari setiap hadirin sehingga rasanya susah bernapas. Dalam hal Lwekang, sudah tentu Suma Bing bukan tandingan Ngo tianglo. Tapi Bu siang sin hoat merupakan ilmu ringan tubuh yang tiada taranya begitu dikembangkan benar2 bagai bayangan malaikat yang susah dipandang mata. Dengan sendirinya menghadapi ilmu mujijat ini, Ngo tianglo juga insaf takkan ada pegangan bisa menang.
Alis panjang Hi Bu Taysu berdiri tegak, mulutnya membentak berat, dilancarkan jurus Jiang hay poh liong (lautan teduh mengekang naga). Bersamaan dengan itu empat Tianglo lainnya juga lancarkan masing2 satu jurus yang berlainan, mereka bekerja sama sangat rapi dan teratur, sedemikian rapat mereka mengurung sampai tidak kelihatan sedikitpun lobang kelemahannya.
Mengandal ilmunya yang aneh dan ajaib, Suma Bing berputar dan bermain lincah diantara kepungan dan samberan pukulan2 kelima musuhnya, setiap ada lowongan pasti balas menyerang tanpa sungkan. Setiap kali ia balas menyerang pasti garis penjagaan kelima Tianglo itu goyah.

Pertempuran ini berjalan semakin sengit saling pukul dan hantam, bayangan merekapun bergerak semakin cepat hingga susah dibedakan lagi bentuk orangnya, hawa pukulan juga semakin deras mengekang sekitar gelanggang pertempuran laksana angin lesus. Dalam sekejap mata saja limapuluh jurus dengan cepat sudah dicapai. Kalau Ngo lo semakin mengunjuk kelemahannya, maklum tenaga mereka, sudah semakin keropos dimakan usia, adalah Suma Bing sebaliknya bertempur semakin gagah bersemangat.

Inilah pertempuran seru yang belum pernah terjadi dan belum pernah ada didunia persilatan. Pertempuran sengit ini membuat semua penonton terbelalak kesima dan berdenyutan jantungnya diliputi ketegangan.
Sebuah bentakan nyaring menggetarkan seluruh gelanggang.
'Blang' diselingi suara pekik kesakitan, salah seorang tianglo tahu2 terhuyung keluar dari kurungan, mulutnya menyemprot darah segar. Keempat Tianglo lainnya menggeram murka, serangan membadai semakin dipergencar, membuat ciut nyali setiap penonton.
Seratus jurus kemudian seorang Tianglo terpental keluar lagi dari kalangan pertempuran. Gerak tubuh Suma Bing sangat aneh dan dapat lenyap dari pandangan mata saking cepat berkelebat, selalu mengelak yang berat membokong yang lemah, gesit sekali selulup timbul diantara angin pukulan musuh selicin belut.

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang